Friday, 5 March 2010

Ebeg Melawan Stigma Kuno

Ketika dua anak, masing-masing dari Singapura dan Malaysia, mementaskan tari ebeg di sanggar Banyubiru, Susukan, Banjarnegara beberapa waktu lalu nuansa kebaruan sangat terasa. Penampilan kedua bocah berwajah oriental dengan rambut bercat pirang itu kontras dengan stigma kuno yang selama ini dilekatkan pada ebeg. Kebaruan tersebut tak pelak mengundang rasa penasaran masyarakat setempat untuk menyaksikannya.

Munculnya hal-hal baru dalam pentas tari tradisional adalah keniscayaan supaya tari bisa beradaptasi dengan selera masyarakat yang dinamis. Stagnasi tari tradisional telah membuat masyarakat mengalami kejenuhan. Mereka tidak tertarik menonton, mengapresiasi, apalagi menanggap tarian karena menduga penampilan penari akan seperti itu-itu saja.

Tari tradisional selama ini dikenal memiliki pakem gerakan yang sengaja dilestarikan untuk menjaga makna semiotisnya. Pada satu sisi usaha tersebut mampu menjaga orisinalitas yang menunjukkan nilai tari, tidak hanya dari perspektif estetis tetapi bermakna secara semiotis. Namun pada sisi lain, pakem yang dijaga ketat juga menciptakan kejenuhan bagi penikmat bahkan penari sendiri. Akibatnya, tari tradisional seperti ebeg atau lengger di Banyumas berkonotasi kuno, kalis dengan selera masyarakat modern.

Reaktualisasi
Usaha mendekatkan kembali ebeg dengan penikmatnya tidak hanya bisa dilakukan melalui pembinaan. Pembukaan kegiatan ekstrakurikuler tari tradisional di sekolah atau pembinaan sanggar hanyalah pintu masuk supaya ebeg dikenal. Ketika siswa telah mahir menari diperlukan apresiasi yang lebih luas dari masyarakat, sebab tari adalah seni ekspresi yang dipentaskan bagi khalayak.

Aktualisasi ebeg dengan masyarakat penikmat perlu dilakukan dengan menjajaki berbagai pola pembaruan, mulai dari kostum, gerakan, ekspresi, musik pengiring, hingga pesan moral. Kelima aspek pementasan ebeg tersebut seyogyanya dikemas sesuai selera dan segementasi penonton.

Ebeg adalah tarian yang menggambarkan latihan perang prajurit Mataram di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubowono I untuk melawan Belanda. Latihan perang yang dilakukan prajurit Kasunanan setiap Sabtu itu kemudian dimodifikasi oleh seniman untuk mengobarkan semangat perlawan rakyat. Tarian yang demikian agresif dan gagah digunakan untuk membumbungkan optimisme rakyat supaya tetap semangat melawan penjajah.

Saat ini aspek historis tarian ebeg kurang mendapat perhatian penonton karena tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat. Justru bagian paling menarik dari pentas ebeg adalah perisitiwa kesurupan (wuru’) yang dialami pemain. Seorang penari tiba-tiba hilang kesadaran dan melakukan beragam tindakan atraktif, mulai makan beling atau bara api, mengupas kelapa dengan mulut, atau bertingkah menyerupai binatang. Akibatnya, pertunjukkan ebeg yang dulu dibalut semangat heorisme kini berubah profan menjadi sekadar hiburan.

Sebenarnya dulu wuru’ digunakan para penari sebagai penyeimbang pertunjukkan supaya tidak membosankan. Supaya para penonton tidak bosan menyaksikan pertunjukkan yang monoton para penari sengaja melakukan gerakan yang atraktif. Namun saat ini penonton justru menjadikan wuru sebagai tontonan utama dan mengabaikan pesan moral yang ingin penari sampaikan.

Ebeg Pemberantasan Korupsi
Minimnya pembaruan dalam pentas ebeg menyebabkan jenis tari ini tersungkur dikalahkan tarian pop modern. Bahkan di beberapa daerah ebeg dicap sebagai ekspresi seni masyarakat pinggiran yang tersengal mengejar kemajuan. Kini pementasan ebeg hanya ditonton oleh kalangan tua yang masih klangenan, sedangkan anak muda memilih untuk menghindarinya.

Stigma kuno yang dilekatkan pada tari ebeg dapat diidentifikasi karena tiga hal. Pertama, sejak dicipta pada masa kekuasaan Mataram dan diwariskan lintas generasi tari ebeg tidak mengalami perubahan yang bermakna. Kedua, nuansa magis yang dibangun dengan menghadirkan roh saat wuru’ mengesankan lekatnya animisme yang dianut masyarakat Jawa kuno. Ketiga, semangat memerangi penjajah sudah tidak relevan dengan semangat juang saat ini.

Untuk mengaktualisasikan semangat juang yang diusung ebeg perlu digubah dengan mengusung semangat pemberantasan korupsi atau pemberantasan mafia hukum. Di samping mampu menggambarkan semangat kebangsaan kedua tema tersebut mampu mewakili selera masyarakat kini.

Tema pemberantasan korupsi dan mafia hukum misalnya, bisa dibangun melalui simbol-simbol semiotis. Kuda bisa menjadi simbol kekuatan masyarakat sipil yang siap melakukan perlawanan terhadap korupsi. Kuda yang telah lama dijadikan simbol keperkasaan sewaktu-waktu bisa memberontak jika merasa terdesak. Begitupun masyarakat, jika tidak tahan didzalimi dan dikecewakan oleh lembaga hukum suatu saat bisa berubah menjadi sangat beringas.

Meski selama ini dianggap sepele, persoalan citra dan stigma yang menyelimuti tari ebeg punya pengaruh besar terhadap eksistensi ragam kesenian ini. Di tengah semarak kebebasan mengakses informasi citra dan stigma bahkan menjadi lebih nyata dari fakta.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment