Saat Hunger Games; Mockingjay Part 1 ditayangkan, banyak
kawan saya yang riuh membicarakannya. Mereka
juga tampak berambisi untuk sesegera mungkin menyaksikan film yang diadaptasi
dari novel karya Suzanne
Collins itu. Hingga sejauh ini, saya menahan diri untuk tidak
menontonnya.
Saat Ayat-ayat Cinta diterbitkan, buku itu menjadi buku
wajib pelajar dan mahasiswa. Orang-orang ramai membicaraan kisah Fahri itu. Mereka
menenteng buku itu ke dalam kelas, membacanya dalam kendaraan umum, juga di
teras rumah (biar kelihatan orang. hehe).
Kejadian yang nyaris sama terjadi saat Laskar Pelangi
diterbitkan. Novel narsis itu jadi bestseller nasional, jadi hot topic di
kalangan pembaca sastra.
Kini, meski tak sedahsyat Ayat-ayat Cinta, 99 Cahaya di
Langit Eropa dan kemudian Bulan Terbelah di Langit Amerika meraih sukses besar.
Dua novel (apa iya ini novel?) karya Hanum Rais itu segera naik ke layar lebar.
Terus terang, tidak ada satu pun dari novel-novel saya sebut
di atas saya baca hingga selesai. Sastrawan Ajip Rosidi mengaku melempar (sungguh, ini kata yang dia pilih) Laskar
Pelangi saat baru membaca bab pertama. Khusus karya Hanum Rais, saya bahkan
sama sekali tidak berminat membacanya – baik yang pertama maupun yang kedua.
Penonton film dan pembaca sastra memiliki motif beragam
ketika menentukan pilihan. Dulu, orang membaca sastra untuk memperluas
pengetahuan dan menajamkan kepekaan terhadap realitas. Sastra dianggap sebagai
naskah yang berisi piwulang aneka kebajikan.
Motif itu, saya amati, sudah menyusut. Orang membaca novel
untuk mendapat kesenangan dan kebanggaan. Beberapa akademisi menyebut motif
tersebut sebagai tindakan eskapis, yaitu melarikan diri dari dunia kenyatan
untuk memasukikenyataan fiksional.
Kecenderungan itu berpengaruh terhadap cara pembaca sastra
memilih karya yang akan dibacanya. Dulu, pembaca sastra memilih naskah-naskah
yang berkualitas sebagai suplemen jiwa. Adapun kini, lebih banyak pembaca
memilih buku yang terkenal supaya tidak ketinggalan obrolan atau supaya
dianggap sebagai pembaca.
Di sinilah saya menemukan, perubahan sikap pembaca sastra
adalah semata-mata imbas atas strategi pasar yang dilakukan penulis dan
penerbit.
Pada kasus Laskar Pelangi, saya kira, kualitas naskah bukan
variabel penting yang menentukan kesuksesan pemasaran. Nama penulisnya juga
bukan variabel yang penting. Yang membuat Laskar Pelangi Sukses adalah
kecermatan penerbit mengelola selera pembaca.
Bentang, barangkali telah melakukan riset dan menemukan
bahwa pembaca muda di Indonesia adalah pembaca yang gersang. Pembaca muda, barangkali, adalah pembaca yang beradalam
dalam tegangan antara kondisi hidup yang sulit dan cita-cita besar yang ingin
diraih.
Pembaca dengan kondisi psikologis demikian membutuhkan
bacaan mengenai orang susah yang telah sukses. “Susah tetapi sukses” adalah
kondisi yang dekat dengan karakter pembaca masa kini. Ketika membaca kisah
seperti itu, pembaca menemukan dirinya ada di sana. Maka, kisah itu dengan
mudah digandrungi sebagai kisah inspirtaif yang memotivasi.
Tapi, mengemas isi saja tidak cukup. Penerbit perlu memberitahukan
kepada sebanyak mungkin pembaca. Maka, novel perlu diiklankan.
Yang harus diakui kecerdikannya adalah bahwa Bentang
mengiklankan novel itu melalui Kick Andy. Acara ini, pada saat itu sedang naik
daun, dan telah memperoleh legitimasi dari pemirsa sebagai acara yang inspiratif.
Jika Bentang mengikankan melalui iklan konvensional, hasilnya tentu akan lain.
Penelitian Redyanto Noor menunjukkan, saat penerbit
berencana menerbitan buku, yang dilakukan penerbit adalah mengondisikan
pembaca. Ia menyebarkan keyakinan, nilai, atau asumsi-asumsi yang membuat
bukunya akan muda diterima pembaca – saat diterbitkan kelak.
Misalnya, dulu umat Muslim menyalurkan kesalihannya melalui
ritual-ritual keagamaan. Sebab, saat itu mayoritas Muslim meyakini ibadah
adalah urusannya dengan Tuhan.
Namun, sejak banyak lahir Muslim kelas menengah, umat Islam
dikondisikan agar tidak hanya mengeskpresikan keyakinannya dalam ruang iabdah
yang sepi. Umat Islam didoron mengekspresikan identitas keislamnnya sebagai
identitas sosial melalui busana, melalui film, melalui buku yang dibacanya.
Jika umat Islam mengamini doktrin ini, mereka akan sangat
mudah menerima produk-produk yang dilabeli sebagai produk islami. Maka,
muncullah novel-novel islami. Pada tahun 2000-an, booming lah novel-novel
dengan cover perempuan berjilbab dengan judul “sajadah”, “tauhid”, “mihrab”, “surga”
“ayat” atau kata lain yang bereferensi pada Islam. Dan ternyata: laris!
Yang menarik, para penerbit sepertinya telah menyiapkan
betul bahwa segmentasi pasar yang mereka tuju adalah perempuan muslim
(muslimah). Maka, novel-novel yang diterbitkan adalah novel dengan “perspektif”
perempuan.
Tokoh yang digunakan adalah tokoh yang menarik bagi pembaca
perempuan. Tokoh Fahri misalnya adalah laki-laki tampan, saleh, cerdas, baik
hati, dan sederhan (hahahahaha!). Dengan tokoh laki-laki ideal di atas, pembaca
perempuan akan menyukainya. Bahkan, pembaca tidak terlalu peduli bahwa novel
ini memiliki agenda tersembunyi untuk memopulerkan poligami.
Saat pembaca menikmati genre novel Islami, kini orang-orang
kreatif di lembaga penerbitan sedang merancang skema baru. mereka merancang
produk yang akan mereka jual dengan terlebih dahulu mengondisikan kondisi
mental calon pembaca. Setelah novel inspiratif dan islami, saya menduga
beberapa lama lagi akan booming novel politik.
Mengenai Hunger Games: Mockingjay Part 1, saya membaca ada “ketamakan”
pada pembuat film. Ini sebuah watak industri yang sulit dihindari. Film ini
mestinya menjadi penutup dari dua film yang telah ditayangkan sebelumnya. Pembuat
film tahu betul bahwa – sebagaimana dua film pendahulunya – film ini akan
sukses.
Jika mereka membuat Mockingjay dalam satu film, keuntungan finansial
yang akan mereka nikmati ya hanya sekali. Tapi kalau edisi penutup bisa dibuat
dua film, mereka akan meraup keuntungan dua kali. Cara main Hollywood inilah
yang nggak saya sukai.
No comments:
Post a Comment