Monday, 1 February 2010

Neofeminisme dalam Tradisi Mbadheg

Berawal dari kesadaran Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, dua pemikir feminis Eropa, gagasan untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dikembangkan. Gerakan ini menuntut ada kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, yang pada 1837 disebut Charles Fourier sebagai gerakan feminisme.

Di Indonesia, meski pemikiran feminis belum dikenal, telah ada sejumlah kelompok yang memperagakan bentuk-bentuk keseteraan. Menariknya, praktik pembagian hak dan kewajiban yang setara itu justru dilakukan kalangan tidak terpelajar di Jawa melalui tradisi mbadheg.

Pemikiran feminis, yang di Indonesia lebih moncer disebut sebagai emansipasi, memang baru papuler pada di Indonesia masa perjuangan RA Kartini. Namun jika menyimak pembagian peran di masyarakat pedalaman Jawa, pemikiran feminis dapat ditemukan di Banyumas, bahkan jauh hari sebelum pemikiran RA Kartini terlacak.

Mbadheg adalah kegiatan memasak sari aren dan kelapa menjadi gula Jawa atau gula merah. Meski dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan, mbadheg bukan semata-mata aktivitas ekonomi yang melanggengkan prinsip-prinsip produktif. Lebih dari itu, tradisi mbadheg telah berkembang menjadi prosesi budaya yang syarat dengan pesan moral.

Dalam entitas kebudayaan Banyumas, yang secara geografis mencakup wilayah kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara, berkembang kepercayaan yang menyertai aktivitas mbadheg. Masyarakat setempat meyakini mbadheg bisa menggambarkan kemahiran seorang perempuan, tidak hanya dalam memasak tapi dalam berbagai kehidupan.

Saat mbadheg kemampuan seorang perempuan, apakah ditingkat pemula, menengah, atau mahir, diuji. Dikatakan mahir jika gula yang mereka hasilkan berwarna merah cerah, bersih, namun terasa manis. Sebaliknya, jika gula yang mereka hasilkan berwarna gelap dan kurang manis ia dianggap sebagai pemula. Sukses perempuan memasak aren biasanya ditandai oleh hasil gula yang memiliki nilai jual tinggi. Karena itulah penghargaan bagi perempuan yang memasak gula aren dengan baik perlu diberikan.

Berawal dari kepercayaan ini, perempuan Banyumas menggunakan dapur sebagai area ekspresi untuk mengaktualisasikan diri. Mereka tidak lagi menganggap dapur sebagai area domestik yang memenjarakan kreativitas, melainkan area berekspresi yang harus dimanfaatkan. Ini pandangan konservatif masyarakat pedalaman Jawa yang sama sekali berbeda dengan pandangan feminisme Eropa.

Membaca Neofeminisme
Logika laku mbadheg, sebagai gambaran kesetaraan, jelas tidak seperti keseteraan yang John Stuart Mill dalam tulisan The Subjection of Women (1869) idamkan. Tokoh feminisme gelombang pertama ini getol memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan sebagai sebuah kebebasan sehingga harus disamakan secara mutlak.

Pemikiran Mill dalam jeak selusur feminisme dikenal dengan pemikiran feminisme lama. Sebutan itu muncul sebab para pemikir setelahnya melihat feminisme tidak harus diterjemahkan sebagai pembagian hak dan kewajiban yang sama rata. Kesetaraan tidak berarti 50 : 50, tetapi pengakuan tidak adanya pola hierarkis dalam relasi gender. Karena perbedaan bilogis, perempuan memang tidak bisa melakukan pekerjaan laki-laki, begitupun sebaliknya. Namun, keduanya memiliki sisi-sisi istimewa yang patut dihormati.

Kesetaraan tidak harus berarti kesamaan, juga diungkapkan Helene Cixous yang mengkritik logosentrisme yang didominasi nilai-nilai maskulin. Pemikiran ini ini kemudian dikenal sebagai pmikiran neofeminisme.

Di Indonesia wacana neofemisnem memang tidak terekam sejarah karena gerakan tersebut lebih deknal sebagai gerakan emansipasi. Namun dalam tradisi mbadheg, neofeminisme tidak hanya menjadi wacana, melainkan laku yang nyata dan mudah teramati.
Umumnya, mbadheg dikerjakan perempuan ketika siang atau malam hari, setelah seorang istri selesai mengerjakan tugas rumah tangga. Kegiatan ini tidak bisa dijadikan samben (sampingan) karena menuntut perhatian tinggi. Kelalaian saat proses pengolahan aren bisa membuat gula yang dihasilkan cacat.

Mbadheg hanya bisa dilakukan atas kerja sama suami dan istri. Suami bertugas mengambil sari aren dari pohon sedangkan istri bertugas mengolahnya menjadi gula. Pembagian tugas ini terjadi secara alami, menunjukkan hubungan resiprokal suami-istri, sekaligus menunjukkan pemahaman gender yang tinggi. Suami dan istri punya hak kewajiban yang setara namun tidak sama.

Pembagian peran dalam tradisi mbadheg didasarkan pada kondisi alami yang dimiliki suami-istri. Sebab suami, oleh lingkungan dibentuk memiliki kekuatan fisik, ia bertugas memanjat pohon aren atau kelapa. Tentu tidak bisa dibayangkan jika tugas semacam ini harus diambil alih oleh istri yang kebanyakan memang tidak terampil memanjat.

Begitupun tugas mbadheg yang dilimpahkan kepada istri, bukan semata-mata karena istri memiliki keterampilan memasak secara alami. Kepekaan terhadap rasa, kejelian saat mencetak gula, serta ketekunan mencermati proses pengolahan membuat istri dirasa cocok melakukan kegiatan ini.

Meski pembagian tugas di atas terjadi secara alami, bahkan di luar kesadaran para pelakunya, kesetaraan telah diperagakan dengan sempurna. Ketika masyarakat ramai oleh wacana keseteraan, justru mereka telah mempraktikannya. Laki-laki dan perempuan setara, tapi tidak sama.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara

No comments:

Post a Comment