Tuesday 11 March 2014

Nalar Kota Penduduk Desa

TIDAK hanya bagi warga kota, televisi dan internet telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Keduanya hadir seperti tetangga; menjadi teman berbagi suka duka. Keduanya menyediakan waktu lapang ketika kita menghabiskan waktu luang. Televisi dan internet menyelinap ke ruang-ruang paling privat, menebarkan bujuk rayu sehingga perlahan mengubah nalar penduduk desa yang bersahaja menyerupai nalar penduduk kota.

Dulu, baik secara geografis maupun sosiologis, desa dan kota memiliki karakter yang jauh berbeda. Keseharian sebagai petani membuat penduduk desa berusaha keras menjaga harmoni dengan alam. Mereka berusaha menjaga hubungan emosional dengan lingkungan bukan hanya karena mereka bergantung secara ekonomi, melainkan karena relasi spiritual.

Dahulu, relasi sosial masyarakat pedesaan identik dengan watak guyup. Kolektivitas dianggap ampuh menghadapi berbagai persoalan sehingga perlu dibangun dan dipelihara. Relasi antarindividu tidak semata-mata diatur oleh pranata sosial, melainkan kesadaran eksistensialis individu. Anggapan bahwa manusia paling mulia adalah manusia yang memberi manfaat bagi liyan masih sangat kuat.

Karakteristik di atas sangat berbeda dengan masyarakat kota yang telah lama menjadi arena pertarungan kekuatan ekonomi. Masing-masing individu menempatkan diri sebagai kompetitor bagi individu lain sehingga relasi yang terjalin seringkali hanya dibangun logika untung rugi. Atas nama produktifitas, setiap hal dipertimbangkan secara ekonomis. Sesuatu dianggap perlu jika mampu menghasilkan uang, dan tidak perlu jika sebaliknya.


Tiga Tanda

Namun belakangan stereotip demikian menajdi tidak jelas. Karakter sosial masyarakat desa dan kota menjadi sulit dibedakan. Kecuali desa-desa adat yang dengan susah payah hukum-hukum adat, penduduk desa telah mengikuti tren berpikir masyarakat kota. Logika ekonomi yang memuliakan tradisi berkalkulasi untung-rugi menjadi penggerak aktivitas di sana. Masyarakat desa, meski secara geografis wilayahnya termasuk desa, digerakan nalar ‘kota’.

Kondisi tersebut dapat diamati dalam tiga hal. Pertama, sekat antara orang yang berpunya dengan yang tidak sangat kuat. Keduanya dibatasi oleh kepemilikan. Si kaya, dengan kekayaan yang dimilikinya, memerintah si miskin sehingga kesetaraan sangat sulit diwujudkan. Mekanisme pasar menempatkan orang kaya sebagai penguasa.

Kedua, teknologi dianggap sebagai produk budaya adiluhung sehingga harus dimiliki meski harus ditempuh dengan penuh perjuangan. Teknologi, sebagai metafora kemajuan, menjadi simbol kemakmuran. Masyarakat mulai gila teknologi karena dianggap memiliki prestise yang mampu menempatkan mereka pada derajat tertentu. Karena itulah, saat ini tidak sedikit petani yang menjual lahannnya untuk dibelikan sepeda motor.

Ketiga, tradisi yang dijaga dari generasi ke generasi mulai dianggap sebagai pristiwa seremonial. Upacara adat misalnya, dianggap perlu dilakukan karena telah menjadi kebiasaan. Esensi spiritual yang melatarbelakangi lahirnya upacara justru kerap diabaikan. Hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan serta hubungan horizontal antara manusia dengan alam yang terjalin melalui sebuah upacara semakin sulit ditemukan. Upacara dilewatkan sebagai anualitas.

Ketika ketiga indikator di atas menyatu, produk teknologi berubah menjadi alat sekaligus tujuan. Teknologi menjadi upaya sekaligus pencapaian. Teknologi mulai menggantikan peran-peran sosial yang dulu diperankan manusia. Orang menjadi lebih suka menghabiskan waktu dengan teknologi daripada bertatap muka dengan orang lain. Bersitatap hanya perlu dilakukan pada momen-momen istimewa.

Di desa-desa, fenomena tersebut kini sangat mudah dijumpai. Masyarakat seperti terkagum-kagum dengan berbagai inovasi sehingga teknologi dianggap sebagai sesuatu yang mulia dan patut dipuja.  Ketika televisi belum menjadi ‘teman’ warga desa gemar saling mengunjungi. Ketika mereka memiliki waktu luang, ba’da Isya misalnya, mereka gemar menghabsikan waktu bersama-sama. Namun kini televisi menahan para pemirsanya tetap duduk, menyaksikan dan mengiyakan ‘doktrin’ konsumtifnya.


Bujukan Iklan

Logika ekonomi yang perlahan mengubah perangai masyarakat desa tidak lepas oleh bujuk rayu iklan. Datang dengan berbagai bentuk, iklan menyelinap ke dalam sisi paling privat seseorang. Ia hadir membawa serangkaian janji dan mimpi. Iklan mengepung kearifan masyarakat desa dari berbagai arah, mengajarkan mereka jalan paling pragmatis yang bisa ditempuh.

Iklan, sebagai juru bicara pemilik modal, bekerja efektif karena masyarakat desa tidak memiliki alternatif sumber informasi. Ia hadir sebagai narasi tunggal sehingga berkuasa membolak-balikkan logika. Terkadang ia menciptakan perasaan malu, kecewa, atau bahkan putus asa. Pada saat yang berbeda ia menciptakan harapan, mimpi, dan imajinasi. Ia kemudian menawarkan solusi paling singkat untuk menjawab berbagai persoalan hidup.

Iklan, yang sebenarnya bekerja pada individu, perlahan mengubah karakter kelompok masyarakat karena hadir secara intensif. Akibatnya, karakter masyarakat terbentuk seperti, atau setidaknya menyerupai, yang iklan kehendaki. Ia mengusik penduduk desa dengan berbagai iming-iming, mengajak mereka terbuka dengan segala perubahan. Puncaknya, iklan mengajak penduduk desa berpikir pragmatis untuk menemukan jalan paling pintas menyelesaikan persoalan.

Rahmat Petuguran
Kompas, 12 Juli 2010





No comments:

Post a Comment