Monday, 19 April 2010

Belajar Menjadi Pendengar


Selain pembelotan Kurdi Moekri dan Lily Wahid, ada pemandangan menarik lain yang muncul ketika sidang paripurna DPR digelar 2-3 Maret lalu. Sidang dewan ternyata dihujani protes dan interupsi, bahkan seloroh-seloroh khas terminal yang menggelikan. Semua anggota dewan ingin berpendapat, ingin berteriak, ingin interupsi namun tidak menunjukkan itikad untuk mendengar. Karena itulah kericuhan pecah menyajikan reality show yang lebih dramatis dari Termehek-mehek.

Dalam tradisi Jawa, mendengar adalah bagian tidak terpisahkan dari watak kepemimpinan. Pemimpin menerima masukan, kritik dan saran melalui komunikasi yang dibangun secara egaliter. Meski secara struktural pemimpin menempati pos lebih tinggi dibanding rakyat telinganya harus mampu mendengar persoalan di tingkat paling bawah. Sebab suara dari bawah itulah sumber kekuatan yang menggerakan, tidak sekadar menghegemoni.

Dulu, Sri Sultan Hamengkobowono IX harus menyamar menjadi abdi untuk menampung aspirasi rakyat yang dipimpinnya. Ia melepaskan kebesaran sebagai raja untuk membaur dengan rakyat. Ia menjadikan dirinya sebagai bagian dari komunitas tingkat bawah sehingga tidak memandang rakyat sebagai liyan. Dengan cara itulah ia bisa mengetahui persoalan rakyat secara langsung, tidak melalui laporan menteri atau data statistik hasil survei.

Pilihan Sri Sultan untuk membaur dengan rakyat, merasakan sesak pasar, bau keringat tukang panggul, atau peluh petani dilakukan untuk menjadi pendengar yang baik. Ia mencari tahu kondisi, kesulitan hidup, dan keinginan rakyat supaya bisa merumuskan kebijakan secara tepat. Dengan cara seperti itulah tembok imajiner yang menghalangi rakyat dengan pejabat runtuh. Tidak ada ewuh pekewuh dan perasaan kikuk karena protokoler kerajaan.

Menjadi pendengar yang baik ternyata sulit, bahkan melebihi kesulitan menjadi orator. Setiap manusia memiliki keinginan bercerita, membagikan gagasan, pikiran dan beban hidup kepada orang lain namun kadang tidak diiringi kesadaran bahwa orang lain juga memiliki keinginan serupa. Tidak selamanya seseorang berhak berkata ‘begini,’ karena pada satu ketika harus mengatakan ‘o, begitu’.

Ngajeni rakyat
Dalam sejarah kenabian, salah satu sikap paling menonjol Nabi Muhamad SAW adalah kemampuan mengakomodasi keinginan masyarakat kelas bawah. Baik dalam kapasitas sebagai pemimpin negara maupun pemimpin agama ia tidak terjebak pada kesibukan birokratis. Ia tidak melulu bekerja di kantor dengan mengutus staf untuk mengatasi masalah rakyat tetapi turun menjadi pendengar. Karena itulah ia tahu persis ketika ada seorang pengemis buta di sudut pasar kota Madinah yang karena salah paham menganggapnya sebagai pemimpin dzalim. Karena tahu dan merasakan, sebagaimana dikisahkan dalam hadits-hadits Riyadus Shalihin, Nabi bisa segera memberi penjelasan sehingga pengemis segera sadar.

Bagi pemimpin, baik di tingkat lembaga maupun pemerintahan, itikad untuk menjadi pendengar menunjukkan penghargaan pemimpin kepada bawahannya. Ajen ben diajeni. Dengan menjadi pendengar pemimpin menganggap bawahan sebagai bagian penting lembaga. Rakyat tidak dianggap sebagai kawula melainkan mitra.

Kepekaan mendengar inilah yang tampaknya hilang dari wakil-wakil rakyat dan pemimpin negeri ini. Pejabat mendemarkasi diri dalam kelompok kecil yang eksklusif sehingga sulit dijangkau rakyat. Pejabat memilih membuat PO BOX dan SMS pengaduan daripada duduk sila bersama di atas tikar untuk ngudarasa. Anehnya, PO BOX dan SMS pengaduan seperti dirasa cukup menampung aspirasi rakyat sehingga ketika rakyat bertamu ke istana, pada demonstrasi pada 28 Januari lalu misalnya, presiden memilih ngacir untuk meresmikan PLTU di Banten meski tugas itu sebenarnya bisa diwakilkan.
Bayangkan betapa sedih perasaan kita ketika hendak bertamu justru ditinggal pergu tuan rumah. Meninggalkan tamu bukan hanya menunjukkan sikap tidak santun, tetapi congkak. Apalagi jika yang bertamu adalah rakyat.

Rembukan

Keriuhan politik akibat hak angket Bank Century membentangkan fakta betapa rendah kemampuan mendengar pemimpin dan wakil rakyat kita. Semua orang ingin berpendapat, ingin mencecar dan menghujat namun ogah mendengar. Karena itulah, meski kegaduhan hak angket Bank Century terdengar hingga ke pelosok negeri, kepentingan rakyat belum menjadi prioritas. Isu yang muncul justru pemakzulan, isu yang hanya mengakomodasi kepeningan elit politik, bukan keputusan teknis bagaimana mengembalikan uang nasabah yang hilang.

Dalam tradisi Jawa, seruan untuk menjadi pendengar telah disampaikan melalui rembukan. Berbeda dengan audiensi, seminar, atau meeting, rembukan lahir dari semangat egaliter dalam memecahkan masalah. Pemimpin tidak menempatkan diri sebagai pejabat atau penguasa tetapi fasilitator. Rakyat tidak dianggap sebagi kawula tetapi peserta yang disatukan secara moral dan emosional.

Amat disayangkan belakangan rembukan jarang ditempuh sebagai jalan memetakan solusi. Kabar tentang pejabat yang nyamar jadi petani atau tukang becak tidak lagi terdengar. Berita tentang bupati atau walikota yang mengundang pedagang kaki lima banca’an di alun-alun juga tidak ada. Dalam beberapa tahun ke depan justru tren menyediakan SMS pengaduan yang tampaknya akan berkembang. Ekspresi suka cita, sendau gurau atau tangis getir rakyat dianggap bisa diwakili teks digital yang jika dikirim hanya dijawab mesin penjawab otomatis.

Surahmat
Pemimpin Umum BP2M Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment