Monday, 19 April 2010

Calon Walikota Nglindur


Pemilihan kepala daerah (Pilkada), kapan pun di mana pun, senantiasa menyajikan pemandangan menarik seputar penggunaan jargon. Demikian pula di Semarang. Jauh hari sebelum gong start kampanye ditabuh, jargon-jargon indah telah mewarnai sudut-sudut kota; di pinggir jalan, gang-gang sempit, juga di antara batang-batang pohon. Namun, apakah kata-kata seperti Siap Ngopeni, Paling Mumpuni, Layani Warga, Benahi Kota, memiliki makna?

Bagi saya, jargon-jargon semacam itu tidak bisa saya pahami. Kata-kata yang bertebaran bersama foto wajah ber-make up itu hanya memiliki makna leksikal, namun tidak memiliki konteks sosial. Sebab, kesan yang saya dapatkan, kata-kata itu tidak lebih sebagai penegas niat seseorang mencalonkan diri menjadi walikota atau wakil walikota namun kalis , jika diaktualisasikan dengan realitas yang dihadapi masyarakat Semarang.

Tanpa Sadar
Kenyataan tersebut menunjukkan calon walikota dan wakil walikota pintar beradu kata. Seperti dua anak yang sedang saling membanggakan kekayaan orang tuanya. “Ayah saya punya sepeda baru,” kata anak itu. “Ayah saya punya sepeda motor baru,” jawab yang lain. Begitu seterusnya, hingga tanpa sadar terucap, “ayah saya punya pesawat baru,” meski kota tempat kedua anak tinggal berjarak ribuan kilometer dari bandara.

Dalam keseharian, ucapan yang terutara tanpa disadari disebut nglindur (mengigau). Kata meluncur bukan menjadi representasi ide, gagasan, atau itikad yang telah diproses dalam pikiran, melainkan hanya suara yang muncul tanpa sengaja. Secara tidak sengaja udara meluncur dari rongga, tanpa sengaja menggetarkan pita suara, dan tanpa sengaja artikulator tergerak. Karena itulah, seseorang yang nglindur tidak pernah mengingat apalagi berniat mempertanggungjawabkan ucapannya.

Penilaian tentang nglindur barangkali muncul dari kerenggangan bombastisitas jargon kampanye dengan penguasaan konsep strategi calon walikota. Meski mengatahui apa yang seharusnya dilakukan untuk membenahi kondisi yang saat ini ada, para calon walikota dan wakil walikota belum memiliki program yang konkret (Kompas, 5/4). Jargon, program, dan kondisi lapangan masih menjadi bagian yang terpisah satu sama lain. Jargon adalah langit yang menawarkan segala bentuk keindahan, sedangkan kenyataan adalah bumi yang sesak dipenuhi berbagai persoalan.

Pada debat calon wakil walikota, pembicaraan tentang ‘sesuatu yang mestinya dilakukan’ masih mendominasi. Visi mereka belum didaratkan pada realitas anggaran, aset, kebutuhan, maupun kondisi masyarakat yang ada. Tidak ada satu pun calon yang dapat meyakinkan publik tentang hal yang akan dan pasti dilakukan.

Keinginan mengungguli lawan dalam kompetisi semacam Pilkada adalah keniscayaan. Sebelum hari pemilihan, mau tidak mau, masing-masing pasangan calon merayu calon pemilih. Namun, jika cara yang digunakan keliru justru akan merendahkan martabat diri sendiri. Gombal bisa dianggap kuno, romantis bisa dianggap sok puitis. Itu pilihan yang selalu membawa risiko.

Dalam konteks kampanye Pilkada, rayuan bersifat opsional dengan memberikan kebebasan kepada calon pemilih. Pasangan calon tidak dalam posisi memohon untuk dipilih, melainkan menawarkan pilihan. Sebagai salah satu pilihan, pasangan calon yang satu memiliki peluang keterpilihan yang sama dengan lainnya. Kemungkinan tersebut hanya bisa diperbesar jika calon bersangkutan beserta tim suksesnya mampu memberikan sugesti-sugesti positif melalui program yang memikat.

Lantas, apakah jargon yang bertebaran di pinggir jalan dan batang-batang pohon sudah cukup memikat? Bagaimana dengan foto ber-make up yang dipastikan telah melampaui proses olah digital itu?

Karena merupakan jargon, tagline kampanye lebih didominasi fantasi. Jargon menggerakan seseorang melalui imajinasi yang indah dan spektakuler. Impian-impian besar, betapapun mustahil untuk diraih, terasa sangat nyata karena muncul bersama angan-angan. Namun hal itu tidak bertahan lama. Ketika tuntutan hidup memaksa seseorang merasionalkan setiap tindakan, dengan sendirinya kekuatan jargon akan hilang. Imajinasi akan menjadi percuma ketika orang mulai sadar setiap impian harus diraih dengan langkah yang realistis.

Membiarkan
Hiperealitas jargon menawarkan pilihan bagi masyarakat. Bagaimana pun kondisinya, KPU telah menetapkan lima pasangan calon. Mau tidak mau, berdasarkan mekanisme yang telah ditetapkan sebelumnya, salah satu pasang akan terpilih dan menjadi pemimpin Kota Semarang. Yang paling perlu dicermati tentu saja, pasangan mana yang tingkat ke-nglindurannya tidak terlalu parah. Atau, janji mana yang paling realistis terwujud sekalipun tidak terlalu memukau?

Ketika menyaksikan orang nglindur, sikap terbaik yang paling mungkin diambil adalah membiarkannya. Nglindur, sebagai ucapan yang terutara tanpa sengaja, tidak perlu dipercaya faktualitasnya. Sebagaimana orang nglindur yang segera lupa ketika terjaga, calon walikota juga akan lupa janji-janjinya.

Surahmat
Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M)
Universitas Negeri Semarang
Bergiat di Komunitas Nawaksara

No comments:

Post a Comment