Rencana pemerintah kabupaten Banjarnegara untuk melimpahkan pengelolaan Taman Rekreasi Marga Satwa (TRMS) Serulingmas kepada pihak swasta menjadi berita yang mengejutkan masyarakat. Hal itu menunjukkan kepasrahan Pemda karena tidak mampu mengelola objek wisata itu menjadi sumber pendapatAN daerah. Padahal, kebun binatang yang didirikan oleh Yayasan Serulingmas pada tahun 1997 ini menjadi penyumbang PAD terbesar dari sektor pariwisata.
Tahun lalu sektor pariwisata mampu menyumbang PAD hingga Rp. 1,8 milyar atau 3,67 persen dari total PAD Kabupaten Banjarnegara. Dari jumlah tersebut sumbangan terbesar berasal dari TRMS Serulingmas, sebesar 1,19 milyar. Sedangkan sisanya berasal dari kawasan wisata pegunungan tinggi Dieng 565 juta, Waduk Mrica 67, 5 juta, dan Curug Pitu sebesar 4,6 juta (Suara Merdeka, 21 April).
Namun karena kondisi objek wisata yang stagnan jumlah tersebut ditaksir akan mengalami penurunan.
Serulingmas memang menimbulkan dilema bagi pemerintah daerah Banjarnegara. Di satu sisi Serulingmas menjadi potensi yang wajib diopeni, apapun keadaannya. Di sisi lain Pemda tidak mau terbebani pengelolaan objek wisata tersebut karena tidak produktif lagi. Perannya sebagai penyokong keuangan daerah merosot karena kunjungan wisata menurun. Sementara itu biaya operasional, baik untuk menggaji pegawai, pemeliharaan tempat, dan pakan binatang semakin bertambah.
Serulingmas tidak bisa semata-mata dipandang sebagai aset ekonomi. Karena telah dimiliki sejak belasan tahun Serulingmas juga menjadi aset budaya, kekayaan bersama seluruh masyarakat Banjarnegara. Bahkan karena dalam lokasi tersebut terdapat makam tokoh spiritual Ki Ageng Selomanik, Serulingmas memiliki ikatan batin yang kental dengan warga Banjarnegara. Karena itulah perubahan status kepemilikan dari Pemda kepada pihak swasta terasa mengganjal. Bahkan akan terasa janggal mengingat Serulingmas adalah wasiat Yayasan Serulingmas, bukan hanya kepada pemerintah daerah, melainkan juga seluruh masyarakat.
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan terkait pengalihan status Serulingmas. Pertama, pihak ketiga yang berhak mengelola Serulingmas tidak berhak mengubah peruntukan lokasi. Tempat tersebut harus tetap difungsikan sebagai TRMS yang dapat dinikmati masyarakat luas. Kedua, pengelola baru mestinya tidak menaikkan tarif kunjungan secara segnifikan. Kenaikan tarif kunjungan dikhawatirkan membuat Serulingmas menjadi eksklusif.
Kalaupun pengelolaan Serulingmas dilimpahkan pada swasta, pemerintah mestinya tidak lepas begitu saja. Pemerintah harus merepresentasikan pandangan masyarakat. Bahkan keputusan untuk menjual Serulingmas tidak etis jika diputuskan sepihak oleh pemerintah daerah. Selain melibatkan kalangan legislatif, suara masyarakat yang memiliki kepentingan langsung juga perlu di dengar. Jangan sampai kalangan seniman, budayawan, atau tiang sepuh merasa kecele karena tidak diajak bicara.
Diversifikasi wisata
Penurunan produktivitas yang dijadikaan alasan Pemda mengalihkan pengelolaan pada swasta sebenarnya perlu dikaji ulang. Ada beberapa langkah yang masih mungkin ditempuh agar swastanisasi tidak menjadi solusi. Mengingat Serulingmas memiliki potensi lain di samping wisata, perlu dirancang diversifikasi wisata.
Awalnya diversifikasi dipahami sebagai upaya meningkatkan hasil produksi pertanian dengan menerapkan sistem tumpangsari. Jika diinstalasikan dengan kebijakan pariwisata diversifikasi berarti menambah produk dan daya tarik wisata sebagai upaya meningkatkan kunjungan wisatawan. Caranya, objek wisata yang telah ada dilengkapi dengan berbagai sarana penunjang. Sarana tersebut dikombinasikan sesuai daya tarik wisata yang telah ada. Objek wisata alam, misalnya, dikombinasikan dengan wisata spiritual, pendidikan, kesenian dan atau hiburan.
Usaha diversifikasi masih sangat terbuka diterapkan pada TRMS Serulingmas. Selama ini ojek wisata tersebut melulu dijadikan kebun binatang. Dengan membuat varian produk wisata TRMS Serulingmas sangat mungkin dikembangkan menjadi objek wisata hiburan, petualangan, dan pendidikan.
Untuk melengkapi sarana hiburan pengelola dapat membuat penggung hiburan, pentas seni, pameran, atau pagelaran. Even-even seni dan hiburan, baik tradisional maupun kontemporer, harus kembali digalakkan secara berkala. Cara ini terbukti efektif saat pemerintah daerah menggelar festival band pelajar beberapa saat lalu. Festival yang melibatkan pelajar di Banjarnegara, Kebumen, Purbalingga, dan Wonosobo itu mampu menjadi magnet kaum muda berkunjung ke Serulingmas. Lain waktu, untuk menyasar pengunjung usia menengah dan tua, pengelola disarankan menggelar event lain, misalnya wayang kulit, pameran, atau festival seni tradisional.
Selain hiburan ada potensi wisata petualangan terpendanm di Serulingmas. Letaknya yang berdampingan dengan bendungan Banjarcahyana memungkinkan pengembangan kawasan wisata air seperti rung jeram. Sedangkan perbuktian di sekitarnya bisa dimanfaatkan untuk rafting, flyng fox, atau wall climbing.
Sedangkan untuk mendukung produk wisata pendidikan, setidaknya ada dua cara yang patut ditempuh. Pertama, menjadikan koleksi satwa yang telah tersedia sebagai laboratorium terbuka. Selain diajak melihat, akan lebih baik jika pengunjung disuguhi informasi pendidikan, baik dengan media visual (buku) maupun tayangan audio visual. Cara kedua, pengelola melengkapi koleksi dengan berbagai jenis flora. Mengingat letaknya yang tak jauh dari kota, TRMS Serulingmas sangat potensial dijadikan kebun biologi.
Jika diversifikasi dilakukan secara berkala dan terprogram, kebosanan masyarakat yang menyebabkan turunnya angka kunjungan wisata bisa dihindari. Namun demikian diversifikasi hanya sebagai salah satu cara. Di samping itu Pemda punya tugas mempromsikan obejk wisata itu lebih luas. Upaya itu diharapkan mampu mengakhiri bayangan kebangkrutan Serulingmas agar aset itu tidak benar-benar diswastakan.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara
Dipublikasikan Suara Merdeka, 18 Juni 2009
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment