Sunday 21 December 2014

Menikmati Seni: Menikmati Keindahan atau Mengikuti Pasar?



Saat Hunger Games; Mockingjay Part 1 ditayangkan, banyak kawan  saya yang riuh membicarakannya. Mereka juga tampak berambisi untuk sesegera mungkin menyaksikan film yang diadaptasi dari novel karya Suzanne Collins itu. Hingga sejauh ini, saya menahan diri untuk tidak menontonnya.

Saat Ayat-ayat Cinta diterbitkan, buku itu menjadi buku wajib pelajar dan mahasiswa. Orang-orang ramai membicaraan kisah Fahri itu. Mereka menenteng buku itu ke dalam kelas, membacanya dalam kendaraan umum, juga di teras rumah (biar kelihatan orang. hehe).

Kejadian yang nyaris sama terjadi saat Laskar Pelangi diterbitkan. Novel narsis itu jadi bestseller nasional, jadi hot topic di kalangan pembaca sastra.

Kini, meski tak sedahsyat Ayat-ayat Cinta, 99 Cahaya di Langit Eropa dan kemudian Bulan Terbelah di Langit Amerika meraih sukses besar. Dua novel (apa iya ini novel?) karya Hanum Rais itu segera naik ke layar lebar.

Terus terang, tidak ada satu pun dari novel-novel saya sebut di atas saya baca hingga selesai. Sastrawan Ajip Rosidi mengaku melempar (sungguh, ini kata yang dia pilih) Laskar Pelangi saat baru membaca bab pertama. Khusus karya Hanum Rais, saya bahkan sama sekali tidak berminat membacanya – baik yang pertama maupun yang kedua.  

Penonton film dan pembaca sastra memiliki motif beragam ketika menentukan pilihan. Dulu, orang membaca sastra untuk memperluas pengetahuan dan menajamkan kepekaan terhadap realitas. Sastra dianggap sebagai naskah yang berisi piwulang aneka kebajikan.

Motif itu, saya amati, sudah menyusut. Orang membaca novel untuk mendapat kesenangan dan kebanggaan. Beberapa akademisi menyebut motif tersebut sebagai tindakan eskapis, yaitu melarikan diri dari dunia kenyatan untuk memasukikenyataan fiksional.

Kecenderungan itu berpengaruh terhadap cara pembaca sastra memilih karya yang akan dibacanya. Dulu, pembaca sastra memilih naskah-naskah yang berkualitas sebagai suplemen jiwa. Adapun kini, lebih banyak pembaca memilih buku yang terkenal supaya tidak ketinggalan obrolan atau supaya dianggap sebagai pembaca.

Di sinilah saya menemukan, perubahan sikap pembaca sastra adalah semata-mata imbas atas strategi pasar yang dilakukan penulis dan penerbit.

Pada kasus Laskar Pelangi, saya kira, kualitas naskah bukan variabel penting yang menentukan kesuksesan pemasaran. Nama penulisnya juga bukan variabel yang penting. Yang membuat Laskar Pelangi Sukses adalah kecermatan penerbit mengelola selera pembaca.

Bentang, barangkali telah melakukan riset dan menemukan bahwa pembaca muda di Indonesia adalah pembaca yang gersang.  Pembaca muda, barangkali, adalah pembaca yang beradalam dalam tegangan antara kondisi hidup yang sulit dan cita-cita besar yang ingin diraih.

Pembaca dengan kondisi psikologis demikian membutuhkan bacaan mengenai orang susah yang telah sukses. “Susah tetapi sukses” adalah kondisi yang dekat dengan karakter pembaca masa kini. Ketika membaca kisah seperti itu, pembaca menemukan dirinya ada di sana. Maka, kisah itu dengan mudah digandrungi sebagai kisah inspirtaif yang memotivasi.

Tapi, mengemas isi saja tidak cukup. Penerbit perlu memberitahukan kepada sebanyak mungkin pembaca. Maka, novel perlu diiklankan.

Yang harus diakui kecerdikannya adalah bahwa Bentang mengiklankan novel itu melalui Kick Andy. Acara ini, pada saat itu sedang naik daun, dan telah memperoleh legitimasi dari pemirsa sebagai acara yang inspiratif. Jika Bentang mengikankan melalui iklan konvensional, hasilnya tentu akan lain.

Penelitian Redyanto Noor menunjukkan, saat penerbit berencana menerbitan buku, yang dilakukan penerbit adalah mengondisikan pembaca. Ia menyebarkan keyakinan, nilai, atau asumsi-asumsi yang membuat bukunya akan muda diterima pembaca – saat diterbitkan kelak.

Misalnya, dulu umat Muslim menyalurkan kesalihannya melalui ritual-ritual keagamaan. Sebab, saat itu mayoritas Muslim meyakini ibadah adalah urusannya dengan Tuhan.

Namun, sejak banyak lahir Muslim kelas menengah, umat Islam dikondisikan agar tidak hanya mengeskpresikan keyakinannya dalam ruang iabdah yang sepi. Umat Islam didoron mengekspresikan identitas keislamnnya sebagai identitas sosial melalui busana, melalui film, melalui buku yang dibacanya.

Jika umat Islam mengamini doktrin ini, mereka akan sangat mudah menerima produk-produk yang dilabeli sebagai produk islami. Maka, muncullah novel-novel islami. Pada tahun 2000-an, booming lah novel-novel dengan cover perempuan berjilbab dengan judul “sajadah”, “tauhid”, “mihrab”, “surga” “ayat” atau kata lain yang bereferensi pada Islam. Dan ternyata: laris!

Yang menarik, para penerbit sepertinya telah menyiapkan betul bahwa segmentasi pasar yang mereka tuju adalah perempuan muslim (muslimah). Maka, novel-novel yang diterbitkan adalah novel dengan “perspektif” perempuan.

Tokoh yang digunakan adalah tokoh yang menarik bagi pembaca perempuan. Tokoh Fahri misalnya adalah laki-laki tampan, saleh, cerdas, baik hati, dan sederhan (hahahahaha!). Dengan tokoh laki-laki ideal di atas, pembaca perempuan akan menyukainya. Bahkan, pembaca tidak terlalu peduli bahwa novel ini memiliki agenda tersembunyi untuk memopulerkan poligami.

Saat pembaca menikmati genre novel Islami, kini orang-orang kreatif di lembaga penerbitan sedang merancang skema baru. mereka merancang produk yang akan mereka jual dengan terlebih dahulu mengondisikan kondisi mental calon pembaca. Setelah novel inspiratif dan islami, saya menduga beberapa lama lagi akan booming novel politik.

Mengenai Hunger Games: Mockingjay Part 1, saya membaca ada “ketamakan” pada pembuat film. Ini sebuah watak industri yang sulit dihindari. Film ini mestinya menjadi penutup dari dua film yang telah ditayangkan sebelumnya. Pembuat film tahu betul bahwa – sebagaimana dua film pendahulunya – film ini akan sukses.

Jika mereka membuat Mockingjay dalam satu film, keuntungan finansial yang akan mereka nikmati ya hanya sekali. Tapi kalau edisi penutup bisa dibuat dua film, mereka akan meraup keuntungan dua kali. Cara main Hollywood inilah yang nggak saya sukai.

No comments:

Post a Comment