Setelah secara rutin menurunkan beasiswa BBM, BKM dan PPA, tahun ini Dirjen Dikti kembali menggelontorkan beasiswa Bidik Misi pada ribuan mahasiswa. Beasiswa tersebut di salurkan melalui beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Jumlah yang besar, yakni Rp 5 juta persemester dikhawatirkan membuat Bidik Misi diperebutkan banyak orang, termasuk mahasiswa mampu yang sebenarnya tidak berhak.
Penyaluran beasiswa yang dilakukan perguruan tinggi selama ini memunculkan indikasi salah sasaran. Misalnya, mahasiswa yang secara ekonomi mampu justru dinyatakan lolos seleksi penerimaan beasiswa karena dianggap telah memenuhi syarat administrasi. Karena itulah perlu dirancang mekanisme yang selektif dan akuntabel.
Melihat peruntukkannya, beasiswa ada dua jenis yakni beasiswa bantun belajar dan beasiswa peningkatan prestasi. Beasiswa bantuan belajar diperuntukkan bagi mahasiswa yang kurang mampu supaya bisa melanjutkan pendidikan, sedangkan beasiswa peningkatan prestasi diberikan kepada mahasiswa yang dianggap memiliki prestasi, baik akademik maupun prestasi lain. Beasiswa diberikan kepada mahasiswa supaya prestasi yang mereka miliki dapat dikembangkan lebih optimal. Bentuk beasiswa peningkatan prestasi adalah beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan berbagai bentuk pertukaran mahasiswa.
Syarat Terlalu Normatif
Meski telah dikategorikan sesuai peruntukan, penyaluran beasiswa di berbagai perguruan tinggu berpotensi salah sasaran. Karena berbagai kendala banyak mahasiswa yang tidak mampu tidak mendapat beasiswa, sementara mahasiswa yang secara ekonomi sebenarnya mapan justru memperoleh dana segar dari pemerintah.
Peruntukan yang kurang tepat terjadi karena perguruan tinggi tidak memiliki mekanisme seleksi yang ketat. Proses seleksi beasiswa selama ini hanya dilakukan melalui pengecekan syarat administrasi berupa kelengkapan surat-surat keterangan. Jarang sekali ada perguruan tinggi yang melakukan cross check dengan melakukan home visit ke rumah mahasiswa.
Pada beberapa jenis beasiswa syarat utama calon penerima adalah berasal dari keluarga tidak mampu namun berprestasi. Dua persayaratan tersebut selama ini terlalu normatif sehingga perlu diterjemahkan dalam persyaratan yang lebih operasional. Syarat yang lebih spesifik diperlukan untuk mengurangi kemungkinan penyimpangan penyaluran beasiswa. Kata tidak mampu bisa digunakan siapapun karena bergentung pada orang lain yang dijadikan pembanding.
Kriteria tidak mampu yang disebutkan dalam syarat pengajun beasiswa memiliki interpretasi beragam. Kata tidak mmpu belum diterjemahkan secara operasional, misalnya dengan menetapkan jumlah aset atau penghasilan orang tua. Data yang akurat diperlukan karena surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan Kelurahan maupun Kepala Desa mudah sekali diperoleh.
Kondisi tersebut menuntut perguruan tinggi cermat mengamati mahasiswa calon penerima beasiswa. Pemantauan sebelum beasiswa diberikan mutlak diperlukan untuk menjamin beasiswa diberikan kepada mahasiswa yang berhak. Penyimpangan penyaluran beasiswa sangat mungkin menyebabkan persoalan pendidikan yang sedang diurai pemerintah tidak kunjung selesai. Angka putus kuliah tetap tinggi karena mahasiswa dari keluarga tidak mampu menjadi korban ketidakcermatan perguruan tinggi.
Jika dimaknai lebih dalam, fenomena tersebut membentangkan fakta bahwa mahasiswa belum memiliki kesadaran sosial terhadap diri dan lingkungannya. Mahasiwa yang merasa mampu dan tidak mengalami kesulitan ekonomi selama kuliah mestinya tidak perlu mengajukan beasiswa. Apalagi jika beasiswa yang dimaksudkan adalah beasiswa bagi mahasiswa tidak mampu. Keikutsertaan mereka dalam perebutan beasiswa akan memperkecil peluang mahasiswa yang benar-benar tidak mampu mendapatkan haknya.
Selama ini masih banyak mahasiswa yang menganggap beasiswa sebagai bentuk reward dari pemerintah. Kesalahan mempersepsi ini membuat mahasiswa seperti bangga jika menerima beasiswa. Mereka berbondong-bondong mengajukan permohonan meskipun sadar secara finansial tidak memerlukan bantuan. Pola pikir dan keinginan dibantu perlahan perlu dibenahi mengingat pada dasarnya bantuan mestinya hanya diberikan kepada orang-orang lemah.
Bidik Misi
Persoalan mekanisme seleksi yang kurang ketat dikhawatirkan juga akan dijumpai saat beasiswa bidik misi disalurkan kepada mahaiswa baru tahun 2010 nanti. Dalam satu perguruan tinggi jumlah beasiswa yang diterimakan berkisar antara 100 hingga 500 orang, sedangkan mahasiswa baru bisa mencapai 5000 orang.
Nominal yang besar, yakni Rp. 5 juta per semester selama delapan semester akan menarik banyak mahasiswa untuk memperebutkan beasiswa Bidik Misi. Oleh mahasiswa yang kurang bertanggungjawab, nominal tersebut bisa diterjemahkan dengan 1 unit laptop atau blackberry baru. Jika perguruan tinggi tidak cermat, Bidik Misi yang mestinya hanya diberikan kepada mahasiswa yang kurang mampu namun berprestasi dikhawatirkan melenceng. Karena itulah perguruan tinggi dianjurkan memiliki data terukur mengenai kelayakan calon penerima beasiswa.
Data yang akurat dapat diperolah melalui kunjungan ke rumah. Perguruan tinggi membentuk tim khusus yang bertugas mengecek kondisi sosial-ekonomi pemohon beasiswa. Kunjungan tentu saja bisa dilakukan dengan diam-diam dengan mencari informasi dari ketua RT atau tetangga yang bersangkutan. Kalaupun dilakukan secara terbuka sebaiknya dilakukan tanpa pemberitahuan.
Agar kunjungan menghasilkan data yang valid, data yang disajikan bukan data deskriptif semata. Kepemilikan aset keluarga mahasiswa perlu dibuat dalam benntuk data kuantitatif supaya bisa dibandingkan dengan pemohon lain. Data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk peringkat untuk mengetahui mahasiswa mana yang berhak mendapatkan beasiswa. Hal ini penting diperhatikan karena beasiswa berkaitan dengan rasa keadilan masyarakat. Sebab, jika sampai salah sasaran rasa keadilan mahasiswa yang benar-benar kurang mampu tentu terlukai.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Friday, 5 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment