Monday 8 February 2016

Postdikotomik

Era kita hidup dan masa-masa seseudahnya, barangkali, tidak akan memberi ruang yang layak lagi bagi pikiran-pikiran dikotomik. Cara bernalar memisahkan sesuatu pada dua kubu yang seolah-olah berseberangan, tidak akan lagi diterima. 

Sikap itu muncul karena kerumitan-kerumitan relitas mulai terurai. Dan, realitas terbaca tidak sesederhana seperti apel yang dibelah. Sesuatu yang tampak seperti dua hal yang berhadap-hadapan, ternyata adalah satu. Atau, dua hal yang tampak saling meliyankan, ternyata hanya sebagian dari sebagian jumlah besar lainnya.

Logika dikotomik, sangat mungkin, muncul karena bahasa lahir secara dikotomik. Orang perlu membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Tanda baru diperlukan untuk menyebut “sesuatu yang lain dari yang telah ada”. Dari proses itu, hubungan tanda baru dengan tanda lain yang pernah ada tampak bersandingan, berkonforntasi, atau menegasikan.

Dalam bahasa, logika antonimi adalah contoh logika dikotmik yang populer. Baik berelasi secara dikotomik dengan buruk sebagimana benar berelasi dengan salah. Bahkan hitam disepakati secara kolektif berantonim dengan putih, tanpa penjelasan fisis yang mencukupi sekalipun.

Logika dikotomik dalam bahasa melatih pikiran manusia sebagai alat memilah yang efisien untuk menempatkan sesuatu sebagai oposan, bivalensi, atau lawan bagi sesuatu yang lain. Logika demikian dipakai sekadar menyederhana sesuatu yang jauh lebih rumit namun tak tertuturkan.

Dalam banyak riset sosial, logika semacam ini telah banyak terbukti tidak memadai lagi untuk menggambarkan realitas. Misalnya, sudah tidak relevan lagi menghubungan kapitalisme dan sosialisme sebagai dua ha lyang berdiri di ujung yang lain. Kedua paham itu bisa menemukan kesatuan fundamental. Atau, bisa jadi, kapitalisme dan sosialisme justru hanya hiponim bagi konsep yang lebih besar.

Sudah tidak relevan pula menyebut tua dan muda dalam relasi dikotomik yang kaku. Ada sesuatu yang muda namun sejatinya tua. Demikian sebaliknya.

Faktor penyebab sesuatu, dulu, kerap dipilah ke dalam dua kotak: internal dan eksternal. Dalam pembagian itu, internal dan eksternal tampak seperti dua kamar hotel yang bersekat tembok. Padahal dalam banyak hal, sekat itu seperti jaring dari linen yang lembut.

Subjektif dan objektif juga kerap didikotmikan sebagai sesuatu yang berlainan dan berhadap-hadapan. Tapi kini telah ada subjektivisme objektif atau objektivisme subjektif untuk menunjukkan betapa cair kebutuhan itu.

Pun demikian dengan cara kebanyakn orang memilah waktu. Lazimnya, waktu dieklompokan menjadi dua: yang lampau dan yang mendatang. Dua hal itu disekati secara ketat oleh yang kini. Tapi tesis Suhail Inayatullah soal poisble future justru menunjukkan dialektika dan agaknya kemenyatuan antara masa lalu dan masa depan.

Tegal 8 Februari 2016

No comments:

Post a Comment