Thursday, 14 January 2010

Bali Ndeso atau Transmigrasi, Pak Gubernur?

Jargon Bali Ndeso Mbangun Deso (BNMD) yang diusung Bibit Waluyo-Rustriningsih saat kampanye mestinya sudah mulai terlaksana di bulan keempat masa jabatannya. Setidaknya haluan pembangunan mulai terdisentralisasi ke desa-desa. Alih-alih membangun desa, pemerintah daerah justru giat mengirim tranmigran. Selasa (25/11) lalu Wakil gubernur Rustriningsih melepas 247 transmigran ke Sulawesi Selatan, 6.000 warga Jawa Tengah lainnya masih menunggu.
Mengirimkan transmigran memang prestasi di satu sisi, membantu pemerintah meratakan persebaran penduduk demi pemerataan pembangunan. Di sisi lain transmigrasai menggambarkan rendahnya kesejahteraan penduduk Jawa Tengah. Penduduk, dengan berat hati sebetulnya, meninggalkan tanah kelahirannya demi penghidupan yang lebih baik. Meski pemerintah, atau siapapapun, tidak pernah menjamin taraf hidup mereka akan benar-benar lebih baik di daerah transmigrasi.
Data statistik jumlah transmigran dari Jawa Tengah memang cenderung menurun. Tahun 2005 Jawa Tengah memberangkatkan 890 transmigran dari 894 Surat Perintah Pemberangkatkan (SPP) yang dikeluarkan Depnakertrans. Jumlah itu turun menjadi 861 pada 2006, dan 581 pada 2007. Sedangkan tahun ini, meski telah memasuki akhur tahun, baru 256 transmigran yang diberangkatkan dari 1.146 yang ditargetkan. Jumlah tersebut adalah yang tercatat pemerintah, tidak termasuk warga yang melakukan transmigrasi dengan inisiatif sendiri.
Dalam kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, angka di atas dapat bermakna ganda. Pertama, kecenderungan transmigran yang bekurang empat tahun terakhir bisa berarti minat transmigran berkurang. Masyarakat merasa tidak perlu melancong ke tanah seberang seiring terciptanya kesejahteraan di tempat mereka tinggal. Kedua, penduduk menganggap program ini tidak menarik lagi. Selain janji-janji kehidupan yang lebih baik sulit tercapai di daerah tujuan, jatuhnya harga kelapa sawit dan getah karet belakangan ini mempengaruhi daya tampung tenaga kerja di daerah-daerah tujuan transmigrasi.
Dari perspektif budaya, transmigrasi dapat dimaknai sebagai bentuk rekayasa sosial. Beban yang harus ditanggung pulau Jawa terlampau berat sehingga harus dibagi dengan wilayah lain. Untuk itu pemerintah memfasilitasi penduduk Jawa untuk bermigrasi. Untuk melancarkan programnya pemerintah memberi iming-iming kehidupan yang lebih baik di sana. Padahal kebiasaan melancong, sebenarnya, bukan tradisi masyarakat Jawa. Semboyan kuno ‘mangan ora mangan kumpul’ tereduksi oleh desakan ekonomi. Karena masyarakat Jawa terbiasa hidup bersama dalam sebuah komunitas, transmigrasi sendiri sebenarnya tidak pernah dikehendaki. Namun membelitnya persoalan keuangan merubah prinsip hidup mereka untuk memprioritaskan kemakmuran daripada pilihan hidup komunal. Kumpul ora kumpul sing penting mangan, tegasnya.

Sektor pertanian melemah
Tidak produktifnya sektor pertanian di Jawa juga menjadi faktor yang mendorong mobilisasi penduduk melalui transmigrasi. Pergerakan basis kekuatan ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri membuat pertanian tidak lagi bertaji atau diminati. Pertama, terjadi alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran belakangan ini. Selain dirubah menjadi kawasan industri, lahan pertanian banyak disulap menjadi perumahan, kawasan niaga, dan pengembangan sarana transportasi darat seperti pembangunan jalan tol dan jalur kereta api. Harus diakui, karena memakan lahan pertanian yang tidak sedikit pembangunan jalan tol Semarang-Solo yang tengah dikebut pengerjaanya juga punya andil dalam melemahkan sektor pertanian di Jawa Tengah.
Kedua, terjadi reorientasi makna pertanian di kalangan anak muda. Petani dan profesi di bidang pertanian lain seperti kehilangan daya tarik seiring kemajuan industri. Anak muda lebih senang memilih bidang lain, seperti kesehatan, pendidikan, perdagangan, dan industri kreatif sebagai alternatif profesi. Hal ini tergambar jelas ketika 2.894 kursi jurusan pertanian di perguruan tinggi peserta SNMPTN 2008 justru kosong sementara kompetisi di jurusan lain sangat ketat.
Lemahnya kekuatan sektor pertanian sebagai soko guru ekonomi masyarakat desa juga disebabkan oleh regulasi pemerintah yang tidak jelas. Perihal pupuk, contoh kecilnya, pemerintah tidak melakukan perlindungan bagi kepentingan petani. Dua bulan terakhir ini petani di Jawa Tengah bahkan kesulitan mendapatkan pupuk. Ketika harga pupuk naik, petani juga harus berkorban karena ketimpangan biaya produksi dan hasil panen. Pemerintah juga kurang protektif mwlindungi harga komoditas lokal. Alih-alih memberdayakan kekuatan pertanian lokal pemerintah justru sering melakukan blunder dengan mengimpor produk pertanian. Bahkan berbagai komoditas lokal seperti bawang merah di Brebes, padi di Purworejo, dan tebu yang terdapat di beberapa kota di Jawa Tengah seringkali terpukul oleh regulasi pemerintah.
Mengingat sebagian besar penduduk Jawa Tengah bertumpu pada bidang pertanian, pemerintah daerah harus memberi perhatian menyeluruh dan terperinci. Konsep ‘Mbangun Ndeso’ tidak akan termanifestasi tanpa memperhatikan sektor pertanian. Bisa jadi bidang ini yang bahkan akan menjadi kunci kesuksesan pemerintah daerah memeratakan pembangunan. Karena itulah regulasi pemerintah di bidang pertanian harus menyeluruh menyangkut seluruh aspek, baik produksi, distribusi, pemasaran dan konsumsi.

Salah kelola?

Besarnya jumlah transmigran dari Jawa Tengah memang tidak dapat dijadikan parameter tunggal kegagalan pemerintah daerah mensejahterakan warganya. Namun mengingat potensi besar yang dimiliki Jawa Tengah, transmigrasi tetap saja menjadi sebuah ironi. Terlebih ketika kesejahteraan menjadi alasan tunggal.
Jelas tidak terlalu membanggakan jika jawa Tengah harus terus menerus mengirim transmigran. Dalam rapor hasil kerja pemerintah daerah transmigrasi, sebagaimana urbanisasi, menjadi angka merah yang sebaiknya segera ‘dihitamkan’. Tipografi, iklim dan kesuburan tanah Jawa sebenarnya begitu memanjakan. Benar jika dikatakan seperti tanah surga hingga tongkat kayu dan batu menjadi tanaman. Jika rakyatnya justru miskin, hingga harus mencari makan ke ke pulau lain, penting dipertanyakan; mungkinkah salah kelola?

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaskara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment