Saya memikul sepasang walik (keranjang besar yang digunakan untuk mencari rumput) menjelang tengah hari kemarin. Mengenakan celana pendek dan kaos compang-camping yang telah blepotan getah pisang membuat saya terlihat kumuh. Seperti gelandangan. Tapi pada saat seperti itulah saya merasa sangat beruntung. Saya merasa sangat maskulin.
Siang itu saya berencana berangkat ke hutan pinus mengambil rumput. Ayah saya baru membeli dua ekor kambing Marino, kamping khas dataran tinggi yang tubuhnya ginuk-ginuk. Karena ayah saya sedang sibuk mengerjakan pekerjaan lain saya yang siang itu mencari rumput: pekerjaan yang ketika kecil saya tekuni selama bertahun-tahun.
Hutan pinus terletak 500 meter arah barat daya rumah saya. Di sana tumbuh pohon-pohon pinus raksasa. Tingginya saya perkirakan mencapai 50 meter. Bagian bawahnya dilubangi karena getahnya disadap. Wa Marsudi, Pak De saya, salah seornag penyadap di hutan pinus itu.
Saya menghabsikan masa kecil dengan bermain di sana, tapi saya tidak pernah bosan jika sekali-kali datang ke sana. Pemandangan hutan membuat saya selalu terpesona. Suara gemericik air sungai membuat suasana semakin tenang. Apalagi jika sesekali angin berhembus meliukan pucuk-pucuk pinus, akan terdengar suara gemuruh yang lebih menyerupai orkestra alam.
Saya duduk beberapa lama ketika sampai di hutan pinus. Sengaja saya memanjat ke bukit yang letaknya lebih tinggi supaya bisa menikmati pemandangan lebih luas. Saya merebahkan diri melihat langit yang cerah. Awan menggumbal menyerupai cendawan. Saar itulah saya mulai berpikir, ternyata saya sangat beruntung. Sungguh, saya sangat beruntung.
Pertama, saya satu-satunya orang yang berkesempatan menikmati kursi perguruan tinggi di dusun tempat saya tinggal. Teman-teman deperaminan saya lebih banyak yang hanya merampungkan pendidikan MI, setingkat SD. Ada dua tiga orang yang selesai hingga SMA tapi tidak ke perguruan tinggi. Setelah bekerja dan memiliki sebidang tanah mereka memilih untuk segera berkeluarga. Menurut saya piliha itu benar. Hawa dingin di sana memang membuat orang melajang terlalu lama.
Kedua, saya melihat orang-orang tidak beruntung ketika sekali-kali pulang kampung. Mbah Nawi misalnya, seorang kakek yang hidup sebatang kara. Ia hidup dengan bekerja menjadi tukang cari rumput. Ia makan dari orang-orang yang ia carikan rumput. Istrinya telah lama meninggal dan sekarang ia menempati gubuk di sebuah kebun di utara dusun. Dusun itu hanya berikuran 3 x 3 meter saja, hampir penuh olah sebuah ranjang bambu.
Ada lagi. Sartimin (bukan nama sebenarnya) teman sepermainan saya ketika kecil. Ia pernah merantau ke Kalimantan untuk bekerja pada sebuah perkebunan kelapa sawit. Ketika kisruh Dayak-Madurs di Sampit ia nyaris mati karena perutnya terkena tombak. Ia pulang ketika kerusuhan di sana mencapai klimaks dan berangkat kembali setelah kerusuhan di sana dikabarkan usai.
Nasib orang memang tidak ada yang bisa menebak. Demikian pula fluktuasinya. Tih kata orang, hidup seeperti roda; selalu berputar. Saya hanya harus bersiap menghadapi tantangan. Saya pikir saya telah diberi kesempatan begitu lebar. Saya hanya harus memilih dan memanfaatkannya. Semoga Gusti Allah ngijabahi.
Wanadadi, 8 Fabruari 2010
Surahmat
Sunday, 7 February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment