Hingga saat ini demonstasi masih populer digunakan anggota masyarakat untuk menumpahkan kejengkelan terhadap penguasa. Namun bagi warga Banyumas, yang secara geografis mencakup kabupaten Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, dan Cilacap, kejengkelan terhadap kaum priyayi dilakukan melalui panggung pementasan. Dalam pentas Dalang Jemblung misalnya, rakyat menyampaikan tuntutan dan sambil mengekspresikan kegilaan.
Kata Jemblung sendiri awalnya berasal dari bahasa Banyumas gemblung yang berarti gila. Melalui pementasan Dalang jemblung mereka mengkalim diri sebagai orang gila karena bicara dengan diri sendiri. dalang tidak memainkan bonek atau wayang tetapi bicara dengan diri sendiri. Iringan musiknya juga tidak menggunakan alat (gamelan) tetapi tiruanan-tiruan suara dari mulut.
Dalam kehidupan bermasyarakat, gemblung atau gila adalah stigma yang ditimpakan terhadap perilaku yang aneh dan keluar dari kebiasaan umum. Orang dianggap gila karena menunjukkan perilaku tidak wajar. Orang gila tidak pernah mempedulikan kerangka berpikir umum, apakah itu boleh dilakukan atau justru perlu dihindari.
Kegilaan, yang oleh masyarakat Banyumas disebut gemblung, ditandai dengan tindakan bicara sendiri. Orang gila tidak merasa perlu teman untuk mencurahkan perasaan, gagasan, atau unek-uneknya. Ia hanya bekepentingan untuk mengeluarkan kegundahan, beban pikiran dan perasaan yang jika disembunyikan akan menjadi beban. Perkara apakah ucapannya didengar, ditanggapi, ditindaklanjuti, atau justru hanya menjadi angin lalu bagi mereka tidak penting.
Klaim gemblung masyarakat Banyumas terhadap diri dan produk kebudayaannya terasa sangat janggal jika dicermati sekarang. Persaingan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat biasanya memaksa orang atau kelompok mengklaim diri sebagai pemilik kebudayaan yang adiluhung. Dengan berbagai cara mereka menciptakan citra postif dan menjaganya dengan berbagai mitos. Namun warga Banyumas justru berkebalikan diri menganggap diri sebagai orang gila dan menganggap produk kebeudayaannya sebagai representasi kegilaan.
Kegilaan sosial
Secara medis perilaku gila diidentifikasi disebabkan oleh tidak berfungsinya sel saraf. Aktivitas biologis yang tidak normal, benturan fisik yang mengakibatkan kerusakan, atau tekanan batin bisa membuat seseorang gila. Namun kegilaan juga bisa disebabkan oleh tekanan batin yang mendalam karena tidak dihargai masyarakat. Tekanan batin bisa terjadi karena eksistensinya tidak diakui, atau hanya ditempatkan sebagai subordinat dalam kelas sosial tertentu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kegilaan juga bisa dialami oleh sebuah kelompok (kegilaan sosial). Kegilaan ini, sebagaimana yang dialami masyaraat Banyumas, disebabkan oleh pengucilan secara sosial-politik oleh entitas kebudayaan yang lebih besar. Karena terus menerus ditempatkan sebagai kawula alit dan merasa eksistensinya tidak diakui, warga Banyumas memilih untuk ngedan. Di sinilah keedanan berubah menjadi ekspresi, sikap, sekaligus pemberontakan terhadap kaum priyayi.
Kebudayaan Banyumas dikenal sebagai kebudayaan marginal karena jauh dari lingkar kekuasaan (keraton). Mereka hidup dalam berbagai keterbatasan dan apresiasi yang minim dari penguasa. Mereka merasa terabaikan sehingga memilih untuk menjaga jarak dengan penguasa.
Kesederhaan warga Banyumas tercermin dari kesenian Dalang Jemblung yang berbentuk teater tutur. Selain tidak menggunakan wayang, Dalang Jemblung juga tidak menggunakan alat musik. Cerita yang dituturkan dalang hanya didirngi oleh tiruan-tiruan bunyi dengan mulut. Kelompok Dalang Jemblung yang biasanya terdiri dari 3 sampai 4 orang berbagi peran, salah satu menjadi dalang sedangkan lainnya mengiringi.
Selain sebagai hiburan, keseninan Dalang Jemblung dulu digunakan dalam prosesi ruwatan untuk menghilangkan kesialan seseorang. Anak yang lahir pada masa murwakala misalnya, dianggap perlu diruwat karena membawa kesialan. Anak murwakala adalah anak tunggal, anak kembar, atau anak perempuan yang diapit oleh dua anak laki-laki.
Sebelum melangsungkan prosesi ruwat seorang dalang diwajibakn berpuasa selama tiga hari untuk meminta perlindungan kepada Tuhan. Sebab, warga banyumas saat itu yakin dalam kehidupan pasti ada hal baik dan hal kurang baik. Supaya hal yang kurang baik tidak berakibat buruk seseorang perlu diruwat.
Sebelum pertunjukan dimulai ada beberapa syarat yang harus disiapkan oleh orang yang punya hajat, yaitu nasi tumpeng dan ingung (ayam utuh) beserta lauk pauknya. Semua ini dianggap sebagai penjelmaan Dewi Sri (dewi padi) supaya keluarga yang memiliki hajat selalu memiliki kelimpahan rizki.
Prosesi ritual diawali oleh nyanyian macapat sebagai pembuka pertunjukan. Kemudian, sang dalang yang bertindka sebagai pendongeng mulai membawakan cerit yang dibawakan. Karena berkembang dari masyarakat banyumas, cerita yang dibawakan biasanya legenda atau babad Banyumas, seperti babad kamandaka dan babad Baturaden. Meski begitu sesekali dalang juga membawakan babad dari daerah lain, seperti Babad mataram dan Babad Majapahit.
Di sela-sela cerita, dalang dan para ‘niyaga’ biasanya menyisipkan dagelan yang menghibur supaya tidak bosan. Dagelan inilh yang sering digunakan para seniman untuk mengkritik penguasa. Setelah itu, mantra dan doa-doa dirapalkan untuk membuang kesialan. Ritual kemudian ditutup dengan larungan yang dilakukan dengan membuang sesaji atau potongan rambut orang yang diruwat.
Meski lebih banyak memuat nilai hiburan dan spiritualitas Dalang jemblung kerap dimanfaatkan seniman untuk mengungkapkan kritik terhadap penguasa. Mereka menjadikan kesenian sebagai alternatif diplomasi karena tidak memiliki saluran lain yang aspiratif. Mereka melakukan pemberontakan pasif karena tidak mungkin merebut kekuasaan.
Selain pada Dalang Jemblung, perlawan pasif yang dilakukan warga Banyumas sebenarnya tercermin dari produk kesenian lain. Saat pementasan lengger misalnya, mereka menyelipkan jargon-jargon perlawanan untuk mengiringi penari. Selain jargon, seniman juga menyindir penguasa dengan memplesetkan ucapan dan memperolok gaya hidup mereka.
Sayangnya, meski pemberontakan dilantangkan melalui berbagai produk kesenian, keraton tidak juga memperhatikan mereka. Keraton menganggap tuntutan kaum marginal banyumas sebagai slenthingan dari pinggiran. Karena itulah warga Banyumas kemudian mempertajam kritiknya dengan berbagai tuturan yang semblothongan (sembarangan) dan cablaka (tegas). Dinamika ini pada akhirnya membuat bahasa Banyumas berkembang menjadi bahasa yang asertif dan dikenal memiliki kosakata umpatan yang sangat beragam.
Sebagimana terekam dalam pentas Dalang Jemblung, jarak yang terlalu lebar antara penguasa dan rakyatnya membuat komunikasi di antara mereka tidak terbangun. Rakyat bergelut dengan berbagai persoalan hidup namun elit politik justru asyik dengan perebutan kekuasaan. Karena tidak tersedia jalur diplomasi yang aspiratif, rakyat memilih menumpahkan kekesalannya di atas penggung. Di sana mereka bisa menyampaikan curahan perasaan, unek-unek, bahkan kegeraman yang mendalam dengan bebas.
Kegilaan yang diklaim warga Banyumas terjadi karena mereka diabaikan. Mereka hanya bisa berbicara sendiri, persis seperti porang gila karena tidka bisa menuntut.
Mengingat kebuntuan diplomasi masih sering dialami masyarkat, kegilaan sosial seperti yang dialami warga Banyumas saat itu sangat mungkin terjadi. Saat diplomasi melalui lembaga legislatif tidak lagi efektif karena telah menjadi lembaga yang berorientasi kekuasaan, rakyat akan menumpahkan kekesalannya di jalan dan panggung-panggung kesenian. Mereka terus menerus menyampaikan tuntutan meski tidak pernah mendapat tanggapan.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Universitas Negeri Semarang
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Friday, 5 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment