Alun-alun yang baik tentulah alun-alun yang terbuka. Siapa pun bisa
datang ke di sana, membawa anak-anak dan keluarga. Beberapa pedagang
diizinkan memamerkan dagangannya, dengan pembagian ruang yang tepat. Di
sana orang bicara satu sama lain, dari tema akhir pekan yang mereka
idamkan hingga mengkritisi anggota parlemen korup. Bahkan, tidak ada
larangan bagi aktivis kiri membacakan puisi-puisi Wiji Thukul.
Meski
hampir selalu dibangun di dekat keraton, alun-alun mestinya adalah
tempat yang lepas dari dominasi. Maka, seperti yang terjadi di
Yogyakarta, orang bisa memanfaatkan alun-alun untuk memprotes penguasa
melalui tapa pepe. Sebagai ruang publik, alun-alun yang baik terbuka
untuk berbagai gagasan.
Meski tak pernah disebut Habermas
sebagai publik sphere, alun-alun saya adalah contoh yang baik untuk
memahami bagaimana media massa bekerja membentuk nalar publik.
Sebagaimana ranah publik lainnya, media massa adalah tempat berkumpul
bagi warga privat membentuk sebuah publik di mana nalar publik tersebut
akan bekerja sebagai pengawas kekuasaan negara.
Namun, ada
beberapa prinsip yang harus dipegang agar ranah publik mampu (dapat?)
melahirkan kehendak publik. Pertama, ranah publik melibatkan suatu
diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, di
mana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak
ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan
kepentingan umum bersama.
Kedua, dengan begitu, ranah
publik memerlukan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas,
dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan
pengambilan keputusan. Jika itu terjadi pada lembaga pers, tidak perlu
sensor oleh negara dan lembaga per situ sendiri. Gagasan dibiarkan
mengalir bagaikan air.
Habermas nampaknya mengidamkan
sebuah ruang publik menjadi milik bersama yang bebas dari tekanan
eksternal. Sebab, hanya dengan kepemilikian yang bersama itulah dialog
bisa terbangun dengan setara. Di sana muncul perdebatan terbuka yang
bebas tekanan. Kehendak-kehendak diutarakan setiap anggota dan
terakumulasi menjadi kehendak bersama. Kehendak bersama yang
terverbalkan menjadi kekuatan publik yang berdaya untuk mengontrol
kekuasaan penguasa.
Bagi masyarakat demokratis yang
menghargai gagasan sebagai bagian penting untuk dijaga kebebasannya,
ruang publik adalah bagian yang amat berarti. Keberadaan ruang publik
patut dijaga lantaran diidamkan sebagai tempat menetasnya
gagasan-gagasan tentang kebutuhan bersama.
Namun,
mengidamkan ruang publik sebagai ruang bebas juga menuntut kewaspadaan.
Impian itu bisa menjadi sangat utopis jika kita menyadari bahwa ruang
publik bukan sesuatu yang hampa. Sebagaimana ruang dalam arti denotatif,
“ruang” publik juga berisi berbagai kepentingan. Kondisi ruang yang
tidak hampa itu juga mempengaruhi perilaku orang-orang yang berkegiatan
di dalamnya.
Dalam kehidupan sosial kita, saya
berpendapat, media massa mengambil dua peran sekaligus. Pertama, media
massa adalah aktor perubahan, sebab menampung sekaligus menyuarakan
gagasan-gagasan penting yang mungkin memicu perubahan sosial. Kedua,
media massa juga entitas yang tak luput dari perubahan. Entah karena
kehendak dirinya atau kehendak adaptatifnya, media sendiri terus
berubah. Perubahan media mengakibatkan perubahan lain. Sebab, cara
manusia menerima informasi mengubah cara merekamenerima informasi yang
diterimanya.
Anak-anak yang bermain di alun-alun pada
awalnya mungkin merasa cukup puas berlarian di atas rumput. Mereka hanya
memerlukan lapangan basah untuh terpelsest dan tertawa. Atau, anak-anak
yang belasan tahun usianya, mungkin hanya perlu bola untuk menikmati
ruang terbuka. Namun, itu berubah ketika seseorang yang punya kuasa
lebih atas alau-alun memasang komedi putar. Anak-anak mulai berpikir
naik komedi putar adalah kegembiraan yang lebih besar. Dari asumsi
itulah ia berhenti berlari di atas rumput basah,berhenti menendang bola,
dan mulai merajuk kepada orang tuanya untuk naik komedi putar.
Tugas Profetis Media
Kesadaran
atas pentingnya media “memaksa” public memberikan hak keingintahuannya
kepada pekerja media. Media bahkan menerima sebutan yang cukup heroic,
salah satunya di negara kita, sebagai pilar keempat demokrasi. Para
jurnalis menerima hak istimewa mengakses berbagai sumber informasi.
Sejak Undang-undang Pers diterbitkan, kemudian disusul adanya
kesepakatan antara Dewan Pers dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan
Mahkamah Agung, pers bahkan memiliki kesitimewaan.
Apa
sejatinya peran media dalam kehidupan bersama? Sembilan “petuah” Bill
Kovach dalam Nine Element of Journalism saya kira masih revelan menjadi
landasan diskusi – meski tak semuanya musti diamini. Dalam buku ini Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kata
Andreas Harsono, murid Kovach, kesimpulan ini didapat setelah Committee
of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang
melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Saya pribadi enyebut
Sembilan ini sebagai tugas profetis jurnalisme.
Pertama, Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.
Diakui
banyak hal pembaca, landasan ini paling mendasar sekaligus paling
membingungkan. Pasalnya, definisi kebenaran sendiri tak pernah mapan.
Kebenaran seperti awan di atas sana, yang terus menerus bergerak dan
berubah bentuk sesuai persepsi manusia. Pertarungan nilai-nilai dalam
benak manusia tak pernah berhenti, dan kebenaran tak bisa menemui
definisi pasti.
Namun, terlibat dalam diskusi panjang
lebar soal “kebanaran mana yang jadi landasn jurnalisme” hanya akan
membuat energi tersita. Maka, sejumlah orang mencoba membatasi kebenaran
versi jurnalisme. Andreas Harsono, misalnya, mengetengahkan kebenaran
fungsional sebagai kebenaran yang lebih dekat dengan kebenaran
jurnalisme. “Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran
dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa
mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang,
ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya,” tulisnya.
Kawan
saya, Gunawan Budi Susanto, punya kalimat yang bagus untuk menilai
kebenaran jurnalisme. “Memberitakan sesuatu sebagaimana adanya agar
keadaan bisa menjadi bagaimana seharusnya.” Tafsir saya, Gunawan hendak
meringankan beban jurnalisme agar kebenaran yang disajikan adalah
kebenaran factual, yang tampak, teramati, terukur, dan terdata. Namun,
ia sekaligus memberikan berat pada jurnalisme, yakni memicu perubahan
sehingga kondisi bisa menjadi sebagaimana seharusnya.
Kedua, Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.
Mengapa
bukan negara? mengapa bukan pengusaha? Jurnalisme lahir dan bisa
berfungsi karena kemurahan hati warga negara yang telah menyerahkan
sebagian haknya kepada wartawan. Buktinya, oleh undang-undang wartawan
dijamin kebebasaannya bekerja. dia memiliki akses terbuka terhadap
informasi karena didorong warga negara menjadi wakil atas diri mereka.
Dalam posisi itu, “juragan” para wartawan sejatinya adalah warga negara.
Maka, kepada warga negara pula jurnalisme musti mendedikasikan dirinya.
Lalu
bagaimana hubungan para wartawan dengan perusahaan media, bosa besar
media, dan pengiklan? Saya menyebut hubungan gelap itu sebagai
perselingkuhan. Sekali lagi saya mengutip Andreas, soal itu, berikut
ini:
“Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika
mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan
besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah
survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya
manajemen yang biasa disebut management by objections.Model ini
ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana
sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan
bila mereka berhasil mencapainya. Manajemen model ini, menurut Kovach
dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur.
Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau
keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas
si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada
peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka
mendapatkan bonus.”
Ketiga, Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Jika
melihat perannya selama ini, wartawan hamper selalu berada di wilayah
yang menegangkan antara berbagai pihak. Wartawan kerap berada di
tengah-tengah “perang” kebenaran pihak-pihak yang bersengketa. Tentu
saja persengketaan tak selalu dalam wilayah hukum, tapi juga politik,
sosial, dan bahkan kebudayaan. Masing-masing pihak itu akan menyajikan
data yang menguntungkan dan membenarkan pihak mereka. Ada fakta yang
mereka hadirkan, ada pula opini yang berusaha dipoles sehingga
menyerupai fakta. Dalam kondisi seperti ini, kewajiban bagi wartawan
adalah memverivikasi mana fakta yang fakta, mana fakta rekaan, mana
fakta yang kabur, juga mana yang fiktif dan namun tampaks eperti fakta.
Saya
ingat kisah Glass, wartawan muda New Republic, pada Shutered Glass. Ia
melaporkan kongres muda partai Republik di sebuah hotel. Sebagai sebuah
reportease mendalam (deep reporting) laporannya cukup menarik. Ia
berhasil menarik perhatian editornya sehingga artikelnya ini dimuat.
Sayang, liputannya ternyata banyak mengandung rekaan. Ketika suatu saat
redakturnya tahu bahwa liputan itu rekaan, New Republic harus minta maaf
dan mempertaruhkan kredibilitas sebagai salah satu majalah besar kelas
atas masa itu.
Keempat, Jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya.
Saya
mengibaratkan jurnalis sebagai penonton sepak bola. Ia hadir di tepi
lapangan, menyaksikan pertandingan sejak wasit mengatur giliran
menendang bola dengan koin. Sebagai penonton, tentu saja ia tak boleh
ikut menendang, mengumpan, apalagi sampai menciptakan goal. Tapi, apa
boleh buat, secara instingtif ia memiliki kecenderungan untuk mendukung
salah satu tim. Bukan karena tim yang bertanding adalah tim pujaannya,
tapi karena hal sepele, misalnya karena ia suka warna kostum yang
digunakan tim bersangkutan.
Agar mampu menjaga jarak
dengan objek liputannya, wartawan atau redkatur mengatur tugas peliputan
secara ketat. Namun, itu saja terkadang tidak cukup. Maka, digunakanlah
prinsip cover both side; sebuah sikap untuk memberikan ruang bicara
kepada pihak-pihak yang ditulisnya dalam berita. Kovach menyodorkan
sejumlah cara:
1) Jangan menambah atau mengarang apa pun;
2) Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
3) Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
4) Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
5) Bersikaplah rendah hati.
Meski
prinsip ini dapat saya tulisa dengan uraian singkat, sungguh tak mudah
mempraktikannya. Korea Herald, medi terbitan Korea Selatan, jelas
kesulitan menjaga jarak dengan objek liputannya jika yang ia liput
adalah perkembangan instalasi nuklir Korea Utara. Mereka, mungkin, akan
selalu terkukung pada syak wasangka bahwa Korea Utara adalah “suadara
jahat” yang tak tahu diri. Maka, laoran-laporan yang mereka turunkan
biasanya bersifat ofensif. Sikap ini, agaknya diikuti oleh Koran-koran
terbitan barat, yang memang memiliki konflik ideologis menurun sejak
lama.
Kelima, Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
Ada
unen-unen power tend to corrupt. Saya kira ini kecenderungan di negara
mana pun, tidak hanya di Indonesia. Agar orang-orang yang sedang
memiliki kekuasaan dapat mengendalikan nafsu kekuasannya, perlu “pihak”
lain yang melakukan pengawasan. Dan pengawasan terbaik adalah warga
negara. prinsip sebagai pemnatau independen dari kekuasaan, saya kira,
berkaitan erat dengan tugas jurnalisme untuk melayani public.
Keenam, Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi.
Sebagai
alun-alun – seperti saya sampaikan di awal – media harus menjadi tempat
pertemuan yang terbuka. Idealnya, tak boleh ada seseorang yang dominan
sehingga menguasai ruang berpendapat. Siapa pun berhak mengutarakan
gagasan yang berorentasi pada kepentingan bersama.
Ketujuh, Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
Apa
beda penting dan menarik? Sebuah perusahaan asuransi yang mengelola
polis jutaan pegawai kelas menengah di Indonesia terancam bangkrut. Ada
ratusan lembar dokumen yang jika dianalisis bisa mendukung kesimpulan
itu. Namun, dokumen-dokumen itu terlampau teknis – bahkan hanya bisa
dibaca akuntan senior. Jika data itu dikemukanan secara mentah, mungkin
public tidak akan bisa memahaminya. Maka, jurnalis perlu member gambaran
sesuai pemahaman pembacanya, tentang kondisi yang terjadi.
Penting
adalah perkara yang berkaitan dengan hajat hidup, seseorang dan
lebih-lebih banyak orang. Tidak sekadar berkaitan dengan jiwa, tapi juga
hal-hal ebrharga lain dalam hidup: kebebasan, hak berpolitik, hak
berpendapat, harta, kesenangan, waktu luang, kreativitas, dan lain-lain.
Hal-hal penting mestinya diketahui sebanyak mungkin orang. Adapun
menarik, setidaknya bagi saya, adalah soal daya akses dan daya pikat.
Hal-hal penting perlu disajikan dengan menarik agar memikat pembaca
untuk mengetahuinya.
Kedelapan, Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
Tak
kalah rumit, konsep “koprehensif” dan “proporsional” juga sulit
diuraikan. Apakah komprehensif adalah mencakup seluruh hal dari A sampai
Z atau sekadar represntatif? Ini asih jadi persoalan serius di kalangan
jurnalis
Kesembilan, Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Pada
akhirnya, saya kira, inilah landasan dari semua prinsip yang
dikemukakan pada poin-poin sebelumnya. Saya berani mengatakan demikian
karena hati nurani memang software paling ampuh bagi wartawan agar mampu
memenuhi tugas jurnalisme dengan baik. Hati nurani adalah dorongan
ilahiah yang muncul dari seseorang untuk mengatakan dan melakukan
kebaikan. Penghargaan terhadap bagi hati nurani saya kira bukan ilusi,
sebab kata Comte, individu memiliki kehendak moral untuk melayani
kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi
(greater good of humanity).
Media yang Berubah
Apakah
Sembilan njuran Kovach menjadi nasihat suci yang dipatuhi? Mari kita
kembali mengenang Habermas soal kondisi itu. Menurut Habermas (dalam
Arismunandar) ada sejumlah hal yang mempengaruhi ambruknya media,
seperti bangkitnya kapitalisme negara, industri budaya, dan posisi yang
semakin kuat di pihak perusahaan ekonomi dan bisnis besar dalam
kehidupan publik. Ia beranalisis, ekonomi besar dan organisasi
pemerintah telah mengambil alih ruang publik, di mana warga negara hanya
diberi kepuasan untuk menjadi konsumen bagi barang, layanan,
administrasi politik, dan pertunjukan publik.
Menurut
Habermas, berbagai faktor akhirnya mengakibatkan kemerosotan ranah
publik. Salah satu faktor itu adalah pertumbuhan media massa komersial,
yang mengubah publik menjadi konsumen yang pasif. Mereka menjadi
tenggelam dalam isu-isu yang bersifat privat, ketimbang isu-isu yang
menyangkut untuk kebaikan bersama dan partisipasi demokratis.
Perubahan
ini sangat mudah kita rasakan ketika media bahkan nyaris tidak lagi
jadi ruang publik – dengan menghilangnya ruang dialog. Media
diprivatisasi sebagai aset pribadi yang dikelola untuk kepentingan
pribadi. Media mengubah dirinya menjadi pengkhotbah yang mengeliminasi
habis ruang diskusi. Akibatnya, apa yang disampaikan atas nama publik
sejatinya hanyalah kehendak pribadi yang dimanipulasi.
Rilis
Aliansi Jurnalis Independen (2014) tentang intervensi di ruang redaksi
menunjukkan bagaiamana posisi media belakangan ini dalam berbagai perang
kepentingan. Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa ruang
redaksi bukanlah ruang hampa. Kepentingan-kepentingan berkelindan di
sana, mulai kepentingan ekonomi, politik, dan bahkan budaya. Kepentingan
ini dibawa oleh reporter, redaktur, pemimpin redaksi, pemilik media,
hingga pengiklan.
Bahasa sebagai Alat
Pengaruh
media terhadap masyarakat bisa ditelusuri dengan berbagai strategi.
Saya menyodorkan penelusuran melalui bahasa untuk membuktikan itu. Lebih
spesifik, penulsuran bahasa media saya lakukan melalui etimologi
kritis. Penelusuran ini hendak menunjukkan bahwa bahasa media massa
ternyata strategi jitu membangun identitas manusia.
Etimologi,
kajian soal asal muasal kata, telah berlangsung sejak masa linguistik
tradisional. Etimologi lahir dengan asumsi dasar bahwa tiap kata lahir
dari proses sosiokultural yang bisa ditelusuri jejaknya. Kata
menarasikan pergaulan bangsa-bangsa. Kata mengisahkan persahabatan
manusia dengan entitas lain di sekitarnya. Kata juga menggambarkan
problematik batin manusia.
Dengan asumsi itu, etimologi
bisa menjadi “pisau” yang tajam membedah sengketa kekuasaan pada penutur
bahasa – baik orang per orang, komunitas, maupun media massa. Pandangan
ini relevan dengan unen-unen “bahasa menunjukkan bangsa”.
Tentu
saja kita tak perlu mengernyitkan dahi untuk mencari tahu, mengapa
dalam bahasa Malaysia berhamburan istilah bahasa Inggris. Juga, tak
perlu mengernyitkan dahi untuk mencari tahu mengapa istilah hukum di
Indonesia bertauburan kata dari bahasa Belanda.
Sejarah
kata adalah sejarah penaklukan dan dominasi. Bahasa dan kekuasaan
berelasi seperti anak domba dan induknya: saling mengikuti. Penaklukan
memanfaatkan bahasa pada satu waktu dan bahasa adalah bukti otentik
penaklukan di waktu yang lain. Penaklukan melalui bahasa adalah
penaklukan terhadap nalar.
Penaklukan wilayah mungkin
tidak menarik lagi bagi bangsa-bangsa Eropa. Aneksasi wilayah juga bukan
cara populer dan ramah hukum internasional. Meski begitu, ambisi
penaklukan tak pernah padam. Maka, penaklukan dialihkan dengan strategi
kultural yang lebih halus. Bahasa adalah salah satu alatnya.
Etimologi
kritis berperspektif bahwa kata-kata adalah arena kuasa. Kata mewakili
gagasan, ide, dan identitas. Etimologi kritis tidak saja menaruh
perhatian kepada apa “makna” sebuah kata, tetapi juga “bagaimana” kata
itu dihasilkan dan dipopulerkan. Untuk mengerti “bagaimana”, perlu
diketahui lebih dulu “mengapa” agen-agen bahasa memopulerkan sebuah
kata.
Bagaimana gagasan bisa terdistribusi melalui kata?
Awalnya, saya kira, adalah melalui kata. Satuan bahasa ini mampu
mewartakan gagasan karena telah memiliki makna leksikal. Menerjemahkan
kata sama halnya mengintepretasi gagasan. Menyerap kata (asing) berarti
mengakui bahwa sebuah gagasan patut menjadi bagian dalam dialektika
masyarakat.
Bangsa Indonesia barangkali tak berambisi
mendirikan negara berbentuk republic jika para intelektual pada masa
pergerakan tak mengenal “demokrasi”. Demokrasi masuk melalui buku,
melalui para tokoh, melalui sebuah dialektika yang panjang – dan bisa
jadi tidak disengaja. “demokrasi” sebagai kata mengenalkan “Demokrasi”
sebagai gagasan. “demokrasi” memungkinkan “Demokrasi” menjadi aras
bernegara di sebuah wilayah yang selama ribuan tahun menggunakan
monarki.
Jalan kedua adalah melalui frasa. Frasa adalah
gabungan kata, sama seperti klausa. Namun, unsure-unsur frasa tak
memiliki hubungan predikatif.
Dua kata atau lebih yang
tergabung menjadi sebuah bentuk baru biasanya membawa konsep baru.
Konsep baru kadang tak jauh berbeda dengan unsur-unsur pembentuknya,
namun bisa jadi sangat berlainan.
Di Indonesia ada frasa
baru yang mulai populer: konsumen cerdas. Sebagai konsep “konsumen
cerdas” masih relative baru. Frasa ini muncul pada wacana ekonomi,
khusunya berbelanja. Agaknya, frasa ini adalah terjemahan bebas dari
“smart shoper”.
Frasa ini hendak mendikotomikan bahwa ada
dua tipe konsumen, yakni yang cerdas dan yang bukan. Konsumen tak cerdas
bereferensi pada cara belanja lama. Adapun konsumen cerdas bereferensi
dengan cara-cara baru berbelanja baru. Pihak-pihak tertentu
mendeskripsikan cara berbelanja “konsumen cerdas” adalah yang seperti
mereka kehendaki.
Saya mengira, istilah “smart shoper” ini
dimunculkan oleh kaum industri baru. Kaum industr baru adalah para
pelaku usaha yang menggunakan teknologi dalam aktivitas produksi dan
distribusi mereka. Kaum industry baru ingin menggerakan konsumen
meninggalkan cara berbelanja lama supaya bermigrasi menggunakan
cara-cara baru berbelanja.
Kaum industry baru akan
mengatakan bahwa berbelanja sayur sejauh 2 kilometer adalah cara
pekerjaan yang tak efektif. Bagi mereka, “Smart shoper” lebih memilih
berbelanja di swalayan dekat komplek yang telah mereka bangun. Kaum
industry baru mungkin akan mengatakan, pergi ke sanggar batik untuk
membeli dua potog kain batik adalah cara lama yang tidak smart. Bagi
mereka, “smart shoper” adalah yang membeli kain cukup melalui internet.*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment