Sunday 24 January 2010

Wartawan adalah Pilihan Hidup

Sebangun tidur siang saya langsung menyambar komputer di kantor. Awalnya saya ingin melanjutkan tulisan tentang tayangan kriminalitas di televisi yang kian menjadi. Tapi siang itu saya kurang bergairah menulis. Saya sempat menulis artikel tentang sikap presiden SBY yang polahnya seperti anak manja; sedikit-sedikit ngadu, tapi juga urung. Untuk artikel kedua saya hanya berhasil menuliskan judul.

Langit mulai mendung, terlihat dari pintu kantor yang saya biarkan terbuka. Rekan saya Ari, Ike dan Jamburi pergi mencari duren ketika saya masih setengah sadar antara tidur dan terjaga. Gedung PKM yang kami gunakan sebagai kantor BP2M masih sepi. Mahasiswa banyak yang memilih pulang kampung karena liburan panjang pasca-ujian semester.

Saya membuka folder artikel manarik yang tersimpan di dagon (istilah dalam bahasa Indonesia yang saya gagas untuk menggantikan nama flashdisk). Nama dagon adalah akronim yang saya buat dari kata data gondol. Seringkali saya mengatakan kepada teman-teman bahwa kata tersebut sekarang sudah resmi digunakan dalam bahasa Indonesia supaya lebih cepat popular. Dengan begitu, saya berjasa menciptakan satu kata baru dalam bahasa Indonesia.

Dalam folder itulah saya temukan serakan tulisan menarik yang ditulis Pantau. Saya sendiri kurang mengerti Pantau lembaga semacam apa tapi selalu menikmati tulisannya. Andreas Harsono, salah seorang pendirinya pernah saya temui saat menjadi pembicara dalam Pekan Jurnalistik Nasional yang diselenggarakan BP2M Unnes 2007 silam. Di folder itu saya mendapati banyak tulisan tentang pers dan lika-liku kehidupan wartawan. Menarik sekali.

Kasyikan memabaca tulisan feature Pantau membuat saya sedikit abai dengan keadaan sekitar. Bahkan rekan saya yang lain, Amri, kurang saya perhatikan saat datang dan menanyakan koran terbitan lokal. Saya menggeleng sambil berujar ringan, ‘tidak tahu.”

Tulisan Pantau sekali menyadarkan saya bahwa menjadi wartawan bukanlah pekerjaan. Bukan. Wartawan adalah pilihan hidup. Dalam perbincangan dengan tean-teman saya sangat membedakan keduanya.

Pekerjaan, sebagaimana dilakoni buruh, hanya aktivitas ekonomis yang dilakukan supaya mendapatkan uang. Buruh misalnya, bekerja mulai pukul tujuh pagi hingga menjelang Ashar untuk mendapatkan gaji. Nelayan melaut meski ketika badai menggila supaya mendapat ikan lantas bisa menjualnya ke pelelangan ikan. Begitulah pekerjaan. Selalu berorientasi ekonomi. Ujung-ujungnya uang (UUU).

Apakah wartawan tidak berorientasi ekonomi? Huh, agak sulit menjelaskannya.

Banyak senior saya yang bekerja menjadi wartawan supaya bisa bertahan hidup. Menghidupi anak istri. Ada pula, dari kabar yang saya dengar, orang yang berpura-pura menjadi wartawan karena ingin mendapat sangu dari narasumbernya. Bahkan ada wartawan yang memeras pejabat setelah berhasil mengantongi kartu truf pejabat itu.

Bagi saya tidak. Wartawan adalah jalan hidup yang saya tempuh. Kalau selama bekerja saya harus digaji media tempat saya bekerja tentu itu konsekuensi logis. Itu bagian dari tak and give. Tapi saya selalu menganggap uang bukan satu-satunya tujuan ketika berkarir menjadi jurnalis. Kalau yang saya kejar adalah uang saya akan memilih menjadi pengusaha sapi atau petani jabon di kampung. Mungkin lebih menjanjikan keuntungan.

Saya menyimak kisah Andreas Harsono ketika mendapat beasiswa di Nieman Felowsship di Harvard University, Cambridge. Dalam tulisan yang memikat itu dia bilang, selain menciptakan banyak jurnalis handal, beasiswa bagi jurnalis juga menciptakan banyak perceraian. Begitu katanya.

Saya pikir itu sangat logis. Bahkan tidak hanya bagi penerima beasiswa wartawan, tapi seluruh penerima beasiswa ke luar negeri. Bayangkan, sepasang suami istri harus terpisah jarak ribuan mil untuk jangka waktu yang cukup lama. Sang suami kuliah di kelas, menemui professor, melakukan riset, menggelar seminar, atau diskusi hingga pagi sementara sang istri menunggu di rumah. Tentulah kerinduan yang tercipta akan merenggangkan hubungan.

Jangankan terpisah ribuan mil, berpisah dengan orang yang kita sayangi puluhan kilometer saja kadang membuat perasaan awut-awutan. Saya misalnya, yang sudah seminggu menjalin hubungan jarak jauh karena pacar bekerja di Solo sering ser-seran kena virus kangen. Saya sering menyendiri di dekat jendela ketika sedang merasa kangen. Saya memandangi awan, pepohonan atau sekadar menikmati hembusan angin. Untung saja jarak Solo-Semarang bisa ditempuh sekitar tiga jam. Jadi, kalau sewaktu-waktu saya memang harus ketemu dia saya bisa segera tancap gas ke Solo.

Adzan Maghrib terdengar ketika saya menyelesaikan tulisan ini. Hujan mengguyur atap kantor. Suarnya tak kalah awut-awutan. Kadang keras, kadang pelan. Ike datang sendirian, sengaja tidak saya sapa. Begitupun ketika Kak Wahyu datang menggoda Ike, sengaja saya abaikan.

Hingga saat ini saya memang masih memprioritaskan pilihan karir sebagai wartawan. Meski saya mengambil studi pada pendidikan bahasa Indonesia, profesi guru saya jadikan alternatif kedua. Entah kenapa. Tapi tentu saja, prioritas itu sewaktu-waktu bisa bergeser sesuai kesempatan. Ini bagian dari strategi hidup, menurut saya.

Ya, semoga saja saya punya kesempatan berkarir sebagai jurnalis. Tapi tentu saja, saya hrus lancar berbahasa Inggris. Itu kemampuan mendasar yang sampai sekarang belum saya miliki. Titik.

Rumah Persma, 24 Januari 2010

No comments:

Post a Comment