DALAM peta gerakan teroris di Indonesia, Kabupaten Temanggung sebelumnya sama sekali tidak dikenal. Namun Kedu, salah satu kecamatan yang terletak di barat kota kabupaten itu mendadak sangat terkenal karena penyergapan yang dilakukan Densus 88 di rumah yang diduga dihuni Noordin M Top Jumat (7/8) lalu.
Sebelum penyergapan Noordin M Top marak diberitakan media, Temanggung hanya dikenal sebagai salah satu daerah penghasil tembakau di Indonesia. Daerah ini memiliki suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tembakau. Sebagian besar penduduk, khususnya di wilayah Kecamatan Parakan dan Kledung, berprofesi sebagai petani tembakau.
Sedangkan Kedu, meski namanya digunakan sebagai nama karesidenan, lebih dikenal masyarakat sebagai salah satu daerah sentra ternak ayam cemani. Di sepanjang jalan menuju daerah ini dapat ditemukan peternak ayam cemani yang memasang iklan untuk menawarkan cemani miliknya.
Bahkan karena persebaran ternak cemani di Kedu terhitung besar, jenis ayam cemani sering disebut sebagai ayam Kedu. Ayam cemani dikenal luas karena memiliki ciri fisik yang khas berwarna hitam. Karena itulah harga jual cemani puluhan kali lebih besar dari ayam lokal lain.
Sebagai daerah agraris, Kedu tidak pernah disangkutpautkan dengan gerakan teroris di Indonesia. Dalam sejarah, Kedu juga tidak dikenal memiliki potensi konflik. Masyarakat di sana hidup damai dalam aktivitas bertani.
Penyergapan teroris yang dilakukan Densus 88 di Kedu seperti memutarbalikan fakta bahwa daerah aman sekalipun bisa menjadi sarang teroris. Mereka bisa masuk dan menyusup ke daerah mana pun. Bahkan mereka bisa bercampur dengan anggota masyarakat.
Kemunculan teroris di Kedu tentu memaksa masyarakat setempat bertanya-tanya mengapa daerahnya dipilih sebagai persembunyian teroris. Padahal secara geografis daerah ini tidak memiliki kekhasan yang dapat mendukung. Wilayah Kedu juga tidak berdekatan dengan objek vital yang selama ini menjadi sasaran terorisme.
Dari perspektif kebudayaan Kedu juga bukan tempat nyaman bagi gerakan terorisme. Daerah ini tidak dikenal memiliki kedekatan kultural dengan para penganut Islam radikal. Pondok pesantren yang banyak berdiri di Temanggung tidak dikenal memiliki keterkaitan dengan gerakan Islam radikal. Bahkan pesantren di sana masih banyak yang cenderung bercorak tradisional.
Sebagai salah satu daerah kantong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, warga Temanggung didominasi kalangan nasionalis. Gerakan yang lahir dan muncul di sana masih bersifat praktis dan kedaerahan. Karena itulah iklim politik di sana tidak mendukung berkembangnya radikalisme agama.
Kenyataan tersebut membuktikan bahwa Kedu hanyalah daerah pelarian yang sebetulnya tidak terkait dengan kerja dan ideologi teroris. Daerah Kedu hanya semata-mata jalur gerilya para teroris untuk melarikan diri dari kejaran aparat kepolisian. Karena itulah, terlalu sumir mengatakan Kedu sebagai sarang teroris.
Namun demikian, pemerintah dan masyarakat setempat harus memberi perhatian besar mengapa daerahnya dipilih sebagai salah satu jalur pelarian teroris. Para teroris tentu telah memperhitungkan berbagai keuntungan dan kerugian sebelum akhirnya memilih Kedu. Apalagi sejak ledakan bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton 17 Juli lalu, para teroris tengah melakukan aksi hit and run.
Masyarakat Terbuka
Sebagaimana kultur masyarakat agraris di Jawa, masyarakat Kedu dikenal sangat terbuka. Mereka hidup dalam komunitas yang menghargai hal baru dan orang asing sebagai keniscayaan hidup bermasyarakat. Karena itulah ketika ada orang asing datang dan tinggal di lingkungan mereka, penduduk memilih menerimanya.
Sikap terbuka yang ditunjukkan masyarakat Kedu juga terkait dengan sikap among tamu. Mereka menganggap orang asing yang datang dengan baik harus dihargai dan disambut baik pula. Mereka merasa tidak perlu mengetahui latar belakang tamu meski kemudian diketahui seorang teroris. Menanyakan asal-usul seorang pendatang, kecuali dalam kerja birokrasi, adalah tindakan yang dianggap saru.
Sikap masyarakat yang terbuka sering dimanfaatkan para buron, termasuk teroris, untuk memuluskan gerakannya. Sikap demikian sering diperparah dengan sikap acuh dan tidak peduli terhadap kondisi lingkungan. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan para pendatang karena menganggap mereka tidak punya pengaruh bagi diri dan komunitasnya.
Sikap permisif sebenarnya adalah gambaran kondisi masyarakat Indonesia secara umum, bukan hanya di Kedu. Tidak hanya di lingkungan masyarakat urban, masyarakat desa pun agaknya tidak terlalu peduli lagi dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Mereka memilih diam dan membiarkan sesuatu terjadi selama hal itu tidak merugikan dirinya.
Keamanan Mandiri
Dari sekian banyak faktor yang melonggarkan gerak teoris tentu saja sistem administrasi kependudukan yang kacau. Kekacauan sistem administrasi kependudukan membuat identitas seseorang menjadi mudah disamarkan karena bisa memiliki kartu tanda penduduk ganda.
Untuk menghadapi kondisi tersebut memang diperlukan kearifan dari masyarakat setempat. Warga dituntut memiliki kewaspadaan diri dan lingkungan supaya orang asing yang berbahaya tidak bisa masuk. Karena itulah sistem keamanan mandiri yang digagas dan dikelola masyarakat setempat perlu dihidupkan kembali.
Dulu, sebagai upaya mencegah masuknya orang asing dalam sebuah wilayah ditetapkan aturan wajib lapor. Setiap tamu yang menginap wajib melaporkan diri dan aktivitasnya kepada petugas di tingkat RT/RW. Namun akibat sikap permisif yang berlebihan aturan tersebut agaknya mulai ditinggalkan.
Sikap kooperatif warga jelas sangat diperlukan untuk mempersempit ruang gerak teroris atau buron lain. Keamanan lingkungan tempat tinggal harus menjadi tanggung jawab masyarakat dan tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya kepada petugas keamanan.
Surahmat, pegiat Komunitas Nawaksara
Dipublikasikan Suara Merdeka, 11 Agustus 2009
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/08/11/76349/Temanggung.Terbingkai.Terorisme
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment