Friday, 5 March 2010

Djasri: Djalan Sering Rusak Ih...

Nama Bupati Banjarnegara Djasri ternyata dapat diterjemahkan beragam sesuai kepentingan. Dulu, pada masa kampanye Pilbup, namanya didedahkan tim sukses menjadi Djalanan Aspal, Rapi, dan Indah untuk menonjolkan jasanya melakukan perbaikan jalan. Namun belakangan, oleh masyarakat desa yang tidak puas dengan kerjanya nama Djasri diterjemahkan menjadi Duh, jalanan sering rusak ih…'

Belakangan ekpresi tersebut semakin sering digunakan masyarakat, khusunya di pedesaan, sebagai sarana kritik. Mereka memprotes jalan Kabupaten yang rusak parah namun didiamkan pemerintah.

Suara Pinggiran
Duh jalanan sering rusak ih adalah ekspresi masyarakat pinggiran yang secara politis tidak punya kekuatan mendesak pemerintah. Mereka juga tidak memiliki saluran diplomasi yang baik sehingga aspirasinya tidak tersalurkan. Karena kekecewaan tidak tersalurkan, bahkan oleh DPRD, mereka menggunakan nama pimpinan tertinggi kabupaten sebagai sarana protes.

Dalam tradisi masyarakat pinggiran Banjarnegara protes memang tidak harus dilakukan secara frontal. Mereka tidak perlu mengerahkan massa, membantangkan spanduk tuntutan, atau melantangkan suara seperti kelompk masyarakat lain. Justru sindiran Duh jalanan sering rusak ih terasa sangat mengena jika orang yang bersangkutan mendengarnya.

Protes pasif sebagai ekpresi khas kaum pinggiran sebenarnya telah muncul sejak lama, tidak hanya di Banjarnegara tetapi di Banyumas raya. Hal ini terjadi karena orang Banyumas selama ini tidak dekat dengan kekuasaan (keraton). Mereka yang merasa aspirasinya mampat memilih menyuarakan aspirasi melalui ujaran atau lelagon dalam beberapa pentas seni tradisi.

Pada pagelaran Dalang Jemblung misalnya, lagu yang digunakan para pengiring biasanya berisi sindiran terhadap pemerintah. Melalui syair yang semblothongan mereka melayangkan kritik, protes, atau bahkan gugatan.

Demikian pula pada pentas Lengger. Selain langgam dan slawatan, pengiring juga menyelipkan kritikan pada syair lagu yang dibawakannya. Kadang kritikan berupa keluh kesah, saran, atau gugatan. Namun saat kekecewaan mengkristal, kritikan berubah menjadi semacam parodi sebagai sarana menertawakan penguasa. Para seniman menirukan atau memplesetkan perilaku penguasa secara berlebih sehingga melahirkan kesan konyol.

Sekarang, di tengah menjamurnya saluran aspirasi, sangat ironis jika suara pinggiran semacam Duh jalanan sering rusak ih masih muncul. Hal itu mengindikasikan dua hal. Pertama, saluran aspirasi resmi tidak efektif sehingga tidak dipilih masyarakat. Lembaga legislatif tidak mampu berperan sebagai talang yang mengakomodasi kepentingan masyarakat kelas bawah.

Kedua, kalangan eskskutif tidak peka membaca keinginan masyarakat kelas bawah. Mereka lebih asyik menggarap proyek-proyek besar yang lebih menjanjikan. Urusan jalan di desa-desa belum menjadi prioritas karena masih dianggap remeh-temeh.

Desentralisasi Pembangunan

Lepas dari itu, ekspresi Duh jalanan sering rusak ih harus mendapat perhatian serius. Pemkab harus mulai menyeimbangkan pembangunan di desa dan kota secara proporsional. Pembangunan yang selama ini masih terpusat harus mulai didesentralisasi.

Selama ini banyak kebijakan pembangunan Pemkab Banjarnegara yang kurang mendukung upaya desentralisasi. Alih-alih menciptakan pembangunan yang tersebar merata, Pemkab kerap menciptakan pusat pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Pembangunan yang mestinya merata di seluruh wilayah justru terfokus di kota kabupaten.

Hal terseut setidaknya bisa dilihat dari perspektif alokasi APBD. Dari sekitar 41 milyar PAD Kabupaten Banjarnegara, 17 milyar di antaranya terserap untuk pembangunan Kota. Padahal Banjarnegara terdiri atas 273 desa dan hanya 5 kelurahan.
Sebagai pusat pemerintahan, Kota memang memerlukan anggaran pembangunan lebih besar. Namun, peran sentral kota tidak semestinya mendominasi jalannya pembangunan. Tidak etis jika pembangunan infrastruktur kota terus digenjot sementara pembangunan desa justru jalan di tempat.

Pada tahun anggaran 2008 Pemkab Banjarnegara bersama DPRD mengesahkan rencana pembangunan terminal dan stadion. Kedua proyek itu ditaksir menghabiskan dana hingga 15 miliar rupiah. Bahkan karena pembangunan terminal kekurangan dana, pemerintah daerah berinisiatif mengambil dana dari sektor lain, termasuk anggaran untuk plesterisasi rumah penduduk miskin.

Melihat urgensi kebutuhan terminal, kebijakan mengalihkan alokasi anggaran mungkin bisa dimaklumi. Namun jika hal sama dilakukan untuk pembangunan stadion, barangkali akan memancing sentimen negatif dari penduduk desa. Kebijakan tersebut bisa diterjemahkan sebagai kebijakan yang tidak prodesa.

Memiliki terminal dan stadion yang megah tentu membanggakan masyarakat Banjarnegara. Namun kebanggan tersebut justru akan cela jika pada saat yang sama banyak jalan di desa-desa banyak yang licin dan berlubang. Di kecamatan Punggelan, Kalibening, Pejawaran, dan Pandanarum yang secara geografis paling berjarak dari pusat pemerintahan, banyak jalan yang rusak parah dan berlubang.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment