Mendengar kabar bahwa salah seorang dosen saya segera dikukuhkan menjadi guru besar saya turut senang. Terus terang, saya memang silau dengan gelar akademik itu. Terlihat sangat keminclong. Moncer. Ningrat banget.
Gelar profesor membuat saya teringat pada seorang tokoh pada sinetron Gerhana yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta sewindu silam. Dalam sinetron yang dibintangi Piere Rolland dan Pegi “Pusing” Melati Sukma itu ada tokoh yang biasa disapa Prof. Tokoh ini menjadi tempat mahasiswa mengadukan segala kebingungan karena dia serba tahu dan memang tokoh solutif.
Belakangan, keminclong gelar profesor sedikit redup. Seorang guru besar sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung diduga melakukan plagiarisme sementara dua calon guru besar di Yogyakarta ditengarai melakukan tindakan serupa. Akhirnya terbongkarlah praktik plagiarisme yang dilakukan guru besar lain.
Sejak dulu penjiplakan memang dititahkan haram. Tapi terus terang, memang sulit dihindari. Saya pun mengakui pernah melakukannya, setidaknya ketika menulis tugas kuliah. Tapi kalau yang melakukan palgiarisme adalah seorang guru besar hukumnya jadi haram muakad. Apalagi aksi itu berpotensi menimbulkan akibat psikologis sistemik bagi mahasiswa. “Lha wong profesorku saja njiplak, kenapa saya tidak boleh?” misalnya.
Kejadian itu kemudian membuat saya kembali berpikir, gelar guru besar ternyata hanya gelar akademik. Ya, profesor itu hanya sedikit lebih tinggi dari doktor yang sedikit lebih tinggi dari magister yang sedikit lebih tinggi dari sarjana. Sementara gelar sarjana hanya sedikit lebih tinggi dari lulusan SMK konsentrasi Tata Boga.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Friday, 5 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment