Monday 20 April 2015

Teks dalam Teks pada Iklan



 
Salah satu ciri bahasa iklan adalah adanya teks dalam teks. Inilah yang membuat bahasa iklan memiliki daya persuasi besar meskipun wujud gramatikalnya sederhana. Pembuat iklan memanfaatkan “teks” berupa pengalaman kolektif, mitos, atau pengetahuan umum sebagai bahan untuk mengonstruksi teks iklannya. Pada beberapa iklan, teks yang diberdayakan adalah pengetahuan-pengetahuan yang tersimpan di luar kesadaran.

Dalam studi kesusasteraan, fenomena teks dalam teks kerap disebut sebagai intertekstualitas. Pendekatan intertekstualitas menganggap bahwa sebuah teks tidak berdiri sendiri. Terdapat teks-teks lain yang menopang eksistensi teks bersangkutan. Teks “dalam” turut memberi arti dan kebermaknaan  teks “luar”. Interteksualitas juga sering disebut sebagai dialog antarteks karena memungkinkan teks-teks terbaca pola dan relasinya.

Dalam teori intertekstualitas teks diasumsikan seperti kain yang ditenun dengan benang pengetahuan. Perhatian pembaca semestinya tidak hanya tertuju pada hasil akhir kain. Perhatian terhadap jenis dan sifat benang diyakini akan membantu pembaca dapat membaca isi dan karakter kain. Karena pengetahuan berisfat ideologis dan memiliki motif, intertekstualitas dapat digunakan pembaca untuk memahami motif di balik teks.  

Menurut Kristeva  (dalam Worton, 1990: 1) tautan antarteks dapat terjadi karena dua alasan. Pertama, sebelum menulis teks, setiap pengarang adalah pembaca teks. Karya seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh teks yang sebelumnya telah dibaca. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan.

Kajian tentang interteksualitas awalnya hanya populer di wilayah kesusasteraan. Prinsip intertekstualitas digunakan untuk memberi  makna berbagai cara yang terdapat dalam teks sastra, atau yang berhubungan dengan teks lain, baik secara terbuka, tertutup, tersamar dalam kiasan-kiasan atau dengan asimilasi dari karya tersebut. 

Menurut Amertawengrum (2010) prinsip intertekstualitas diterapkan di Indonesia pertama kali oleh Teeuw. Teeuw membuktikan bahwa dalam sastra Indonesia modern prinsip-prinsip interteks dapat diterapkan dengan baik. Ia mencontohkan hubungan intertekstual antara sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dengan sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar.

Sebuah versi iklan asuransi yang diproduksi Allianz dapat menjadi contoh yang relevan penggunaan intertekstualitas dalam dunia periklanan. Dalam iklan outdoor yang ditayangkan di beberapa kota Allianz menggunakan tagline “Solusi asuransi dari A sampai Z”. Tagline itu berdaya persuasi tinggi karena dapat mengarahkan pembaca pada simpulan bahwa Allianz menyediakan layanan asuransi lengkap.

Pesan  sebagai asuransi “lengkap” memang tidak muncul secara eksplisit pada teks tagline. Namun, di luar teks tagline ada teks lain berupa pengetahuan bahwa frasa “Dari A sampai Z” berarti lengkap. A merupakan huruf pertama dalam sistem alfabetis latin yang populer di di berbagai belahan dunia. Adapun Z adalah huruf terakhir pada sistem alfabetis tersebut. Rentang antara A sampai Z mencakup keseluruhan huruf yang ada dalam sistem alfabetis. Oleh karena itu, frasa “dari A sampai Z” bersinonim dengan kata “lengkap”.

Apakah perusahaan asal Jerman ini benar-benar memiliki produk asuransi lengkap dalam arti komplit? Allianz barangkali memang memiliki diversifikasi produk yang beragam, mulai dari asuransi jiwa, kendaraan, rumah, tenaga kerja, asset, dan lainnya. Namun, tidak berarti mereka memiliki seluruh jenis produk asuransi. Frasa “Dari A sampai Z” yang dijadikan tagline Allianz bisa jadi hanyalah game karena nama perusahaan itu memang dimulai dengan huruf A dan diakhiri dengan huruf Z.

Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes)

No comments:

Post a Comment