Siapapun yang pernah menggunakan jasa pelayanan publik di berbagai kantor pemerintah pasti pernah mengalami, paling tidak tahu, bahwa para birokrat selalu saja meminta uang pelicin agar pelayanan tersebut dapat segera diberikan. Bahkan nominal yang harus dibayarkan juga telah ditentukan sebelumnya. Jauh hari sebelum istilah birokrasi lahir, Plato dalam bukunya ‘The Laws’ mengatakan “Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang harus, kalau terbukti, dihukum mati tanpa upacara”
Lantangnya suara Plato menekankan bahwa para pelayan bangsa atau birokrat tidak layak menerima imbalan atas pelayanan yang telah diberikan. Sedangkan pesan kedua, menekankan harus adanya hukuman yang yang berat bagi birokrat yang melanggar.
Namun selantang apapun suara Plato diatas, nampaknya tidak begitu digubris kalangan eksekutif kita. Praktek korupsi dalam proses pelayanan publik terus saja menjamur hampir di seluruh pusat pelayanan publik. Kenyataan semacam ini membuktikan bahwa sistem birokrasi kita tak ubahnya dengan birokrasi VOC yang dikelola bangsa penjajah puluhan tahun yang lalu.
Bagi sebagian negara, birokrat yang korup adalah potret buram sebuah negara. Oleh karena itu perlu perbaikan yang menyeluruh. Padahal produk hukum dan kesepakatan politik yang mengusung adanya reformasi birokrasi sudah begitu banyak. Hanya saja langkah konkretnya memang belum mampu menyentuh birokrat daerah yang masih adem ayem.
Sistem akuntabilitas bagibirokrasi di atas terkesan kuat . sedikitnya ada 10 ketetapan MPR sejak tahun 1998 hingga 2002 mendorong pembenahan, namun hingga kini wajah birokrasi di tanah air tetap saja sama. Wajah birokrasi yang tidak kompeten, tidak efisien dan korup juga disampaikan Bank Dunia dalam laporannya; “Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan”
Dalam laporan tersebut, survei terakhir sebelum laporan itu diterbitkan menyatakan bahwa hampir separuh pejabat di Indonesia selalu menuntut uang lebih saat memberikan pelayanan pada masyarakat. Angka tersebut lahir karena tidak adanya pengawasan dan hukuman yang mengatur pegawai negeri secara proaktif. Banyak pegawai menjadi pencuri, menggelapkan uang, membuat laporan biaya fiktif, mendapat berbagai sogokan dan uang pelicin tidak kapok karena tidak menerima hukuman bahkan teguran sekalipun dari atasan. Atasan yang seharusnya menjadi pengawas kinerja para birokrat justeru mengiyakan parktek korup di kantor yang dipimpinnya, bahkan tidak jarang para atasan inilah yang menjadi inspirator sekaligus pelindung praktik korupsi anak buahnya.
Kenyataan di atas semakin memperkuat anggapan bahwa birokrasi yang telah berjalan selama ini tidak lebih baik dari VOC. Perseroan dagang Belanda yang sempat menjadi benalu perekonomian tanah air ini juga bukan lembaga yang sehat. Sama seperti kebanyakan pegawai pemerintahan, pegawai yang bekerja di VOC juga mendapatkan gaji yang rendah sehingga menyuburkan praktik korupsi. Padahal sejatinya korupsi yang telah lama menjadi wajah kedua birokrasi ini dapat di minimalisasi dengan memperkuat sistem pengawasan dari atasan. Cuma sekarang masalahnya, apakah atasan tidak ikut-ikutan korupsi?
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Thursday, 14 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment