Thursday, 4 March 2010

Kebudayaan Oplosan Masyarakat Pantura

Sangat miris mendengar berita tentang tewasnya 21 orang di Tegal karena menenggak minuma keras oplosan beberapa waktu lalu. Sebelumnya di Semarang juga terjadi peristiwa serupa. Delapan orang tewas seteleh menenggak minuman keras oplosan yang dijual di jalan Pemuda.

Kesamaan kedua peristiwa di atas tampaknya kebetulan semata. Bahkan kesamaan Semarang dan Tegal sebagai daerah pesisir (pantura) juga merupakan kebetulan. Namun kenyataan bahwa daerah tersebut memiliki kekerabatan budaya tidak bisa kita bantah.
Sebagai daerah terluar sebuah kawasan, Pantura memiliki beberapa keistimewan dibanding kawasan lain. Imam (1990) mengungkapkan Pantura adalah daerah ekperimen sebuah kebudayaan karena menjadi daerah pertama bagi perkembangan suatu kebudayaan sebelum menjalar ke kawasan lain. Proses pembauran itu kemudian berkembang melahirkan kebudayaan baru.

Perubahan budaya yang terjadi pada masyarakat Pantura dapat diamati pada cara hidup lahiriah mereka. Berbagai benda kebutuhan seperti pakaian, perabot rumah tangga, hingga kendaraan masyarakat di sana umumnya berbeda dari masyarakat pedalaman (daerah tengah). Perlahan, perubahan itu merambah pada ranah kehidupan lain, seperti sistem pemerintahan tingkat lokal, sistem pendidikan, hingga hukum adat (norma).

Mendikotomikan Semarang dan Tegal dalam kawasan bernama pantura agaknya memang tidak seimbang. Meski kedua daerah tersebut terletak di pantai utara pulau Jawa, kontak kebudayaan mestinya lebih intens terjadi di Semarang karena memiliki pelabuhan besar, sedangkan pelabihan di Tegal tampaknya tak terlalu ramai. Namun kenyataan bahwa Semarang dan Tegal sama-sama mudah diakses (karena adanya jalur Pantura) membuat kedua daerah ini tumbuh dengan dinamis. Akibatnya, berbagai produk kebudayaan asing (luar Jawa) hilir mudik di kawasan ini, baik Semarang, Tegal, maupun kota lain yang terhubung jalur Pantura.

Penduduk di kawasan pantura memang memiliki akses lebih terbuka terhadap dunia luar. Keunikan tersebut membawa akibat yang kompleks. Jika persinggungan menghasilkan hal baru yang konstruktif tentu masyarakat akan diuntungkan. Namun, jika kebudayaan asing terlalu deras menggeser kebudayaan lokal, masyarakat akan terhegemoni. Padahal proses perubahan budaya sangat tergantung pada karakter kebudayaan lokal dan mentalitas pendukungnya. Kebudayaan lokal yang kuat akan lestari, sedangkan kebudayaan yang akarnya lemah akan tercerabut.

Mental oplosan
Perpaduan dua kebudayaan umumnya tidak memperhatikan komposisi lokal dan asing. Rasyid (1998) mengungkapkan, dua kebudayaan yang bersinggungan tidak melakukan kompromi, melainkan mengalami pembauran alami. Proses pembauran budaya ini melahirkan kebudayaan oplosan, yakni kebudayaan baru yang lahir dari percampuran dua kebudaayaan tanpa memperhatikan porsi unsur-unsurnya.

Di pantura bukan hanya minuman keras yang dioplos, tetapi juga berbagai macam produk budaya. Kesenian di daerah utara pantai Jawa ini misalnya, bukan lagi hasil kebudayaan masyarakat setempat yang dijaga kemurniannya dari generasi ke generasi, melainkan asimilasi dengan kebudayaan asing yang diserapnya terus menerus.

Stuterheim (1958) meperhalus oplosan dengan istilah asimilasi. Ia mengamati candi di Jawa sebagai bukti terjadinya proses asimilasi kebudayaan yang terjadi secara terus menerus. Candi adalah bangunan yang berfungsi sebagai makam para raja. Umumnya sebuah candi dilengkapi dengan patung dewa dengan wajah raja yang dimakamkan. Menurut Stuterheim cara penguburan semacam ini adalah asimilasi adat Indonesia dengan adat masyarakat Hindu di India.

Asimilasi juga dapat diamati pada arsitektur masjid di pantura, bahkan kemudian berkembang di seluruh Jawa. Model atap masjid yang berundak-undak adalah tiruan bentuk pura umat Hindu yang diadapatsi dari punden berundak. Sedangkan kubah, yang dapat ditemukan hampir pada setiap masjid di Indonesia, adalah bukti pengaruh kebudayaan Timur Tengah. Di Jawa berbagai proses tersebut berawal dari pantura, baru kemudian berkembang di daerah pedalaman.

Asimilasi kebudayaan ternyata tidak hanya menyentuh aspek fisik, melainkan hampir seluruh aspek kehidupan. Bahkan mentalitas masyarakat di Pantura sejatinya adalah mentalitas oplosan antara kebudayaan leluhurnya dengan kebudayaan lain. Sayangnya, asimilasi pada aspek mentalitas kurang teramati karena prosesnya berlangsung lama. Namun dari tradisi masyarakat pantura belakangan ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa mereka sangat terbuka dan modern.

Sikap terbuka yang ditunjukkan masyarakat di Pantura ditandai dengan sikap mudah menerima sesuatu yang baru. Mereka menganggap sesuatu yang baru sebagai keniscayaan dinamika sosial yang mengharuskan hubungan antar golongan. Sayangnya sikap terbuka ini kadang berkembang menjadi sikap antitoleran dan acuh terhadap lingkungan sekitar. Sikap inilah yang pada sebagian komunitas berkembang menjadi sikap hedonis, konsumtif, dan gila pada produk baru.

Di sisi lain, komunitas pantura juga mengalami akselerasi modernisasi. Robins (1973) mengidentifikasi modernisasi dari penggunaan teknologi yang paling sederhana menjadi lebih canggih, sikap komunal menjadi individualis, dan beralihnya sektor ekonomi dari pertanian ke sektor jasa dan industri. Selain itu moderniasi pada masyarakat Pantura juga ditandai dengan hilangnya simbol-simbol keningratan dan memandang kekuatan ekonomi sebagai landasan stratifikasi sosial.

Proses asimilasi semacam itu umumnya berlangsung lama sehingga tidak disadari pelakunya. Tentu saja ini berakibat buruk karena masyarakat tidak sempat memilah-milah jenis kebudayaan ‘oplosan’ yang baik untuk diri dan komunitasnya.

Surahmat
Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara

No comments:

Post a Comment