Friday, 19 February 2010
Jika SBY Tidak Bisa, Saya yang Akan Mengubah Indonesia
Kegelisahan yang saya rasakan semakin menjadi malam ini. Optimisme yang berusaha keras saya pelihara, supaya semangat hidup dan kegairahan berkarya tetap ada, semakin surut. Kondisi negara ini begitu memprikhatinkan. Bahkan peradaban manusia Indonesia , menurut saya, telah melewati masa klimaks dan kini berada di median negatif.
Kesuksesan pembangunan nasional selama ini diukur dengan angka pertumbuhan ekonomi. Padahal angka pertumbuhan ekonomi hanyalah kalkulasi makro yang sebenarnya saya pikir tidak realistis. Itung-itungan statistik hanya data yang digunakan para pejabat yang malas terjun melihat kondisi rakyatnya dalam membuat kebijakan. Meski saya belum melakukan riset khusus tentang data pertumbuhan ekonomi yang selama ini disajikan Bapenas atau Departemen Keuangan, saya yakin data mereka meleset.
Sri Mulyani mungkin memang menteri keungan terbaik se-Asia, tapi bukan jaminan rumusan yang diabuatnya selaras dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Karena itu pula, data-data yang selama ini ia gunakan untuk merumuskan kebijakan bisa jadi kurang relevan. Saya berpikir data paling akurat yang harus dijadikan pemimpin sebagai pertimbangan mengambil kebijakan adalah kunjungan. Presiden tidak perlu menerjunkan ribuan orang untuk mengukur pencapaian pembangunan, cukup ia kunjungi desa-desa terpencil dan lihat kondisinya. Jika kondisi mereka memang belum layak; tinggal di gubuk-gubuk reot, mengenakan pakaian lusuh, tidak bisa makan nasi tiga x sehari, dan tidak mampu menyelesaikan wajib belajar 9 tahun, berarti pemerintah belum berhasil, untuk tidak menyebutnya gagal.
Target pertumbuhan ekonomi menurut saya justru berpotensi menggusur nilai-nilai kemanusiaan dari peradaban bangsa Indonesia. Kenapa bisa negara mengatakan pembangunan sukses hanya karena telah memproduksi ribuan mobil, jalan tol ribuan kilometer, atau jembatan antarpulau tapi pada saat yang sama banyak penduduk yang tinggal di gubuk-gubuk berdinding seng berkarat yang jika banjir bisa hanyut?
Karena itulah sering saya menyebut bangsa Indonesia telah kehilangan orientasi peradaban. Cita-cita nasional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang disusun para pendiri bangsa telah diartikan secara banal oleh pemerintah. Bagaimana bisa negara melindungi bangsa sementara aktivitas ekonomi yang dijadikan tolok ukur pembangunan justru menyengsarakan masyarakat?
Karut marut pembangunan nasional membuat saya tergerak mengubah bangsa Indonesia pada keadaan yang lebih manusiawi. Pembangunan Indonesia harus dikembalikan pada fitrah dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mindset pembangunan perlu diubah dari manusia untuk pembangunan menjadi pembangunan untuk manusia.
Bagaimana merancang pembangunan nasional yang memenuhi prinsip kemanusiaan? Pertama jelas, tidak menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan. Keberhasilan pembangunan nasional diukur dari tingkat kebahagiaan warga negara. Artinya, pembangunan dianggap sukses jika mampu meningkatkan kebahagiaan setiap warga negara, bukan justru membuat warga negara pusing dan terlalu sering mengerutkan kening.
Jika capaian pembangunan diukur dengan tingkat kebahagiaan, bangsa ini tidak perlu repot menggenjot pembangunan infrastruktur lagi. Kita tidak perlu dipusingkan pembebasan lahan untuk membangun jalan tol atau menggusur lapak pedagang kaki lima untuk pembangunan terminal. Yang perlu negara ini lakukan adalah menyediakan sumber kabahagiaan bagi warga negaranya. Mari kita petakan apa saja sumber kebahagiaan manusia.
Nah, persoalannnya adalah bagaimana negara bisa tahu tingkat kebahagiaan rakyatnya? Bukankah kebahagiaan hanya imaji yang lahir dari ekspresi kesukacitaan? Sedangkan kesukacitaan bukan deretan angka yang bisa dijumlahkalikan.
Lembaga Nasional Peningkatan Kebahagiaan Rakyat (LNPKR)
Persolan ini menjadi penting. Karena itulah saya merasa ilmuwan kita perlu menciptakan alat yang mampu mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat. Alat itu dibagikan kepada seluruh warga negara untuk mengirim data kebahagiaan kepada Pusat Analisis Kebahagiaan Nasional (PAKN). Caranya sangat beragam. Pertama, sensor kebahagiaan itu bekerja dengan merespon frekuensi senyuman dan tawa rakyat. Asumsinya, semakin sering orang tersenyum atau tertawa orang tersebut dalam kondisi bahagia.
Supaya sensor tersebut mampu mengukur tingkat kebahagiaan secara akurat, alat digunakan untuk menganalisis gerakan otot wajah masyarakat. Kecenderungan menggerakan otot tertentu mengindikasikan ia sedang berbahagia, sedangkan menggunakan otot lain dalam wajah mengindikasikan seseorang sedang sedih, marah, atau kesal. Nah, alat ini bertugas menganalisis seberapa sering seseorang menggunakan ‘otot bahagia’ dan seberapa sering ia menggunakan ‘otot sedih’. Data ini secara otomatis tersimpan dan terkirim setiap saat ke PAKN.
Data yang diterima PAKN inilah yang mestinya digunakan pemegang kebijakan sebagai bahan pertimbangan merumuskan kebijakan baru. Seseorang yang memiliki tingkat kebahagiaan rendah atau bahkan minus berarti memerlukan penanganan khusus dari pemerintah. Apa yang menyebabkan warga negara ini kurang bahagia? Karena sakit? Miskin? Lapar? Atau frustrasi? Atau sakit hati karena tabungan seumur hidup dirampok bank sementara negara tidak menolong?
Jika tingkat kebahagiaan warga negara rendah karena sakit, hari itu juga pemerintah perlu menurunkan dokter spesialis. Dokter-dokter ini disebar ke seluruh daerah yang penduduknya, berdasarkan data PAKN, kurang bahagia karena sakit. Jika dokter di Indonesia terbatas PAKN membuat prioritas warga negara yang paling memerlukan pertolongan.
Demikian pula pemerintah merespon masalah yang dialami warga negara lain. Jika warga negara kurang bahagia karena ia miskin berarti pemerintah harus membuat kebijakan yang menyejahterakan. Tentu saja kebijakan tersebut tidak dilakukan dengan membagikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagimana dilakukan seorang presiden untuk mendongkrak keterpilihannya, tetapi BLT (bantuan langsung tawa) program yang memberdayakan. Program ini bisa direalisasikan dalam beragam proyek, seperti proyek padat karya (padat ransum), bantuan modal usaha, atau pembebasan pajak.
Nah, bagaimana membantu warga negara yang tidak bahagia karena persoalan personal, seperti patah hati, putus asa, atau cemburu karena kekasihnya diindikasikan dekat dengan orang lain?
Patah hati bisa ditangani dengan memberi bantuan konseling dan program liburan. Negara menyediakan konselor-konselor handal agar sakit hati warga negara diobati melalui terapi atau proses lain. Warga negara yang putus asa bisa ditangani oleh penasihat spiritual dan motivator. Negara membuat sekolah kedinasan motivator yang alumninya bertugas memberikan motivasi kepada rakyat dari berbagai pendekatan. Ada jurusan motivasi keagaaman untuk memberi motivasi berperspektif keagamaan, pendekatan psikologis-medis, atau pendekatan imajinatif supaya orang yang sedang putus asa dibekali kemampuan berimajinasi untuk menghibur diri. Sedangkan cemburu, meski persoalannya sangat kompleks, bisa diuraikan melalui lembaga penerangan perasaan. Lembaga ini bertugas memverifikasi penyebab munculnya perasaan cemburu supaya diselesaikan secara humanis; baik melalui mediasi konflik hubungan suami-istri, biro jodoh, atau lainnya.
Setelah persoalan-persoalan tersebut diuraikan, kita kembalikan pada pertanyaan yang lebih mendasar. Bagaimana menumbuhkan manusia Indonesia yang berbahagia? Bagaimana menjadikan rakyat Indonesia yang jumlahnya 230 juta lebi senantiasa bahagia (lahir dan batin)?
Tiga jalur
Menurut saya sumber kebahagiaan dalam diri manusia ada tiga, yakni pikiran (hati), perasaan, dan kelamin. Jalur pertama muncul dari asumsi bahwa orang yang waras namun tidak pusing memiliki potensi bahagia lebih besar. Jalur kedua, orang yang pikirannya waras dan tenang juga harus kenyang. Kebahagiaan bisa diperoleh dengan mekan makanan lezat, pintar mengelenakan selera. Jalur ketiga, setelah tenang dan kenyang, kecerdasan birahiahnya juga harus disalurkan, satu-satunya cara melalui kelamin. Bukankah orang yang selama ini bisa menyalurkan hasrat seksualnya secara sehat dan proporsinal selama ini bahagia, setidaknya versi ON Clinic?
Dengan menjadikan kebahagiaan sebagai orientasi pembangunan nasional, subjek dan objek pembangunan adalah manusia. Negara tidak perlu mengeluarkan anggaran terlalu besar untuk menggenjot iklim investasi. Yang penting rakyat bisa hidup bahagia negara ini telah sukses meraih tujuan nasional.
Sayangnya, kebijakan semacam itu tampaknya belum akan ditempuh pemimpin negeri ini-sehingga perspektif seperti saya kemukakan tadi mewabah dari Sabang sampai Merauke. Dan akhirnya, secara aklamasi orang-orang mengangkat saya sebagai presiden RI paling populis, humanis, dan bombastis (setidaknya, sebagai ujicoba-lah), Mereka (para pemimpin sekarang itu) lebih mengandalkan pendekatan normatif prosedural dalam menjalankan pemerintahan. Karena itulah, seperti yang saya jelaskan di awal, bangsa ini kehilangan orientasi peradaban. Manusia dijadikan tumbal menyukseskan pembangunan, sementara pembangunan kemudian hanya dinikmati segelintir orang. Kondisi ini yang akan saya ubah jika menjadi pemimpin negeri ini, entah sebagai presiden, perdana menteri, sultan, raja, kanselir, khalifah, kepala suku, atau Kepala Lembaga Nasional Peningkatan Kebahagiaan Rakyat (LNPKR).
Rumah Persma, 20 Februari 2010, 12. 30 WIB
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment