Karena perannya dalam politik dan sejarah yang sangat besar, Jawa dianggap telah mendominasi Indonesia. Akibatnya, Indonesaia selalu direpresentasikan oleh Jawa. Keadaan ini bisa dimaklumi pada pembahasan sejarah, sebab dominasi Jawa memang tak terbantahkan. Namun dalam politik identitas perempuan Indoonesia, sangat tidak adil jika perempuan Indonesia hanya direpresentasikan oleh Jawa.
Kemajuan demokrasi negeri ini ternyata belum sepenuhnya berdampak pada pengakuan merata terhadap hak-hak seluruh perempuan. Posisi mereka sejauh ini masih tetap berada dipinggir pembuat kebijakan. Akses politik yang tersedia masih kental dengan semangat maskulinitas, terutama bagi perempuan di luar Jawa.
Kanal demokrasi berupa pemilihan mengkonfirmasikan ketimpangan relasi politik perempuan Jawa dan luar Jawa. Di Jawa, perempuan bisa berpartisipasi dalam kegiatan sosial politik, sedangkan di luar Jawa masih ada perempuan masih bergelut hanya di area domesti.
Pandangan seperti ini, harus diakui masih tumbuh subur di tengah masyarakat kita. Persoalan hak perempuan masih menjadi perdebatan yang nyaris tanpa ujung. Hambatan kultural, patriarki, dan ekonomi pun terus terjadi. Terlebih jika ditarik dalam ranah agama, maka perdebatannya akan semakin panjang.
Inilah problem identitas perempuan Indonesia saat ini. Meski tak pernah muncul, potensi kecemburuan perempuan luar Jawa bisa lahir. Tentu saja ini tidak baik di tengah keragaman dan semangat multikulturalisme.
Selama ini perempuan Indonesia selalu diwakili oleh perempuan berkebaya dan bersanggu, identitas yang sangat lekat pada entitas kebudayaan Jawa. Baik di media massa maupun politik citra, perempuan Indonesia diwakili oleh perempuan Jawa. Lebih khusus lagi terpusat di pusat-pusat kebudayaan, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.
Stigma itu perlahan-lahan mengendap, tidak hanya di pergaulan antar entitas kebudayaan namun di luar negeri. Jika seorang warga negara asing diminta menggambarkan sosok perempuan Indonesia, bisa jadi deskripsinya lekat dengan kebaya.
Labelisasi perempuan Indonesia sebagai perempuan jawa sangat dipengaruhi media Dalam berbagai tayangan media, perempuan Indonesia digambarkan sebagai perempuan Jawa yang lembut, submisif, kelas kedua, ibu yang baik, rela mengalah pada saudara laki-laki, anak perempuan yang kelas kedua. Semua dikontekskan dalam situasi ke-Jawa-an. Dalam banyak kasus urusan kosmetika, referensinya masih terpusat di Jawa, khususnya Jogjakarta.
Dalam pembentukan stereotip kecantikan, perempuan Indonesia identik dengan kulit putih dan sikap lembut. Ini adalah perpaduan Barat-Jawa. Bahwa perempuan yang cantik adalah yang putih seperti perempuan Eropa dan lembut seperti perempuan Jawa. Perempuan bukan-Jawa mengalami kolonialisasi ganda dengan harus menjadi Barat dan menjadi Jawa.
Hal ini bisa dilihat dalam keseharian melalui kehadiran iklan dalam televisi. Tidak dipungkiri, semua stasiun televisi di Indonesian berpusat di Jawa, terutama Jakarta. Pada titik ini, persoalan desentralisasi pusat kekuasaan dalam ranah image-setting dan bidang lain didikte Jawa. Meskipun usaha desentralisasi ini telah dilakukan dengan hadirnya otonomi daerah, peran Jakarta sebagai la parole Indonesia belum bergeser. La parole ini harus dipertanyakan dan dipersoalkan selama dia masih bertendensi untuk memusatkan dan men-generalisasikan partikularisme melalui politik identitas yang menuju politik agensi melalui resistensi.
Politik Eksistensi
Identitas perempuan sebenarnya nirmakna sebab hanya sebuah lebel. Toh, perempuan Jawa atau bukan tidak mengambil untung dari kenyataan tersebut. Namun jika pembahasan dialihkan pada eksistensi, dikotomi perempuan Jawa dan non-Jawa cukup punya pengaruh.
Pengaruh akan sangat terasa jika dikotomi perempuan Jawa dan non-Jawa diabaikan saat merumuskan produk hukum. Sebab terdapat renggang kultural yang sangat jauh antara kebudayaan Jawa dan luar Jawa, produk hukum harus akomodatif bagi seluruh kalangan. Jika dirumuskan berdasarkan observasi terhadap perempuan Jawa, tentu cacat pada komunitas perempuan lainnya.
Contoh ini kentara saat DPR merumuskan RUU Pornografi dan Pornoaksi beberapa saat lalu. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa menunjukkan bagian dada adalah porno. Rumusan sumir ini tampaknya hanya didasarkan pada kondisi perempuan Jawa. Padahal di luar Jawa, utamanya suku-suku tradisional, hal itu menjadi lumrah.
Renggang yang sama akan ditemukan pada perempuan di Nangroe Aceh Darussalam. Pemerintah setempat mewajibkan pegawai negeri dan Polwan yang bertugas di sana untuk mengenakan jilbab. Karena kultur masyarakat setempat memang mendukung kebijakan tersebut didukung masyarakat. Akan berbeda jika kewajiban serupa diterapkan pada perempuan di daerah lain.
Bahasa hukum yang dipukul rata bisa menjadi problem dalam kehidupan perempuan jika tidak selaras dengan kenyataan. Jika hukum yang dilahirkan pemerintah jutru bertentangan dengan khazanah kebudayaan lokal bisa memunculkan friksi. Hal ini rentan terjadi pada tata cara pernikahan perempuan Minang yang masih kukuh matrilineal. Di sana tugas mencari nafkah tidak semata-mata tugas suami, sedangkan dalam undang-undang perkawinan jelas menyatakan bahwa mencari nafkah adalah tugas sumi.
Selain dalam merumsukan hukum, keragaman identitas perempuan Indonesia penting diperhatikan saat pemerintah menggulirkan program pemberdayaan. Kondisi yang berbeda antara kelompok perempuan di satu daerah dengan daerah lain mengharuskan pemerintah jeli mengatur programnya. Jika tidak, ketimpangan peran perempuan Jawa dan non-Jawa bisa terus terjadi dan berpotensi memunculkan konflik.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Monday, 1 February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment