Friday, 5 March 2010

Mempertanggungjawabkan Tagline Perguruan Tinggi


Perguruan tinggi punya dua posisi yang membuatnya terkadang kontradiktif. Sebagai lembaga pendidikan ia harus melaksanakan tri dharma perguruan tinggi dengan sebaik mungkin. Namun sebagai lembaga indipenden ia harus sebisa mungkin harus bertahan dari persaingan. Dalam konteks inilah perguruan tinggi menghias diri dengan kosmetika bernama tagline.

Tagline digunakan untuk memperkuat citra lembaga di mata publik. Sebab diyakini, setiap lembaga memiliki point interest sendiri-sendiri yang mempu meningkatkan ‘nilai jual’nya. Pada saatnya tagline digunakan perguruan tinggi untuk menarik minat calon mahasiswa untuk studi lanjut di sana.

Selama dapat dieprtanggungjawabkan, tagline tentu dapat diterima. Bahkan, tagline bisa digunakan masyarakat untuk mengidentifikasi perguruan tinggi tertentu, apakah sebuah perguruan tinggi sesuai kebutuhan atau tidak. Identifikasi tersebut termasuk analisis spesialisasi bidang perguruan tinggi. Sebab disadari, perguruan tinggi tertentu memiliki keunggulan dalam satu bidang namun lemah pada bidang lain. Tagline digunakan untuk memeprkuat citra lembaga sebagai pakar bidang tertentu.

Kosmetika Bisnis
Persoalan muncul jika tagline hanya menjadi kosmetika bisnis bagi lembaga. Perguruan tinggi hanya memperkuat brand image supaya lembaga dikenal publik. Branding semacam itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena berpotensi menjebak masyarakat pada persepsi yang keliru. Bahkan, persepsi tersebut juga bisa menjebak masyarakat pada pilihan program pendidikan yang salah.

Di Jawa Tengah, ada empat tagline perguruan tinggi yang sangat popular. Selain research university, kini dikenal juga tagline kampus religi, dan universitas konservasi. Ketiganya mewarnai dinamika dan diskursus intelektual perguruan tinggi belakangan ini.

Research university sering dimaknai sebagai kampus riset. Cita-cita mulia tersebut didasari aktivitas penelitian yang mapan, terkoordinasi, dan berkesinambungan. Research university menekankan kegiatan riset, salah satu bentuk tri dharma perguruan tinggi, sebagai agenda jangka panjang yang berkesinambungan.

Aktivitas riset adalah keniscayaan sebuah lembaga pendidikan. Tidak hanya aktivitas di dalam laboratorium, tetapi berbegai riset bidang sosial kebudayaan. Tentu saja tidak hanya dilakukan oleh dosen, kegiatan penelitian harus melibatkan mahasiswa. Pertanggungjawaban kampus riset tidak terbatas pada sivitas akademika, melainkan secara moril kepada masyarakat luas.

Dalam beberapa aspek, tagline research university berhubungan dengan kampus religius. Keduanya memiliki persamaan menjaga semangat yang substansial. Bedanya, riset berkaitan dengan aspek praktis-akademis sementara kampus religius fokus pada aspek moral-spiritual.

Selama ini, aspek keagamaan dalam perguruan tinggi memang hanya dipersepsi pada tataran budaya. Artinya, kampus religius mempersepsikan diri melalui budaya yang dibangun, baik dalam proses pendidikan maupun keseharian. Padahal, tagline juga punya korelasi logis dengan aspek yang lebih substansial, seperti aspek ruhani civitas akademika dan masyarakat di sekitarnya.

Menerjemahkan dimensi ruhaniah dalam lembaga memang menjadi tantangan tersendiri bagi perguruan tinggi. Sebab, proses legitimasi moril dan struktural harus dicapai dengan kerja keras. Apalagi konsep ini berbenturan dengan sikap dan kecendrungan budaya massa yang profan dan individual sehingga cenderung meninggalkan nilai-nilai spiritual.

Selain itu, setidaknya ada dua tantangan besar perguruan tinggi mengaktualisasi menjadi kampus religi. Pertama, otoritas lembaga tidak dimiliki sepenuhnya oleh perguruan tinggi bersangkutan. Sebagai subsistem dari sistem pendidikan yang kompleks perguruan tinggi tidak terlepas dari paradigma pendidikan umum yang masih beroientasi pada capaian kognitif. Padahal, religiusitas adalah aspek ruhaniah.

Kedua, religiustitas berbenturan dengan pragmatisme pendidikan yang masih dialami dosen dan mahasiswa. Proses pendidikan masih dianggap sebagai bagian dari proses melegitimasi gelar kearjanaan yang akan digunakan dalam bekerja. Padahal, sebagaimaa diyakini aliran pendidikan konstruktivisme, pendidikan adalah pranata sosial yang memiliki visi terhadap perubahan perilaku individu dan masyarakat.

Universitas konservasi
Berbeda dengan research dan kampus religi, universitas konservasi belum banyak hadir dalam diskursus perguruan tinggi. Konsep ini lahir sebagai implementasi upaya menjaga harmoni; alam, kebudayaan, dan aspek lain.

Sebagaimana manusia, lembaga terdiri dari dua aspek yang berkorelasi secara resiprokal. Bagian pertama adalah struktur fisik, kedua adalah ruh. Keseimbangan keduanya menjadi perhatian yang digarap universitas konservasi.

Bagaimana aktualisasi tagline ini dalam persoalan bangsa dan dunia mutakhir? Tentu bukan perkara sepele menerjemahkannya. Namun, karena universitas konservasi memiliki perhatian besar terhadap lingkungan hidup, ruh menjaga dan melestarikan lingkungan hidup menjadi sangat penting.

Dalam kaitan tersebut, setidaknya ada tiga hal yang mau tidak mau menjadi prioritas kerja universitas konservasi sebagai pertanggungjawaban logis. Pertama, mempelopori pengelolaan lingkungan dengan benar. Sebab, sebagai kawasan pendidikan yang terbebas dari kepentingan ekonomi, kampus berpotensi menjadi model pengelolaan lingkungan.
Kedua, universitas konservasi memiliki tantangan mengubah paradigma kebudayaan yang selama ini berkembang. Sebagai pelopor, universitas berkewajiban menanamkan perubahan, baik sikap maupun pemikiran. Dengan begitu, fungsi lembaga ini sebagai pusat perubahan sosial terpenuhi.

Ketiga, persoalan harmoni perlu ditinjau dari beragam aspek untuk menjamin terakomodasinya berbagai kepentingan. Tidak hanya sivitas akademika, perspektif masyarakat juga seharusnya ditampung. Sebab, sebagai lembaga publik, perguruan tinggi menjadi ekoton tempat bertemu berbagai kepentingan masyarakat.

Catatan lain, supaya tagline tidak hilang ruhnya, baik universitas riset, kampus religi maupun universitas konservasi tidak boleh kehilangan landasan filosofisnya. Sebab di sinilah semangat edukatif terjaga. Jangan sampai perguruan tinggi disamakan dengan produk jajanan atau kosmetik yang menjadikan tagline sebagi jurus penglaris semata.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment