Friday, 5 March 2010

Kebaruan dalam Ebeg Anti Korupsi

Harian ini 14 Desember 2009 lalu Kompas memberitakan pentas ebeg di desa Karangjati, Susukan, Banjarnegara oleh dua anak dari Singapura. Anak laki-laki berwajah Melayu dan seorang anak perempuan berwajah oriental dengan cat rambut pirang itu membawa suasana baru. Ebeg yang telah lama distigmakan sebagai kesenian kuno seperti menemukan pembaruan yang telah lama dinantikan.

Munculnya kebaruan dalam pentas tari tradisional adalah keniscayaan supaya bisa beradaptasi dengan selera masyarakat yang dinamis. Stagnasi tari tradisional telah membuat masyarakat mengalami kejenuhan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi tertarik menonton, mengapresiasi, apalagi menanggap ebeg karena menduga penampilan penari akan seperti itu-itu saja.

Tari tradisional dikenal memiliki pakem gerakan yang sengaja dilestarikan untuk menjaga makna semiotisnya. Pada satu sisi upaya tersebut berhasil menjaga orisinalitas yang menunjukkan nilai tari, tidak hanya dari perspektif estetis tetapi makna semiotis. Namun pada sisi lain pakem yang dijaga ketat menciptakan kejenuhan bagi penikmat bahkan penari sendiri. Akibatnya, tari tradisional seperti ebeg atau kuda lumping berkonotasi kuno, tidak modern, katro.

Reaktualisasi
Usaha mendekatkan kembali ebeg dengan penikmatnya tidak hanya bisa dilakukan melalui pembinaan. Pembukaan kegiatan ekstrakurikuler tari tradisional di sekolah atau sanggar hanyalah bentuk perkenalan. Ketika siswa telah mahir menari diperlukan apresiasi yang lebih luas dari masyarakat sebab tari adalah seni ekspresi yang dipentaskan bagi khalayak.

Aktualisasi ebeg dengan masyarakat penikmat perlu dilakukan dengan menjajaki berbagai pola pembaruan, mulai dari kostum, gerakan, ekspresi, musik pengiring, hingga pesan moral. Kelima aspek pementasan tersebut seyogyanya dikemas sesuai selera dan segmentasi penonton.

Ebeg adalah tarian yang menggambarkan latihan perang prajurit Mataram ketika melawan Belanda. Latihan perang yang dilakukan prajurit Kasunanan setiap Sabtu itu kemudian dimodifikasi oleh seniman untuk mengobarkan semangat perlawan rakyat. Tarian yang demikian agresif dan gagah itu dipentaskan untuk membumbungkan optimisme rakyat supaya tetap semangat melawan penjajah.

Saat ini semangat perlawanan tari ebeg kurang mendapat perhatian penonton karena tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat. Justru bagian paling menarik dari pentas ebeg adalah perisitiwa kesurupan (wuru’) yang dialami pemain. Seorang penari tiba-tiba hilang kesadaran dan melakukan beragam tindakan atraktif, seperti makan beling atau bara api, mengupas kelapa dengan mulut, atau bertingkah menyerupai monyet. Akibatnya, pertunjukkan ebeg yang dulu dibalut semangat heorisme kini berubah profan menjadi sekadar hiburan.

Sebenarnya dulu wuru’ digunakan para penari sebagai penyeimbang pertunjukkan supaya tidak membosankan. Supaya para penonton tidak bosan menyaksikan pertunjukkan yang monoton para penari sengaja melakukan gerakan yang atraktif. Namun saat ini penonton justru menjadikan wuru’ sebagai tontonan utama sehingga mengabaikan pesan moral yang ingin penari sampaikan.

Anti korupsi
Minimnya pembaruan dalam pentas ebeg menyebabkan jenis tari ini tersungkur dikalahkan tarian pop modern. Bahkan di beberapa daerah ebeg dicap sebagai ekspresi seni masyarakat pinggiran yang tersengal mengejar kemajuan. Kini pementasan ebeg hanya ditonton oleh kalangan tua yang masih klangenan, sedangkan anak muda memilih jenis kesenian lain.

Stigma kuno yang dilekatkan pada tari ebeg dapat diidentifikasi karena tiga hal. Pertama, sejak dicipta pada masa kekuasaan Mataram dan diwariskan hingga saat ini tari ebeg tidak mengalami perubahan yang bermakna. Kedua, nuansa magis yang dibangun dengan menghadirkan roh saat wuru’ mengesankan lekatnya animisme yang dianut masyarakat Jawa kuno. Ketiga, semangat memerangi penjajah sudah tidak relevan dengan semangat juang saat ini.

Untuk mengaktualisasikan semangat juangnya ebeg perlu digubah kembali dengan mengusung semangat pemberantasan korupsi atau pemberantasan mafia hukum. Di samping mampu menggambarkan semangat kebangsaan, kedua tema tersebut mampu memenuhi keinginan masyarakat terhadap segala sesuatu yang aktual.

Tema pemberantasan korupsi dan mafia hukum misalnya, bisa dibangun melalui simbol semiotis instrumen pentas. Kuda ibarat lembaga hukum yang memiliki tubuh perkasa namun lemah kinerja. Supaya kuda bisa lari kencang penunggangnya harus menghentakan pecut. Begitupun sikap yang mestinya diambil masyarakat menyikapi lemahnya pemberantasan korupsi oleh kepolisian, kejaksaan dan KPK. Supaya langkah mereka trengginas harus selalu diberi masukan dan kritik.

Perang terhadap korupsi ibarat memerangi tokoh Warok dalam pentas ebeg. Warok digambarkan sebagai raksasa buas, tidak memiliki belas kasihan, dan kejam. Untuk mengalahkan Warok, sebagaimana masyarakat mengalahkan korupsi, setiap komponen harus bersatu. Masyarakat yang diibaratkan sebagai penunggang kuda selain berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum juga bekerja sama dengan kelompok masyarakat lain.

Dengan memaknai kembali simbol gerakan ebeg, tari tradisional ini tidak hanya memecah stagnasi tetapi sekaligus membangun komunikasi dengan masyarakat. Sebab, pada awalnya ebeg memang diciptakan tidak hanya digunakan sebagai hiburan melainkan ikhtiar menyatukan hati melawan penjajahan. Penjajah yang saat ini paling mengerikan adalah korupsi.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment