Sebuah pertanyaan yang lebih menyerupai syak wasangka saya lemparkan kepada salah seorang pengurus Dewan Kesenian Daerah (DKD) Banjarnegara beberapa waktu lalu. ‘Apa saja sih kerjaan DKD?’ Pertanyaan itu terutara sebagai bentuk protes pada kevakuman lembaga tersebut dari aktivitas seni dewasa ini.
Pengurus DKD itu justru balik bertanya, ‘apa sih yAng bisa dilakukan DKD tanpa dana?’ Jawaban retoris itu sekaligus menjadi penutup pembicaraan karena merasa dikusi telah buntu.
Sebagai lembaga resmi non kedinasan, DKD punya kewajiban moral ngopeni dan nguri-uri kesenian di daerah. Sayangnya, peran itu sering tidak bisa dijalanakan tanpa dana. Sedangkan pejabat daerah yang memiliki kewenangan mengalokasikan APBD pada sektor kesenian enggan memberi anggaran yang memadai.
Pandangan Seni
Kurangnya dana selalu menjadi alasan DKD menanggapi protes atas kenihilan kerja mereka. Sejak beberapa tahun silam DKD Banjarnegara bisa dikatakan tidak pernah bekerja, kecuali dalam perhelatan seremonial.
Parahnya, sikap yang sama ditunjukkan pemangku jabatan. Mereka seperti menganggap seni sebagai barang yang tidak terlalu berharga sehingga tidak perlu mendapat perlakuan istimewa.
Kondisi ini bisa dipahami dari dua sudut pandang berbeda. Pertama, orientasi pembangunan sebuah daerah ternyata hanya dipandang dari kesuksesan ekonomi. Akibatnya birokrasi seperti menjadi sebuah mesin penghasil uang yang hanya punya tugas mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kedua, sangat memprikhatinkan karena para pimpinan daerah tampaknya tidak memiliki wawasan seni yang memadai. Mereka melihat seni dari perspektif manajerial, namun tidak mampu melihat dari perspektif filosofi, budaya, dan sosial. Akibatnya, mereka tidak mampu memahami seni sebagai sebuah ekspresi manusia, melainkan dipandang sebagai aset ekonomi.
Seni dan mindset ekonomi terkadang memang tidak memiliki titik temu. Kesenian berarak mengikuti teriakan jiwa setiap manusia, bersifat sangat personal, dan mengutamakan kebebasan. Sedangkan kegiatan ekonomi semata-mata dilakukan dengan kalkulasi untung-rugi.
Orientasi ekonomi yang kadang keblinger juga tidak lepas dari paradigma pembangunan di Banjarnegara dan daerah lain. Hingga saat ini kemajuan suatu daerah selalu diukur dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan kepemilikan aset, atau pembangunan infrastruktur. Padahal jika pertumbuhan ekonomi tidak mampu menciptakan harmoni justru bisa menimbulkan keresahan.
Belajar dari Solo
Untuk menyatukan semangat pembangunan dan kegiatan seni, Banjarnegara patut belajar dari Solo. Di samping mampu menggenjot pembangunan, kota itu mampu menjaga harmoni beragam aktivitas seni. Kegiatan-kegiatan seni masih berlangsung, bahkan difasilitasi pemerintah dengan melibatkan masyarakat.
Hinga kini Solo masih menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Jawa Tengah. Namun pada saat yang sama kota itu semakin identik dengan laku seni penduduknya. Kegiatan seni banyak dihelat, bukan semata-mata sebagai alat pemkot mempromosikan daerahnya, tapi sekaligus memfasilitasi para seniman berekspresi.
Setahun belakang setidaknya ada empat kegiatan seni besar yang digelar di Solo, yakni Worl Heritage Cities Conference and Expo, Solo Batik Carnival, Solo International Etnic Music (SIEM), dan Solo Performing Art City. Dari penyelenggaraan empat kegiatan tersebut biaya yang diperlukan jelas tidak kecil, namun manfaat yang terpetik masyarakat di sana juga tidak kalah besar. Kini Solo dikenal sebagi kota seni, kota kreatif, sekaligus kota pertunjukkan sehingga berani memasang slogan ‘Solo kreatif, Solo Sejahtera’.
Revitalisasi DKD
Sebagai langkah awal meniru Solo, Banjarnegara bisa mulai dengan merevitalisasi DKD. Badan ini harus mulai memantapkan diri menjadi badan semi otonom yang tidak sepenuhnya bersandar pada Pemkab. Meski secara struktural masih berada di bawah naungan Pemkab, badan ini harus bisa mengambil inisitif lebih besar dalam pembinaan kesenian.
Kesalahan yang dilakukan DKD, dan agaknya akan terus berulang dalam beberapa tahun ke depan, adalah terlalu bergantung pada kebijakan pemerintah. Kesalahan ini akan berakibat fatal karena Pemkab justru nyaris tidak pernah melahirkan regulasi untuk mendukung aktivitas seni. Perlahan DKD harus mulai berani mengambil jarak dengan Pemkab, termasuk mengurangi ketergantungan dana dari APBD dengan menjajaki sumber dana lain.
Komitmen DKD juga harus diikuti komitmen pengurusnya secara perorangan. Artinya, orang-orang yang duduk sebagai pengurus mestinya adalah orang yang memiliki kepedulian besar terhadap kesenian, tidak menjadikannya sebagai jabatan sambilan. Mereka harus mampu memahami seni dari berbagai sudut pandang, baik manajerial, filosofi, budaya, dan sosial. Dengan begitu, setidaknya DKD tidak akan mati hanya karena ditinggal pengurusnya menjalankan kesibukan lain.
Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Friday, 5 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment