Tahun 2008, tahun kunjungan Indonesia (visit Indonesia years), hampir berakhir. Perlu dipertanyakan berapa besar kontribusi visit Inonesia years dalam mendongkrak ‘pemasaran’ pariwisata Indonesia? Banjarnegara, kabupaten yang memiliki ototitas terhadap beberapa objek wisata juga harus berefleksi. Sudahkah Banjarnegara memaksimalkan potensi wisatanya?
Dari lima objek wisata andalan Banjarnegara yang terdaftar di Dinas Pariwisata provinsi Jawa Tengah, hanya pegunungan tinggi Dieng yang telah dikenal publik. Anggapan tersebut bisa dimaklumi, dieng memang telah melejit pamornya. Hegemoni Dieng bahkan seperti membuat objek wisata lain tak ‘tergarap’. Desa Wisata Gumelem, misalnya, seperti terbengkalai. Dengan 5 objek wisata andalan, angka kunjungan wisatawan di Banjarnegara termasuk rendah. Tahun 2006 daerah ini hanya mampu menyedot 254.074 pengunjung (Kompas, 12/8).
Desa Wisata
Desa wisata adalah kawasan pedesaan yang memiliki karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Karena itulah dalam menetapkan desa wisata, setidaknya ada empat kriteria yang harus dipenuhi. Pertama, kondisi alam mendukung, mencakup keindahan, kekayaan vegetasi tumbuhan, keberagaaman fauna, dan keamanan.
Kedua, memiliki keberagaman aktivitas sosial. Penduduk setempat juga merupakan aset yang mampu mendukung daya tarik sebuah tempat. Kehidupan masyarkat akan menarik jika unik, dan konsisten dilakukan. Ketiga, terdapat aktivitas seni, baik pementasan maupun kerajinan. Keempat, penataan lingkungan yang proporsional.
Desa Gumelem terletak di Kecamatan Susukan, sekitar 37 kilometer arah barat kota Banjarnegara. Ketika pemeritah daerah (Pemda) menetapakan Gumelem sebagai desa wisata, berbagai kriteria desa wisata tentu telah dipertimbangkan benar. Secara kasat mata, Gumelem memang daerah potensial, baik kondisi gografis, budaya, maupun keseniannya.
Melihat kondisi alamnya, Gumelem tampak lebih eksotis di bandingkan dengan desa-desa lain di sekitarnya. Meskipun tidak serta merta gelar tersebut menjadikan Gumelem sebagai desa terindah. Kondisi alam desa ini relatif bisa menyajikan pemandangan yang indah. Antara lain, terdapat hamparan sawah, pegunungan dan sungai, lengkap dengan vegetasi dan variasi faunanya.
Kehidupan sosial masyarakat Gumelem juga menarik dicermati. Meski secara geografis desa ini terletak di desa-desa lain yang tengah bergerak ke arah progresif modern, nilai lokal desa ini cenderung dapat dipertahankan. Bisa jadi ini terkait dengan sikap mental penduduknya yang konsisten menjaga kearifan lokal. Contohnya, Gumelem mungkin satu-satunya desa yang masih mempertahankan lumbung desa. Meski lumbung tersebut tidak lagi difungsikan sebagai bank pangan, keberadaannya menarik karena bentuk aslinya masih dipertahankan. Dari perspektif budaya, terdapat filosofi yang diajarkan lumbung, yakni sikap eling (ingat) atas kekayaan yang dimilikinya.
Di Gumelem juga terdapat kesenian lokal yang tumbuh dan berkembang melngkapi kekayaan budaya lokal. Tari Ujungan, yang ihwalnya dipentaskan dalam upacara minta hujan adalah produk asli desa tersebut. Gerakan tari ini juga memiliki keunikan tersendiri yang tidak ditemukan pada tari trdisional lain.
Selain itu, kerajinan produksi desa Gumelem juga masih bertahan. Setidaknya ada satu komoditas kerajinan yang potensial mendukung Gumelem sebagai desa wisata, yakni batik Gumelem. Meski batik ini tak berkembang menjadi industri yang menjanjikan, batik Gumelem dapat melengkapi khazanah batik nusantara. Coraknya juga khas, berupa gabungan motif lor (Pekalongan) dan kidul (Yogyakarta).
Promosi Wisata
Kendati Gumelem menyimpan potensi wisata, tidak akan ada artinya jika potensi tersebut tidak dikelola dan dipromosikan. Wisata adalah komoditas dagang yang memerlukan strategi pemasaran. Karena sektor pariwisata juga menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) perlu ditetapkan target tertentu, berupa angka kunjugan wisata agar arah pencapaian menjadi jelas. Bahkan karena wisata telah menjadi komoditas, dalam memasarkannya perlu strategi menghadapi persaingan.
Banyak hal bisa dilakukan untuk memperkenalkan desa wisata. Namun utamanya, membangun citra postif agar desa wisata setidaknya dipertimbangkan menjadi salah satu tujuan wisatawan. Selain diperkenalkan, pengelola penting meluncurkan produk-produk wisata yang memikat, seperti festival seni, kegiatan budaya, atau pemusatan kegiatan olahraga alam (out bond).
Untuk membangun citra, ada beberapa persoalan jangka pendek yang harus dilakukan. Pertama, membangun kesadaran penduduk setempat. Hanya dengan sadar wisata, masyarakat mampu melakoni perannya secara proporsional, bukan hanya sebagai objek tetapi juga subjek. Kedua, membangun akses informasi dan transportasi yang memadai. Contohnya, membangun daerah transit terpadu yang menghubungkan daerah di sekitar Gumelem, baik dari arah Banyumas, Purbalingga, Kebumen, maupun dari arah kota Banjarnegara.
Ketiga, diversifikasi produk wisata. Desa wisata juga harus mampu mengakomodasi berbagai motivasi kunjungan wisatawan, termasuk wisata remaja. Misalnya, sarana wisata petualngan (out bond), bersepeda, berkuda menyusuri persawahan di sekitar desa, atau penyediaan bis dan andong wisata keliling. Begitupun bagi wisata keluarga, diperlukan rumah singgah (homestay) maupun sarana hiburan.
Keempat, perbaikan pelayanan publik. Misalnya, pemberlakuan satu karcis untuk seluruh fasilitas, jaminan keamanan parkir kendaraan, dan kelancaran akses. Banyak wisatawan yang dibuat pusing terlebih dulu karena kemacetan luar biasa ketika memasuki komplek wisata. Tentu saja hal ini akan meninggalkan kesan tidak nyaman bagi pengunjung.
Jika desa wisata mulai menggeliat, sarana publik tentu akan berjalan progresif. Kunjungan wisatawan diharapkan mampu memberi kontribusi positif bagi perkembangan infrastruktur desa.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Thursday, 14 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment