Ritual ruwat bagi anak berambut gimbal telah dilaksanakan sejak puluhan tahun lalu. Masyarakat di sekitar dataran tinggi Dieng, Wonosobo dan Banjarnegara Jawa Tengah, percaya bahwa rambut gimbal pada seorang anak harus dipotong. Dalam mitos yang berkembang di sana, anak yang berambut gimbal akan membawa kesulitan bahkan malapetaka jika tidak diruwat. Namun sebaliknya, jika diruwat anak justru bisa mendatangkan rizki yang tiada habisnya.
Ritual rambut gimbal seperti yang dilakukan penduduk Dieng juga tidak bisa ditelaah secara ilmiah. Ada berbagai mitos yang tidak masuk akal dalam upacara tersebut. Salah satunya, penduduk menganggap anak berambut gimbal merupakan keturunan Ki Kolodete, tokoh spiritual yang selama puluhan tahun hidup dalam keyakinan penduduk. Ki Kolodete sendiri dianggap sebagai turunan Kurawa yang hidup pada zaman dewa. Dalam sebuah kisah ia bersumpah tidak akan memotong rambutnya sebelum desa yang dibangunnya makmur.
Ki Kolodete berpesan agar setiap anak yang memiliki rambut gimbal diperlakukan istimewa. Bahkan orang tua harus menyediakan apapun yang diminta anak ketika diruwat. Jika orang tua ingkar anak akan sakit-sakitan bahkan berujung pada kematian.
Sampai saat ini keberadaan rambut gimbal masih sebuah misteri di Dataran Tinggi Dieng. Sejauh ini belum ada penelitian medis mengenai fenomena tersebut. Tapi dibalik itu semua, ruwatan cukur rambut gembel yang telah membudaya mampu menjadi daya tarik pariwisata Jawa Tengah, khususnya Dieng. Pemerintah sendiri jeli memanfaatkan ritual ini sebagai komoditas wisata yang memiliki daya tarik besar.
Sejauh dapat diterima, prosesi ruwatan cukur rambut bajang penuh nuansa magis. Sebagaimana ritual lain, dalam upacara tersebut juga diadakan sesajen dan pembacaan mantra. Meski demikian, beberapa sisi pada ruwatan ini dapat dipahami sebagai pesan yang logis.
Logika Ruwatan
Dalam tradisi Jawa, ruwatan adalah prosesi spiritual untuk membuang kesialan hidup orang-orang yang sedang dalam sukerta, yakni orang-orang yang akan dimangsa oleh Batara Kala. Keberadaan Batara Kala sendiri tak pernah bisa dibuktikan karena hanya mitos. Acep Iwan Saidi (Kompas, 14/12), mengatakan bahwa yang utama dalam mitos bukan apa yang diujarkan, tapi bagaimana sesuatu diujarkan. Penelaahan terhadap mitos tidak pernah merambah substansinya, tetapi sering berhenti pada siapa yang mengucapkannya.
Sebuah ritual yang hidup dan berkembang karena mitos awalnya terjadi sebagai bentuk komunikasi antara manusia dengan makhluk lain, baik dewa, jin, atau makhluk halus lain. Dulu, komunikasi semacam ini diperlukan supaya dua asek kehidupan manusia, yakni material dan spiritual, terpenuhi. Karena dilakukan secara terus menerus, ritual berkembang tidak hanya sebagai bentuk komunikasi personal, tapi lebih komunal. Masyarakat menganggap ada hubingan timbal balik antara manusia dengan makhluk lain yang hidup pada tempat yang sama.
Dalam kehidupan komunitas Jawa, mitos memang cenderung lestari hingga saat ini. Meski generasi muda dengan perspektif yang lebih modern kerap meragukannya, mitos tetap hidup dan berkembang. Mitos akan semakin terjaga jika diinstalasikan dengan ajaran etika dan moral. Sebagian besar masyarakat menganggap orang yang menentang atau bahkan melakukan perlawanan terhadap mitos sebagai pembangkang, saru, pamali, bahkan kualat.
Sebuah mitos yang berkembang menjadi ritual memiliki kekuatan untuk bertahan jika terjadi proses sosialisasi antargenerasi. Demikian pula yang terjadi pada ritual cukur rambut bajang di Dieng. Kuatnya keyakinan komunitas disebabkan oleh generasi sebelumnya dengan sadar berusaha mewariskan keyakinannya pada keturunannya. Proses pewarisan ini membuat anak muda di dataran tinggi Dieng mengenal, mengakui, bahkan merasa memiliki tradisi tersebut.
Awalnya, ritual cukur rambut bajang memang digunakan sebagai bentuk komunikasi batin penduduk setempat dengan leluhurnya. Penduduk juga menggunakannya sebagai bukti kepatuhan mereka pada wasiat Ki Kolodete sebagai tetua sekaligus tokoh ‘babat alas’ Wonosobo. Dari pesan tersebut, ritual cukur rambut bajang terkesan mistis, magis, dan diluar nalar. Namun jika hendak diaktualisasikan dengan kondisi masyarakat, ritual ini dapat ditelaah secara logis.
Pertama, ritual ini berusaha mengembalikan kepercayaan diri anak. Sebagai anak yang memiliki keunikan penampilan, anak berambut gimbal kerap tidak percaya diri. Ia merasakan perbedaan penampilannya sebagai sebuah keanehan sehingga takut diasingkan lingkungannya. Bahkan terdapat kecenderungan anak berambut gimbal sukar berpenampilan rapi.
Kedua, ketika ritual digelar, anak diperlakukan istimewa bagaikan raja. Perlakuan seperti ini membuat mereka merasa keunikan penampilannya justru sebagai sebuah keistimewaan sehingga kepercayaan dirinya pulih. Apalagi dalam ritual tersebut anak berambut gimbal biasanya diarak, disaksikan oleh masyarakat dan teman-teman sepermainan.
Dalam ruwatan rambut gimbal, orang tua harus memenuhi permintaan anak. Lepas dari keykinan bahwa permintaan yang tidak terpenuhi akan menimbulkan musibah, ini merupakan bentuk kasih sayang orang tua yang dibuktikan dengan kesediaan orang tua memenuhi permintaan anak. Persitiwa ini menjadi tetenger bahwa kasih sayang orang tua amat besar sehingga seorang anak harus berbakti di kemudian hari.
Ketiga, ruwatan ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa seseorang harus mau berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Sebagai sebuah ritual massal, ritual rambut gimbal seperti telah menjadi milik masyarakat. Entah siapa dan bagaimana pelaksanannya, ruwatan dapat dinikmati masyarakat dari berbagai golongan. Karena itulah rasa memiliki masyarakat terhadap budaya ini terus terjaga.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Dipublikasikan Local Wisdom Media Indonesia, Sabtu 18 Juli 2009
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment