Wednesday, 17 February 2010

Kengerian Menumpulkan Empati

Berita pembunuhan berantai yang dilakukan Baekuni alias Babe membentangkan fakta baru tentang karakter manusia terakhir ini. Spesies yang dianggap Darwin sebagai hasil evolusi paling sempurna ini ternyata menyimpan kekejian yang tidak terhingga. Bahkan, selain pintar melakukan kekejian manusia juga pintar menyembunyikan kekejian yang dimilikinya dibalik sikap santun atau perbuatan welas asihnya.

Kekejaman Babe barangkali hanya bersifat kasuistik. Orang seperti Babe hanyalah potret buruk seorang manusia. Selain Babe, di antara sekitar enam milyar penduduk dunia tentu saja masih banyak orang baik. Tapi kekejaman Babe segera menjadi kekejaman kolektif saat berita pembunuhan yang dilakukannya menjadi santapan masyarakat luas. Oleh media massa (baca: televisi) kekajaman itu dipublikasikan sehingga kengerian tidak lagi menyeramkan.

Jika kita perhatikan, berita pembunuhan berantai Babe nyaris tidak pernah meninggalkan kata sodomi, pedofilia, atau nekrofilia. Dalam tataran penggunaan bahasa, ketiga istilah tersebut sah-sah saja digunakan sebagai petanda bagi sebuah kejadian atau perilaku. Namun, penggunaan istilah-istilah tersebut juga menunjukkan tingkat kekejian manusia.

Masih pada kasus Babe, istilah ‘mutilasi’, ‘mayat dibuang’, atau bahkan ’tubuh dipotong-potong’ juga menunjukkan sisi terkelam kehidupan manusia. Istilah-istilah itu menyentakan kita bahwa manusia tidak sebaik ‘manusia’. Kekejian manusia ternyata bisa muncul dari orang yang dikenal sebagai penyayang karena terbiasa menyantuni anak jalanan.

Pilihan Diseufemisme
Begitulah televisi menyajikan sisi kelam manusia dengan sangat gamblang. Keinginan para pewarta berita kriminal untuk menyajikan sebuah fakta sebagai potret sosial telah menyajikan fakta baru yang lebih besar. Dan dengan diam-diam para penonton juga menikmati pemberitaan seperti itu, seraya membatin ‘ada juga orang seperti dia ya?’

Pilihan stasiun televisi untuk menggunakan istilah-istilah diseufemisme ternyata berakibat buruk pada penggusuran sikap kemanusiaan yang dimiliki manusia. Berkat penggunaan istilah dengan konotasi luar biasa keji itu rasa iba dan ngeri sesorang mulai tumpul. Kengerian tidak lagi mengerikan karena disajikan secara terus menerus. Rasa iba tidak mampu lagi menggerakan hati manusia karena menjadi peristiwa yang terlalu biasa.

Ngeri dan iba adalah representasi sifat asih manusia. Dengan kedua perasaan itu manusia bisa menumbuhkan empati yang kemudian bisa terepresentasi dalam sikap peduli. Perasaan ngeri dan iba tumbuh jika manusia memiliki kesadaran sosial. Artinya, kedua perasaan itu hanya dimiliki orang yang menyadari posisi dan perannya dalam masyarakat. Kesadaran itu yang membimbing manusia, secara instingtif, mengambil sikap atas kondisi orang lain.

Karena perasaan ngeri dan iba adalah pemerolehan sosial, kadar kepemilikan masing-masing orang tentu berbeda bergantung pada kondisi sosial yang menumbuhkannya. Keduanya bisa menjadi sangat tajam karena diasah untuk terus peduli, namun bisa menjadi tumpul. Penumpulan itulah yang secara diam-diam dilakukan televisi melalui berita kriminal. Terlalu sering mendengar dan menyaksikan kengerian bisa membuat seseorang hilang kepekaannya.

Hilang Empati
Berita kematian yang dulu disiarkan melalui pelantang di masjid atau mushola biasanya mampu menghentikan aktifitas apapun. Petani segera meletakan cangkul, pedagang segera menutup toko, dan ibu rumah tangga rela meningglkan masakannya ketika mendengar berita lelayu. Mereka berduyun-duyun melayat dengan kesedihan dan rasa kehilangan yang mendalam. Tangisan, meski menjadi ekpresi klise, menunjukkan empati besar terhadap orang yang meninggal atau keluarga yang ditinggalkan.

Di desa-desa pada tahun 90an, bunyi titir atau tanda bahaya yang dibunyikan dengan kenthongan masih dianggap penting. Bunyi titir dibunyikan untuk meminta bantuan masyarakat jika ada bencana seperti kematian, kebakaran atau pencurian. Saat itu titir mampu membuat seluruh orang yang mendengar terkesiap segera bergegas menghampirinya. Perasaan iba dan bayangan kengerian menggerakan mereka untuk bertindak, tidak sekadar ingin tahu atau ingin melihat.

Kondisi tersebut sudah tidak ditemukan lagi belakangan ini. Berita kematian yang disiarkan televisi setiap hari dan terus menerus membuat kematian menjadi peristiwa yang tidak lagi istimewa. Padahal peristiwa tersebut berkait langsung dengan nyawa yang merupakan hal paling substansial dalam kehidupan.

Proses semacam itu juga terjadi pada peristiwa-peristiwa lain, seperti pencurian, pemerkosaan, perampokan atau bahkan pembunuhan. Kabar tentang pembunuhan tidak bisa lagi membuat orang simpati dan tergerak. Jangankan menangis, sekarang seseorang bisa menyaksikan berita pembunuhan di televisi sambil menikmati cemilan. Kadang-kadang berita pembunuhan bahkan bisa dinikmati bergiliran dengan Abdel dan Temon atau video klip grup band Kuburan.

Jika proses semacam ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin suatu saat rasa iba dan empati tidak lagi menjadi bagian dari sifat manusia. Kengerian yang disajikan berita kriminal perlahan menumpulkan empati pemirsanya. Pada taraf tertentu, dan tentu saja paling mengerikan, seseorang akan terdorong melakukan perbuatan keji karena terbiasa mendengar dan menyaksikannya.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Universitas Negeri Semarang
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Dari Forum Kompas Jawa Tengah, 17 Fabruari 2010
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/17/13453549/Kengerian.Menumpulkan.Empati

No comments:

Post a Comment