Salah satu ciri bahasa iklan adalah adanya
teks dalam teks. Inilah yang membuat bahasa iklan memiliki daya persuasi
besar meskipun wujud gramatikalnya sederhana. Pembuat iklan memanfaatkan “teks”
berupa pengalaman kolektif, mitos, atau pengetahuan umum sebagai bahan untuk
mengonstruksi teks iklannya. Pada beberapa iklan, teks yang diberdayakan adalah
pengetahuan-pengetahuan yang tersimpan di luar kesadaran.
Dalam studi kesusasteraan, fenomena teks
dalam teks kerap disebut sebagai intertekstualitas. Pendekatan
intertekstualitas menganggap bahwa sebuah teks tidak berdiri sendiri. Terdapat
teks-teks lain yang menopang eksistensi teks bersangkutan. Teks “dalam” turut
memberi arti dan kebermaknaan teks
“luar”. Interteksualitas juga sering disebut sebagai dialog antarteks karena
memungkinkan teks-teks terbaca pola dan relasinya.
Dalam teori intertekstualitas teks
diasumsikan seperti kain yang ditenun dengan benang pengetahuan. Perhatian
pembaca semestinya tidak hanya tertuju pada hasil akhir kain. Perhatian terhadap
jenis dan sifat benang diyakini akan membantu pembaca dapat membaca isi dan
karakter kain. Karena pengetahuan berisfat ideologis dan memiliki motif,
intertekstualitas dapat digunakan pembaca untuk memahami motif di balik teks.
Menurut Kristeva (dalam Worton, 1990: 1) tautan antarteks
dapat terjadi karena dua alasan. Pertama, sebelum menulis teks, setiap pengarang
adalah pembaca teks. Karya seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari
berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh teks yang sebelumnya telah
dibaca. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan
adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses
pembacaan.
Kajian tentang interteksualitas awalnya
hanya populer di wilayah kesusasteraan. Prinsip intertekstualitas digunakan
untuk memberi makna berbagai cara yang
terdapat dalam teks sastra, atau yang berhubungan dengan teks lain, baik secara
terbuka, tertutup, tersamar dalam kiasan-kiasan atau dengan asimilasi dari
karya tersebut.
Menurut Amertawengrum (2010) prinsip intertekstualitas
diterapkan di Indonesia pertama kali oleh Teeuw. Teeuw membuktikan bahwa dalam
sastra Indonesia modern prinsip-prinsip interteks dapat diterapkan dengan baik.
Ia mencontohkan hubungan intertekstual antara sajak “Berdiri Aku” karya Amir
Hamzah dengan sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar.
Sebuah versi iklan asuransi yang
diproduksi Allianz dapat menjadi contoh yang relevan penggunaan
intertekstualitas dalam dunia periklanan. Dalam iklan outdoor yang ditayangkan
di beberapa kota Allianz menggunakan tagline “Solusi asuransi dari A sampai Z”.
Tagline itu berdaya persuasi tinggi karena dapat mengarahkan pembaca pada
simpulan bahwa Allianz menyediakan layanan asuransi lengkap.
Pesan
sebagai asuransi “lengkap” memang tidak muncul secara eksplisit pada
teks tagline. Namun, di luar teks tagline ada teks lain berupa pengetahuan
bahwa frasa “Dari A sampai Z” berarti lengkap. A merupakan huruf pertama dalam
sistem alfabetis latin yang populer di di berbagai belahan dunia. Adapun Z
adalah huruf terakhir pada sistem alfabetis tersebut. Rentang antara A sampai Z
mencakup keseluruhan huruf yang ada dalam sistem alfabetis. Oleh karena itu,
frasa “dari A sampai Z” bersinonim dengan kata “lengkap”.
Apakah perusahaan asal Jerman ini
benar-benar memiliki produk asuransi lengkap dalam arti komplit? Allianz
barangkali memang memiliki diversifikasi produk yang beragam, mulai dari
asuransi jiwa, kendaraan, rumah, tenaga kerja, asset, dan lainnya. Namun, tidak
berarti mereka memiliki seluruh jenis produk asuransi. Frasa “Dari A sampai Z”
yang dijadikan tagline Allianz bisa jadi hanyalah game karena nama perusahaan
itu memang dimulai dengan huruf A dan diakhiri dengan huruf Z.
Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes)
No comments:
Post a Comment