Setalah 64 tahun merdeka, berbagai persoalan bangsa masih tersisa. Bahkan isu kesetaraan gender yang sebenarnya telah muncul sejak tahun 1920-an sampai saat ini masih tersisa.
Perkembangan zaman menuntut perempuan mampu melakoni peran gandanya. Selain sebagai seorang perempuan yang memiliki peran sebagai ibu dan istri, perempuan dituntut berperan lebih besar dalam pembagunan nasional. Karena itulah mereka perlu mengaktualisasi diri agar gerakan perjuangan perempuan tidak kehilangan momentumnya.
Pada periode prakemerdekaan, perempuan dihadapkan pada dua tantangan yang sangat berat. Selain cuncut tali wanda membebaskan diri dari penajajah, perempuan harus bekerja keras mendobrak pakem feodal patriarkhis yang sering mengungkung gerakan mereka. Kedua ‘musuh’ itu dilawan dengan perang fisik maupun ideologis.
Untuk membebaskan diri dari cengkraman penjajah perempuan Indonesia punya peran besar. Mereka banyak yang terlibat aktif dalam perang-perang melawan penjajah. Bahkan tokoh perempuan seperti Cut Nyak Dien, terjun ke medan gerilya utuk memimpin pasukannya mengusir penjajah.
Setelah penjajah, perempuan juga dihadapkan pada pakem feudal yang menguatkan paham patriarkhis. Saat itu perempuan dijajah secara kultural dan ditempatkan sebagai warga kelas dua. Sayangnya, selain RA Kartini, tidak banyak tokoh perempuan yang berani melawan penjajahan tersebut. Karena itulah tugas mulia untuk menyetarakan kedudukan perempuan dalam kehidupan bernegara harus dilanjutkan perempuan saat ini.
Gerakan Menulis
Mengingat probem yang dihadapi perempuan pada masa perang kemerdekaan dan saat ini berbeda, diperlukan format baru gerakan perempuan. Perubahan diperlukan untuk menjaga stabilitas gerakan perempuan dari pasang surut yang merugikan, termasuk dengan menulis.
Sebelum surat-suratnya terkumpul dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang tidak banyak orang yang tahu arah perjuangan RA. Kartini. Ia hanya bergerilya menuangkan ide, menyusuri lembah-lembah pemikiran tentang kesetaraan bagi kaumnya. Tulisan yang kemudian ia kirim kepada kawan dan kakaknya membuat haluan perjuangannya jelas.
Di tengah kekuatan patriarkhi saat itu, memperjuangankan hak perempuan menjadi tugas yang amat berat. Terlebih saat itu wanita berada dalam kungkungan mitos yang dilegitimasi oleh pakem kehidupan priyayi yang feodalistik. Maka jalan lain yang paling efektif adalah dengan menulis.
Dengan menulis perempuan tidak sekedar mengungkapkan perasaannya, sebab keterampilan menulis lebih menyerupai metabolisme intelektual, daya nalar dilibatkan secara mendalam. Berbeda dengan bertutur, komunikasi dengan tulisan memerlukan penelaahan, sedangkan pesan lisan seringkali ditelan mentah-mentah.
Sejarah menunjukkan tulisan menjadi alternatif alat yang efektif dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan. Tak hanya RA Kartini, di zaman yang lebih mondial, tulisan para perempuan terdengar lebih lantang. Maka Djenar Maesa Ayu yang digugat karena mengawinkan kemolekan sastra dengan kecabulan pun berhasil menyuarakannya. Pakem lama yang membuat perbincangan tentang perempuan dan kehidupan privatnya pamali diperbincangkan didobrak penulis ini. Melalui tulisan di media massa, juga cerpen dan novelnya yang laris, Dejnar bersuara tentang kaumnya.
Setali tiga uang, Ayu Utami yang menyabet Khatulistiwa Award atas novelnya Bilangan Fu, bicara tentang kaumnya seperti ia berbicara tentang dirinya. Namun penulis ini lebih mengenal eufimisme untuk megakomodasi kelantangan dengan kesantunan.
Maka, baik Djenar maupun Ayu, tanpa bermaksud membandingkan keduanya dengan RA Kartini, berhasil berbicara tentang kaumnya. Melalui tulisan, pada saatnya perempuan yang harus bicara tentang perempuan.
Lebih Luwes
Memperjuangkan keseteraan memang tidak harus dilakukan dengan mendobrak pakem lama dengan frontal. Akan lebih baik jika pembelaan dengan cara yang santun dan lebih luwes. Maka menulis, sebagai ragam bahasa yang etis-estetis dan bahkan kadang ambigu, menjadi alat yang tepat. Melalui tulisan pemikiran-pemikiran feminsme disalurkan untuk menggeser paham-paham patriarkhi yang lama membelenggu.
Hal itu dilakukan Maria Walanda Maramis tahun 1924 silam. Ia lahir dari kelangan awam tak seperti Kartini. Ketika merasa ada kejanggalan yang membatasi haknya sebagai perempuan ia tak hanya berkampanye memperjuangkan hak pendidikan bagi wanita pelosok, tapi menyempatkan beberapa jam waktunya untuk menulis artikel.
Setelah artikelnya dimuat harian Tjahya Sijang Maria mulai memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Ia kemudian melobi para Zending (pejabat Belanda di Minahasa) untuk mendukung pergerakannya.
Pasca Maria alternatif perjuangan perempuan harus tetap berpaling pada tulisan. Tuntutan lama, yang entah sampai kapan terwujud adalah; keseteraan, harus ditulis dan dirumuskan bukan sekedar dikobarkan. Tulisanlah yang membuat perjuangan kesetaraan berjalan lebih elegan.
La Rose, pengasuh Kolom Lingkaran Hidup pada harian Pelita, mengatakan untuk menjadi pemimpin yang mumpuni haluan pergerakan perempuan berbeda dengan laki-laki. Jika laki-laki membela kaumnya melalui pertempuran, perempuan justru sering hadir di tengah kelembutan. Menurutnya, karakter perempuan yang berjuang dengan kelembutan akan lebih efektif dibanding perjungan frontal yang rentan friksi.
Seringkali pergerakan membela keseteraan lebih efektif dilakukan oleh wanita dengan karakter khasnya yang lembut dan luwes. Sedangkan laki-laki, yang keras dan kerap melakukan pergerakan frontal, justru kerap kandas.
Sastrawan kawakan Pramudya Ananta Toer pernah berpesan, ‘Menulislah. Selama kau tidak menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah’. Pesan itu dapat diartikan sebagai seruan untuk menulis, sebab bagi perempuan, menulis adalah bagian dari keniscayaan perjuangan mewujudkan kesetaraan.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara
Dipublikasikan dalam Halaman Perempuan Suara Merdeka, 12 Agustus 2009
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment