Monday, 19 April 2010
Saya Bersaksi Bahwa Tiada Tuhan Selain Angka
Pertimbangan apa yang digunakan pemerintah sehingga berani menandatangani kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (AC-FTA)? Kenyataan semacam apa yang mengatakan Indonesia akan memetik keuntungan dari kesepakatan tersebut? Atau, bujuk rayu apa yang China lancarkan sehingga Indonesia bersikap nggih monggo mawon? Jawabannya, mungkin, adalah angka; kiblat matematis yang mendorong manusia untuk tetap diam atau melakukan sesuatu.
Sidang paripurna DPR yang membahas bail out Bank Century menyajikan kebenaran bahwa kebijakan penyertaan modal sementara (PMS) keliru. Dari mana kebenaran itu datang? Kebenaran datang dari voting yang diselenggarakan pada Rabu (3/3) jelang tengah malam. Pasalnya, dari 517 anggota dewan yang hadir 315 di antaranya menyatakan bail out keliru. 315 lebih besar dari 235 sehingga benar. Mengapa kebenaran begitu mudah dicaplok mayoritas? Angka yang membuatnya begitu.
Awalnya orang percaya bahwa 12+3=15 sebagai kebenaran mutlak. Adakah yang menentangnya? Lama setelah itu orang mulai menganggap bahwa 13+3=18-3 juga sebuah kebenaran. Apakah kebenaran demikian fleksibel bergantung pada keberterimaan logika? Lantas mengapa -2x-2=4? Logiskah? Apakah kebenaran, sebagaimana ketika kata mulai direnda, arbitrer? Semau gue, elu mau apa?
Sejak manusia mengenal jumlah, lantas membuat simbol-simbol berupa angka, kebenaran mulai diarak pada aspek kuantitatif. Angka telah menjadi benda, nilai dan nominal yang dianggap mampu merepresentasikan kondisi apa yang ada. Ia, sebagai benda, meng-ada-kan barang-barang maya. Ia, sebagai nilai, leluasa menjawab kekhawatiran subjektivitas. Dan sebagai nominal, angka menjadi parameter harga; uang, kecantikan, keanggunan, kepribadian, bahkan keshalihan manusia. Tahlil Lailaha ila angka, diam-diam diamini banyak orang. Tidak ada Tuhan selain angka.
Kebenaran pemalas
Dalam situasi kemanusiaan yang chaos angka menjadi awal segalanya. Kebahagiaan, kesedihan, keputusan besar, hingga inspirasi laku kehidupan. Bagi para penganutnya angka adalah causa prima. Angka diterima logika, dan karenanya angka digdaya.
Pada penerimaan raport setiap akhir semester, mengapa sebagian orang tua tersenyum bahagia sementara lainnya mbesengut menenggelamkan pandangan? Angka dalam raport dipercaya orang tua lebih nyata dari anaknya. Orang tua lebih mudah menerima kebenaran bahwa angka 9 adalah cerdas, tidak peduli sekalipun diperolah melalui cara hina; nyontek atau membeli kunci jawaban. Di lain waktu orang tua tidak memberi apresiasi apapun ketika sekali waktu anak bersikap bertanggungjawab; mengaku telah mengambil rambutan tetangga, misalnya. Anak dihukum sebab kejujuran belum pernah di-angka-kan. Rumus kuantitatif bahwa mencuri (minus) kejujuran lebih besar daripada 0 belum ditemukan.
Pada kasus lain, mengapa seseorang mau mentraktir rekan sekantor ketika baru menerima gaji? Kepemilikan seseorang terhadap sejumlah uang membimbingnya berkalkulasi apakah sebuah tindakan perlu dilakukan atau tidak. Mengapa perlu mentraktir teman padahal pada saat yang sama teman-teman menggenggam uang dengan jumlah yang sama atau lebih besar? Tidak alasan apapun kecuali, ‘karena saya punya uang’. Pengetahuan seseorang tentang angka membuatnya berani mengangguk atau menggelengkan kepala.
Data Litbang Kompas mengatakan 63 persen oplahnya terdistribusi di Jabodetabek sementara sisanya tersebar di seluruh Indonesia. Jabodetabek serta merta dikatakan sebagai tambang emas bisnis media. Akhirnya, selain menurunkan headline yang lebih sering berasal dari Jakarta dan kota-kota satelitnya, Kompas membuat 3 halaman Metropolitan yang dipenuhi berita kota. Mengapa langkah itu ditempuh? Angka yang memintanya. Angka 63 persen sama dengan sekian ratus juta rupiah.
Pada ilustasi pertama, mengapa orag tua memberi apresiasi atas pencapaian ‘9’ anaknya? Karena orang tua malas mencari tahu kemampuan apa yang dimiliki anak dan cenderung bersikap pasrah jika diminta mengawasi anak secara intensif. Pada ilustrasi kedua, mengapa mentraktir teman saat memiliki banyak uang dikatakan benar? Karena ia, sebagai pemegang otoritas pengguna uang, terdorong untuk belanja. Ia malas menerka bahwa enam bulan setelahnya ada saudara jauh yang membutuhkan biaya amputasi kaki karena kecelakaan lalu lintas.
Faktualitas Data
Ambisi angka menwakili seluruh kondisi barangkali telah terlaksana. Namun pada saat yang sama, distorsi terjadi di mana-mana. Bahkan akurasi-kiblat faktualitas yang diagungkan angka-perlahan mulai terdistorsi. Pada kasus pembulatan misalnya, sesuatu yang ada dianggap tiada. Angka angkuh melabeli seuatu yang ada sebagai sesuatu tanpa makna.
Kebenaran kuantitatif yang direpresentasikan melalui angka barangkali hanyalah kebenaran konvensional. Kecocokan antara angka dengan kondisi yang diwakili hanya kespekatan. Maka ketika kespekatan, atas sebuah pertimbangan, diubah, beribah pula makna yang ada di dalamnya. Angka kemudian menempati peran baru sesuati kespakatan baru yang telah dibuat.
Mengenai perubahan kepekatan, Indonesia memiliki catatan menarik yang patut direkam. Nominal uang pada orde lama pernah mengalami pemotongan. Uang kertas di atas seratur rupiah, oleh perdana menteri Syafrudin Prawiranegara, digunting nilanya hingga setengah dari nilai yang tertera. Karena yang menetapkan kebijakan adalah pemerintah yang syah, rakyat tidak punya kuasa. Meski angka yang tercantum adalah seribu, nilainya nominal uang hanya lima ratus rupiah.
Bagaimaa jika peristiwa ‘gunting’ semacam ini terjadi kembali, dalam kasus yang berbeda? Misalnya, nilai raport di atas lima hanya diakui separuhnya. Maka nilai enam dianggap tiga sednagkan empat tetap saja empat. Apakah kemudian, demi kesepekatan, tiga harus dianggap lebih besar dari empat?
Kondisi ini merpersentasikan bahwa kebenaran kuantitatif, seberapa pun netral dari kepentingan, tidak pernah bisa menjadi kebenaran sejati. Apalagi, dalam tren penelitian belakangan angka diperolah melalui serangkaian metode. Konskusneisnya, metode yang digunakan mempengaruhi angka yang muncul. Jika kedua metode sudah dianggap tetap namun menghasilkan dua data yang berbeda, mana yang harsu diakui sebagai sesuatu yang benar. Toh, ketetapan mengenai metode mana yang lebih tepat dibanding lainnya juga membentangkan ruang diskusi yang luas.
Ketika fakta diwakili angka, mau tidak mau, kita telah measuki dunia kode. Penerjemhan terhadap kode harus cermat betul karena angka tidak ditentukan bearap besarnya, melainkan kebermaknaan yang melekat di dalamnya. Angka, ketika menjadi nominal sangat berharga, namun ketika menjadi substitusi fakta bisa menjadi sama sekali tidak bermakna. Bukan tidak mungkin, dertan angka haya simulakrum yang refernsinya hilang di belantara.
Karena itulah, tradisi mengngkatkan tidak semstinya menggantikan fakta. Relasi keduanya harus tetap dijaga sebagai petanda dan penanda, sebagai benda dan rujukan, dan sebagai keadaan dan representasi. Kepercayaan berlebih terhadap angka dikhawatirkan menjauhkan manusia pada relitas kehidupan yang dihadapinya. Orang tua lupa pada potensi anaknya, negara lupa pada kelaparan rakyatnya, atau bahkan kita lupa pada peran sosial kita sebagai manusia yang harus bermanfaat bagi lingkungannya.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment