Friday, 5 March 2010
Perempuan dalam 100 Hari SBY-Boediono
Demo besar-besaran yang dilakukan berbagai elemen masyarakat pada 28 Januari lalu merepresentasikan kekecewaan sebagian masyarakat terhadap kerja pemerintah. Setelah 100 hari bekerja, prestasi kerja pemerintah tidak menunjukkan progresifitas. Kondisi ini diperparah oleh blunder pemerintah, misalnya dengan membeli mobil mewah bagi para pejabat negara sehingga melukai rasa keadilan masyarakat.
Jurang ketidakadilan juga membentang ketika kita memperhatikan perempuan Indonesia pada 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Terdapat jarak yang sangat lebar antara harapan yang dibumbungkan pemerintah dengan kenyataan yang dialami perempuan. Perempuan tetap menjadi warga kedua dalam orientasi pembangunan yang dikayuh pemerintah.
Pada masa pencalonannya sebagai presiden pada tahun 2004 SBY sempat melontarkan puluhan janji. Saat hadir dalam pertemuan dengan aktivis Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan di Hotel Atlet Century Park, Jakarta 30 Agustus 2004, ia menjanjikan perlindungan bagi perempuan. “Saya melihat dewasa ini ada tiga hal fundamental yang terkait dengan permasalahan perempuan. Salah satu hal yang mesti disoroti adalah masalah keselamatan mereka dari tindak kejahatan dan kekerasan,” ungkapnya saat itu.
Janji SBY memprioritaskan partispasi perempuan juga terdengar pada pidato politik penutupan masa kampanye putaran pertama di Jakarta, Kamis 1 Juli 2004. Ia mengatakan masalah kesenjangan partisipasi politik kaum perempuan sebenarnya bersumber dari struktur sosiokultural yang ada dalam masyarakat. Untuk itu SBY berjanji, dalam jangka pendek akan melahirkan affirmative action untuk memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik.
Selain itu, pada acara Rembuk Nasional (National Sumit) pada akhir 2009 SBY beberapa kali menyampikan usaha pemberdayaan bagi perempuan Indonesia. Menurutnya, partisipasi perempuan dalam pembangunan adalah keniscayaan. Bukan saja karena perempuan menjadi pelaku ekonomi yang dominan, tetapi juga karena besarnya potensi yang perempuan miliki.
Retorika Politik
Sebagai presiden SBY berhasil membumbungkan optimisme masyarakat, termasuk perempuan. Namun rekam kerja pemerintah, setidaknya 100 hari awal pemerintahannya justru membuat optimisme menjadi angan kosong. Pasalnya, pidato presiden seringkali hanya dilandasi data-data makro dan tidak menjangkau akar persoalan. Bahkan, ia terkadang bersikap naif dengan mengklaim secara sepihak bahwa programnya telah sukses.
Retorika presiden, tidak terkecuali tentang perempuan, hanyalah retorika politik. Ia mengukuhkan kekuasaan dengan terus-menerus membumbungkan harapan sembari meminta dukungan publik. Ucapan ‘mari bersama-sama’ menjadi andalan presiden untuk menyatakan bahwa harapan masih ada meski nyatanya keadaan semakin sulit.
Retorika presiden bisa kita bandingkan dengan fakta bahwa hingga saat ini angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih yang tertinggi di Asia Tenggara, yakni 470 per 100 ribu persalinan. Umumnya kematian terjadi karena tiga hal, yakni tekanan darah tinggi, terjadinya pendarahan, dan infeksi sesudah persalinan.
Selain itu, Komnas Perempuan mencatat, tren kekerasan yang dialami perempuan Indonesia semakin meningkat. Pengaduan terbanyak biasanya menyangkut kasus tekanan terhadap perempuan dalam bidang ekonomi, psikis, fisik, dan seksual.
Komitmen SBY-Boediono yang terutara dalam kampanye untuk mengurangi perdagangan perempuan ternyata tak seindah janjinya. Dapat kita lihat, tayangan berita kriminal masih sering menyajikan berita tentang traficking. Sebuah LSM di Batam menemukan 166 kasus perdagangan perempuan, sementara di Solo pernah dilaporkan ada 15 kasus perdagangan anak untuk tujuan komersial.
Kementerian Perempuan
Dalam 100 hari pemerintahan SBY-Boediono masyarakat juga mencatat sejumlah keganjilan hukum yang menempatkan perempuan sebagai korban. Contoh paling segar adalah ketika Prita menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik. Pada saat yang bersamaan kasus Mbah Minah muncul membawa bukti baru kenaifan pemerintah dalam melindungi perempuan. Meski prita bebas, sementara Mbah Minah dihukum percobaan selama 1, 5 bulan, kasus yang menimpa keduanya bisa menghasilkan kesimpulan awal bahwa perlindungan yang diberikan negara terhadap perempuan memang masih lemah.
Dalam usaha perlindungan dan pemberdayaan perempuan, mestinya Kementrian Perempuan menjadi tangan kanan pemerintah yang ampuh. Namun fakta menunjukkan bahwa kementrian ini tidak mampu memecahkan persoalan perempuan Indonesia pada tingkat bawah. Apalagi, sebagai kementerian negara lembaga ini tidak memiliki tangan cukup panjang, misalnya di tingkat desa, untuk mengurai persoalan mikro seperti kesehatan reproduksi, kekerasan rumah tangga, atau diskriminasi sosial.
Zona Migran, sebuah LSM perlindungan perempuan, mencatat pada 2008 hingga 2009 telah terjadi 383 kasus KDRT di Jawa Tengah. Dari jumlah tersebut KDRT terbesar terjadi di Semarang yang mencapai 92 kasus. Angka ini bisa meningkat fantastis mengingat kasus KDRT yang terlaporkan diyakini hanya sebagian kecil dari KDRT yang ada.
Masalah tersebut mestinya bisa ditekan Kementrian Perempuan karena merupakan masalah yang konkrit. Di luar dua masalah tersebut, ada sejumlah masalah sosial-kultural yang agaknya sulit dibaca dan diatasi Kementrian. Misalnya, pada kelas masyarakat tertentu perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua. Mereka terkungkung legitimasi mitos, tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan mengalami beban sosial.
Selain itu, nilai merah juga patut diberikan kepada pemerintah terkait komitmennya melindungi tenga kerja wanita (TKW). Pasalnya, hingga saat ini laporan berbagai tindak kekerasan terhadap TKW masih sering mengemuka. Ceriyati, Nirmala Bonat, Siti hajar, Onis dan Aminah menjadi pars prototo yang menggambarkan lemahnya perlindungan yang diberikan pemerintah.
Meski mendapat julukan sebagai pahlawan devisa TKW belum mendapat perhatian memadai dari pemerintah. SBY-Boediono justru asyik bermain angka dengan mengukur keberhasilan pemerintahannya dengan berbagai survei. Pantaslah jika demonstrasi pada 28 Januari lalu dimaknai sebagi perayaan 100 hari kebuntuan komunikasi pemimpin dengan rakyatnya.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment