Wednesday, 13 January 2010

Mengagumi Maskulinitas Perempuan Dieng

Diskursus tentang kesetaraan peran perempuan dalam kehidupan sosial telah mengemuka sejak lama. Para aktivis umumnya menyoroti pembagian hak dan wewenang perempuan, baik dalam rumah tangga, kehidupan sosial bemasyarakat, juga bernegara. Namun, jauh hari sebelum diskursus itu muncul sekelompok kecil perempuan telah mempraktikannya dengan sangat total, perempuan Dieng salah satu kelompok tersebut.

Dieng adalah kawasan dataran tinggi di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Mayoritas penduduk di kawasan setinggi 2000 meter dpl itu berprofesi sebagai petani, sebagian lainnya terlibat dalam industri pariwisata. Dieng juga dikenal sebagai salah satu daerah penghasil sayuran terbaik di Indonesia, karena produk pertaniannya pernah menembus pasar ekspor.

Moncernya produk pertanian Dieng tak lepas dari peran para ibu dan remaja putri di sana. Kerja keras mereka saat menggarap lahan, memelihara tanaman, hingga memanen, punya peran besar. Bahkan sebagian perempuan di sana seringkali melakukan pekerjaan yang umumnya hanya dikerjakan laki-laki, seperti mencangkul, mengangkut pupuk, hingga memanggul hasil panen.

Sebagai bagian dari anggota keluarga, perempuan di Dieng ternyata tidak menempatkan dirinya pada peran yang eksklusif. Prinsip egaliter, bahwa setiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban, sama-sama punya tanggung jawab pada keluarga, membuat mereka tak segan mengerjakan tuga di luar perannya sebagai seorang ibu dan istri. Prinsipnya sangat sederhana, mereka hanya ingin membantu ekonomi keluarga.

Tekad untuk membantu perekonomian keluarga itulah yang kemudian memunculkan maskulinitas mereka. Di balik raga dan sikap yang lemah lmbut, ternyata tersimpan kekuatan besar. Selain tekad, mereka juga memiliki keterampilan yang mumpuni dalam bidang pertanian. Tak sekadar menanam, tangan-tangan mereka lihai menyiangi gulma, merawat dan memanen tanaman.

Paradigma lama tentang maskulinitas umumnya hanya menyoroti sikap dan tampilan fisik seseorang. Seorang pria dikatakan maskulin jika dia memiliki fisik perkasa dan sikap yang gentlemen. Namun konsep maskulinitas pada perempuan Dieng tak semata fisik dan dan sikap, melainkan juga sifat, pola pikir, dan kepribadian. Selain fisik yang tangguh, mereka juga memiliki sifat yang bertanggung jawab dan pikiran panjang. Dengan sengat bersahaja mereka mempraktikan prinisp maskulin dalam peran, prinsip, dan relasi sosial.

Dalam tatanan masyarakat Dieng terdapat dua bentuk dominan maskulinitas, yakni maskulinitas secara budaya atau ‘maskulinitas hegemonik’ dan maskulinitas yang ‘tersubordinasi’. Yang dimaksud dengan hegemonic di sini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Sedangkan maskulinitas tersubordinasi dapat diamati secara lebih personal melalui tindak-tanduk seseorang.

Meski wanita Dieng menunjukkan kesan maskulin, mereka tak kehilangan identitas feminisnya. Namun kesan feminis pada perempuan Dieng justru jauh dari konsep feminis yang dicitrakan media. Jika media gencar membangun citra feminism sebagai wanita dengan sifat lemah gemulai, mengenakan berbagai asesoris dan berbagai produk kosmetik, tapi wanita Dieng justru memiliki sikap tegas. Bahkan karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di lading mereka cenderung berbicara lantang.

Peran Ganda
Meski feminisme dan maskulinitas adalah konsep nilai yang kontradiktif pada dasarnya keduanya dapat saling dipertukarkan. Artinya, feminitas tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan dan maskulinitas tidak serta-merta hanya dimiliki oleh laki-laki (Fakih, 2001). Namun di tengah budaya patrilineal masyarakat kita, masyarakat umumnya mendekatkan citra ideal seorang laki-laki pada maskulinitas dan perempuan pada feminsme.

Konsep ini nampaknya tak ditemukan pada tata soial kehidupan masyarakat Dieng. Seorang perempuan Dieng tak hanya memiliki sifat-sifat kewanitaan, tetapi juga maskulinitas. Buktinya, mereka mampu melakoni dua peran sosial sekaligus, sebagai ibu dan istri yang lemah lembut, juga sebagai pekerja yang bekerja keras di ladang.

Simone de Beauvoir seorang pemikir feminis yang kondang dengan buku The Second Sex, menyatakan peran ganda yang dilakukan perempuan sering menempatkan mereka pada dunia yang bukan miliknya. Akibatnya, mereka kerap kehilangan otonomi atas dirinya. Namun, Beauvoir juga mengaku perempuan bisa melakoni peran yang lebih banyak dari peran sosialnya. Mengingat perempuan sebenarnya tidak terlahir sebagai perempuan, melainkan dilahirkan menjadi perempuan, lingkungan sosial sangat menentukan kesuksesan perempuan saat menmainkan peran ganda.

Sebagai sebuah daerah wisata yang dikenal sebagai negeri pewayangan, Dieng memiliki kepercayaan yang unik. Dalam terminologi yang berkembang di sana, konstruksi sosial masyarakat dibuat secara hierarkial. Tak hanya dalam bentuk stratifikasi semacam kasta, tetapi juga struktur bertingkat dalam gender. Namun dalam kepercayaan tersebut perempuan memiliki kedudukan yang istimewa. Mereka tak hanya mengenal sosok Dewi Banowati sebagai penggambaran wanita gemulai, tetapi juga Srikandi yang garang dan pemberani.

Dalam konsep Beauvoir, inilah yang membantu perempuan Dieng mampu melakoni dua peran sekaligus dengan sukses. Mereka sukses berperan sebagai ibu, dan berkat bantuan lingkungannya mereka juga sukses sebagai penopang ekonomi keluarga. Karena itulah banyak orang menyebut mereka sebagai pribadi yang perkasa.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara
Dipublikasikan Suara Merdeka, 24 Juni 2009

No comments:

Post a Comment