Friday, 5 March 2010

Memikat Mahasiswa ke Jurusan Pertanian

Persoalan pangan di Indonesia ternyata tidak berkutat pada masalah keseimbangan distribusi dan konsumsi. Lebih jauh dari itu, sector pertanian menghadapi persoalan serius karena dianggap tidak lagi menjanjikan. Bahkan, sebagaimana yang terjadi dalam dua tahun terakhir, minat mahasiswa baru memasuki jurusan pertanian sangat rendah.

Pada SNMPTN 2009 misalnya, sekitar 2.894 kursi Jurusan pertanian di perguruan tinggi kosong karena tidak ada peminat. Padahal secara umum jumlah peserta SNMPTN 2009 meningkat dari tahun sebelumnya. Sedangkan di jurusan lain, seperti ekonomi, pendidikan, dan kedokteran, tingkat persaingan bisa mencapai perbandingan 1: 100.
Berkurangnya peminat ilmu pertanian dikhawatirkan akan membuat Indonesia kekurangan ahli pertanian. Padahal masih banyak pekerjaan rumah yang mendesak harus dirampungkan, seperti keseimbangan ekspor dan impor pangan, intensifikasi, pemuliaan tanaman, hingga teknologi pertanian.

Meski produksi beras nasional dinyatakan surplus, hingga saat ini Indonesia masih mengimpor beras. Begitupun produksi jagung, gandum, kentang, dan garam. Bahkan dua tahun silam, kita yang mengklaim diri sebagai bangsa pencipta tempe, mengalami krisis kedelai karena kekurangan pasokan. Akibatnya ribuan industri kecil yang menggunakan bahan baku kedelai nyaris collaps.

Produksi pangan hanya salah satu dari masalah bidang pertanian yang kompleks. Di samping itu, kita juga lemah dalam penguasaan teknologi dan pemasaran produk. Meski memiliki varian produk pertanian, kita belum cukup siap bersaing dalam pasar bebas. Produk karet misalnya, kita masih kalah saing dengan Malaysia, sedangkan beras masih diungguli Vietnam dan Thailand. Begitupun komoditas pertanian lain, seperti tembakau, kopi, coklat, kelapa sawit,dan kentang. Padahal, awal tahun ini produk pertanian Indonesia juga harus bersaing dengan produk dari China menyusul pemberlakukan FTA antara ASEAN dan China.

Kompleksitas masalah pertanian membutuhkan lebih banyak sumber daya manusia yang handal. Untuk mencapai target produksi misalnya, diperlukan perencanaan yang matang. Jika tidak, target bisa swasembada jagung dalam waktu lima tahun ke depan akan sulit dicapai.

Paradigma keliru

Penurunan minat pada ilmu pertanian di perguruan tinggi memang tidak bisa diidentifikasi oleh subjek tunggal. Namun, fenomena tersebut bisa terjadi karena terbangunnya persepsi yang keliru terhadap ilmu pertanian.
Selama ini masyarakat menganggap pekerjaan di bidang pertanian tidak memiliki bargaining dibanding bidang lain. Masyarakat lebih tertarik bekerja di bidang kesehatan, ekonomi, atau perdagangan umum karena menganggap pertanian hanya bergelut dengan cangkul, sawah, kebun atau traktor yang kotor dan melelahkan.

Stigma seperti ini sebenarnya tidak sesuai dengan karakter pertanian modern yang tengah dikembangkan Indonesia. Ahli pertanian sebenarnya tidak dilahirkan untuk menjadi petani, tapi perencana bidang pertanian. Ahli pertanian sangat diperlukan karena saat ini konsep pertanian Indoenesia tengah bertransisi dari konensional menuju ke arah lebih modern. Karena itulah bidang pertanian menjanjikan kesempatan kerja dan keuntungan yang sangat luas. Lulusan ilmu pertanian bisa menjadi ahli, konsultan, pakar pertanian, bahkan pengusaha di bidang pertanian. Posisi tersebut jelas tak kalah wah dengan pekerjaan dibidang lain.

Kompleks
Pertanian adalah bidang yang sangat kompleks, sehingga mampu menyediakan peluang kerja yang sangat besar. Ini sesuai dengan karakteristik pertanian yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa pertanian adalah bidang yang akan tetap bertahan sepanjang sejarah. Tidak seorangpun di dunia yang tidak mebutuhkan hasil pertanian. Apalagi Indonesia merupakan negara agraris yang basis perekonomiannya ditopang oleh bidang pertanian.

Selain bekerja mandiri sebagai produsen bahan pangan, sarjana pertanian dapat bekerja di bidang lain. Pada instansi pemerintah, misalnya, mereka dapat bekerja di lembaga-lembaga pertanian, baik yang bernaung di bawah departemen pertanian maupun lembaga independen. Lembaga pemerintah seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Karantina tak akan bisa lepas dari peran ahli pertanian. Untuk mendongkrak produksi pangan, pemerintah bahkan berencana menempatkan penyuluh pertanian lapangan (PPL) di setiap desa.

Di sektor swasta, sarjana pertanian dapat bekerja sebagai staf ahli atau konsultan perusahaan agrobisnis. Upaya perusahaan agribisnis mengubah pola tanam konvensional ke arah yang lebih modern memerlukan tenaga ahli yang tidak sedikit. Apalagi karena saat ini perusahaan pertanian dihadapkan dengan keterbatasan lahan, mereka memerlukan pakar sebagai pengawas upaya intensifikasi.

Peluang besar pada bidang pertanian sebenarnya bias menepis fobia menganggur yang banyak dialami mahasiswa. Apalagi tiga tahun belakangan perguruan tinggi getol membekali mahasiswanya dengan keterampilan berwirausaha. Dengan keterampilan yang dimiliki, mereka didorong menjadi pengusaha pertanian, baik di bidang produksi, pengolahan atau perdagangan bahan pangan.

Kecenderungan meninggalkan bidang pertanian sangat memprikhatinkan bila dicermati. Jika penurunan minat belajar bidang pertanian terus menurun, dikahawatirkan Indonesia kekurangan tenaga ahli sehingga berakibat pada kelangkaan pangan. Jika hal ini benar terjadi, bangsa kita hanya akan menjadi objek pasar sekaligus penonton di pentas pasar dunia.

Agar minat belajar di bidang pertanian kembali tumbuh, fakultas pertanian perlu merancang pembelajaran ilmu pertanian kontekstual. Ilmu pertanian harus sesuai dengan karakteristik kebutuhan pangan nasional dan internasional dewasa ini. Misalnya, pengembangan pertanian perkotaan agar dapat memanfaatkan lahan sempit menjadi produktif.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment