Monday, 19 April 2010

Menimbang Realitas UN Online


Membaca Tulisan Supriadi Rustad berjudul Ujian Nasional Online (Suara Merdeka, 14 April 2010) membuat saya seperti terbawa pada permainan Zathura, sebuah permainan yang menembus batas mungkin-tidak mungkin. Aturan dalam permainan tersebut adalah setiap pemain menanggalkan logika tentang mungkin dan musthil. Zathura menjadi imaji kolektif yang disepakati begitu saja. Begitu pun pelaksanaan Ujian nasioan (UN) online yang digagas Supriadi Rustad; berbagai pakem mungkin dan tidak mungkin diterabas meski harus mengabaikan realitas.

UN online adalah perkara teknis. Dalam pelaksanaannya, UN online mengganti soal dalam bentuk cetak dalam format digital di komputer. Soal-soal dipermutasi sedemikian rupa sehingga siswa yang satu dengan siswa lainnya dipastikan memperoleh soal berbeda. Jawaban menggunakan format digital sehingga bisa dikirim melalui internet dan terkumpul secara nasional di web ujian nasional.

Dari perspektif pembiayaan, UN online jelas sangat menghemat. Biaya cetak soal, lembar jawab komputer (LJK), biaya pengiriman, pengawalan, hingga scaning lembar jawab secara otomatis dapat dihapus. Karena itulah, lanjut Supriadi, biaya yang bisa dihemat sangat besar.

Meski demikian, UN online rasanya belum akan mampu menjawab persoalan UN yang selama ini muncul. Kebocoran soal dan berbagai pola kecurangan yang muncul dipastikan akan tetap muncul sebab masalah yang dihadapi bukan kendala teknis, melainkan kejujuran. Sikap sportif siswa, guru, dan sekolah untuk menghadapi tantangan UN apa adanya belum terbentuk karena berbagai ketakutan yang muncul. Dorongan untuk berbuat curang muncul karena tekanan psikologis yang dihadapi siswa, guru, dan sekolah demikian kuat. Ketakutan dicap sebagai siswa gagal, guru gagal, atau sekolah gagal mengendapkan trauma psikologis yang diam-diam menggerakan mereka menempuh berbagai cara supaya berhasil menjawab soal-soal UN.

Lima Cacat
Ketakutan yang ditumbulkan UN hanya salah satu dari lima cacat yang patut menjadi catatan pemerintah dalam melaksanakan UN selama tujuh tahun terakhir. Di luar itu, UN memiliki cacat ideologis dan teknis yang perlu dibenahi bersama-sama.
Pertama, muncul penolakan terkait urgensi UN itu sendiri. Sebagai alat tes, alat evaluasi pendidikan, UN dianggap sebagian kalangan mestinya dilakukan guru, bukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pelaksanaan UN yang diselenggarakan dengan ketetapan standar kelulusan secara nasional dianggap menafikan peran guru sebagai pendidik.

Kedua, penolakan ujian nasional berkaitan dengan kesiapan pemerintah menyelengarakan UN dengan baik. Keraguan muncul karena persoalan lama seperti kebocoran soal, sistem pengawasan, dan pola-pola kecurangan yang dilakukan siswa dan guru terus muncul. Modernisasi sistem ternyata belum mampu mengatasi mentalitas curang yang mewabah pada sebagian siswa, guru, dan sekolah.

Pembaruan pelaksanaan UN melalui media online dikhawatirkan memicu lahirnya pola-pola kecurangan baru yang lebih canggih. Apalagi dalam dunia digital yang serba mungkin (enable), segala hal bisa terjadi. Kebocoran soal bisa terjadi dalam hitungan detik dan menyebar dalam hitungan waktu yang sangat singkat. Sistem keamanan kelas wahid yang dikembangkan perusahaan TI justru mendorong para hacker berlomba-lomba membobolnya. Terus terang, saya pesimis soal UN online dapat tersimpan dengan baik hingga sampai di tangan siswa.

Ketiga, sebagaimana saya sampaikan pada awal tulisan, kedudukan UN sebagai penentu kelulusan telah menciptakan tekanan psikologis pada siswa, guru, dan sekolah bahkan berkembang menjadi teror. UN tidak dianggap representable untuk menentukan kelulusan siswa karena hanya mampu mengukur aspek kognitif siswa. Padahal mestinya, penentuan kelulusan ditentukan secara komprehensif melalui observasi yang menyeluruh dan berkelanjutan sejak siswa masuk hingga akhir masa studi.

Keempat, secara filososif pelaksanaan UN telah melanggar prinsip-prinsip pedagogis. Sebab, pendidikan sebagai proses belajar manusia yang mestinya berjalan secara rigid telah dibanalkan. Proses belajar sebagai proses pemerolah nilai (value) telah didangkalkan sebagai proses memperoleh nilai (point) sehingga menjauhkan siswa pada prinsip-prinsip belajar yang humanis.

Kelima, soal-soal yang diujikan dalam UN adalah hasil seleksi dengan mengeliminasi bagian tertentu dan mempertahankan bagian lain. Ada berbagai aspek keberhasilan belajar siswa yang luput diukur, seperti akhlak, budi pekerti, moral, dan sikap mental lain. Model multiple choice yang dikembangkan dalam soal UN hanya mampu mengukur pemahaman dan daya ingat siswa. Kemampuan mengapresiasi sastra dalam pelajaran bahasa Indonesia misalnya, tidak dapat diukur karena soal-soal UN tidak memiliki simulasi. Demikian pula kompetensi yang sifatnya demontratif, seperti menulis atau membaca puisi pada pelajaran bahasa Indonesia, atau praktikum pada pelajaran IPA.

Dalam pelaksanan UN online mungkin dapat dikembangkan piranti audio visual yang mengakomodasi kompetensi menyimak, berbicara, atau menulis tetapi akan memerlukan waktu yang sangat lama ketika dikoreksi. Sebab, penilaian terhadap ketiga keterampilan tersebut harus dilakukan secara interpretatif oleh orang yang ahli.

Jaringan
Di tengah tuntutan dunia terhadap sesuatu yang lebih cepat, lebih tepat, dan transparan, UN online mungkin bisa menjadi jawaban. Betapapun kecil kemungkinan menuju tahapan tersebut, tren UN online akan menjadi keniscayaan. Sebab, dua atau tiga tahun lagi barangkali masyarakat mulai jengah dengan persoalan UN yang dari tahun ke tahun berkutat pada hal itu-itu saja. Apalagi jika mengingat UN ternyata belum segnifikan menaikan kualitas sumber daya manusia. Biaya besar yang digelontorkan pemerintah untuk menyelenggarakan UN justru secara tidak langsung membesarkan generasi curang.

Ada dua tantangan besar yang harus dihadapi sebelum UN online ditetapkan menjadi alternatif. Pertama, kesiapan infrastruktur jaringan harus dipersiapkan secara matang. Setiap sekolah harus sudah memiliki jaringan internet yang memadai. Ini mutlak diperlukan sebagai prasyarat pelaksanaan UN, sebab Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang dimiliki Kementerian Pendidikan Nasional ternyata belum mampu menjangkau seluruh sekolah.

Kedua, sumber daya manusia, antara lain siswa, guru, dan administrator di tingkat sekolah dan kabupaten/kota. Penguasaan teknologi menjamin berlangsungnya UN online yang sehat. Melihat realitas saat ini, agaknya diperlukan diklat yang lebih lama supaya guru dan adminstrator benar-benar siap.

Tidak kalah penting, pelaksanaan UN online harus menjadikan siswa sebagai pertimbangan utama. Mungkin dan tidaknya UN online dilaksanakan bergantung kesiapan siswa. Jika UN online justru menciptakan kegagapan atau bahkan tekanan psikologis baru pada siswa artinya UN online cacat secara ideologis. Sebab, UN adalah bagian yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional yang menjadikan siswa sebagai subjek utama.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment