Membahas ujian nasional (UN) saat ini tidak bisa lepas dari pembahasan tentang kondisi sosial, politik, ekonomi, bahkan hukum di negara ini. Sebab, anualitas ujian nasional telah memasuki berbagai aspek kehidupan. Ia hadir mewakili sengkarut persoalan bangsa yang kompleks sekaligus merepresentasikan tingkat kapabelitas pengelola negara yang rendah.
Sebagai alat evaluasi, UN mestinya menjadi prosesi pendidikan yang sah dan wajar. UN diselenggarakan sebagai bagian dari desain besar evaluasi pendidikan nasional. Nilai-nilai yang lahir dari proses tersebut menjadi ‘peta’ penunjuk bagi pemerintah melahirkan kebijakan pendidikan baru. Namun nyatanya, ujian nasional telah menjadi pertaruhan harga diri bagi siswa, orang tua, sekolah, dan pimpinan daerah. Atas nama prestise berbagai kecurangan pun muncul.
Empat Cacat
Setidaknya ada empat cacat yang harus menjadi catatan pemerintah dalam pelaksanaan ujian nasional sejak 2003 lalu. Pertama, muncul penolakan terkait urgensi UN itu sendiri. Sebagai alat tes, alat evaluasi pendidikan, UN dianggap sebagian kalangan mestinya dilakukan guru, bukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Pelaksanaan UN yang diselenggarakan dengan ketetapan standar kelulusan dianggap menafikan peran guru sebagai pendidik.
Kedua, penolakan ujian nasional berkaitan dengan kesiapan pemerintah menyelengarakan UN dengan baik. Keraguan muncul karena persoalan lama seperti kebocoran soal, sistem pengawasan, pola-pola kecurangan yang dilakukan siswa dan guru terus muncul. Modernisasi sistem ternyata belum mampu mengatasi mentalitas curang yang mewabah pada siswa, guru, dan sekolah.
Ketiga, kedudukan UN sebagai penentu kelulusan telah menciptakan tekanan psikologis pada siswa, bahkan berkembang menjadi teror. UN tidak dianggap representable untuk menentukan kelulusan siswa karena hanya mampu mengukur aspek kognitif siswa. Padahal mestinya, penentuan kelulusan ditentukan secara komprehensif melalui observasi yang menyeluruh dan berkelanjutan sejak siswa masuk hingga akhir masa studi.
Keempat, secara filososif pelaksanaan UN telah melanggar prinsip-prinsip pedagogis. Sebab, pendidikan sebagai proses belajar manusia yang mestinya berjalan secara rigid telah dibanalkan. Proses belajar sebagai proses pemerolah nilai (value) telah didangkalkan sebagai proses memperoleh nilai (point) sehingga menjauhkan siswa pada prinsip-prinsip belajar yang humanis.
Kelima, soal-soal yang diujikan dalam UN adalah hasil seleksi dengan mengeliminasi bagian tertentu dan mempertahankan bagian lain. Ada berbagai aspek keberhasilan belajar siswa yang luput diukur, seperti akhlak, budi pekerti, moral, dan sikap mental lain. Model multiple choice yang dikembangkan dalam soal UN hanya mampu mengukur pemahaman dan daya ingat siswa. Kemampuan mengapresiasi sastra dalam pelajaran bahasa Indonesia misalnya, tidak dapat diukur karena soal-soal UN tidak memiliki simulasi. Demikian pula kompetensi menyimak, berbicara, dan menulis, juga belum diakomodasi dalam UN.
Ujian Komprehensif
Karena itulah, perlu digagas sebuah tes yang mampu mengukur kemampuan siswa secara komprehensif. Sistem tes ini tidak hanya mengukur aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, tetapi juga mentalitas dan sikap (atitude) siswa. Sebab, seluruh elemen tersebut adalah bagian tidak terpisahkan dalam membangun pribadi siswa. Masing-masing elemen saling melengkapi sehingga siswa dapat dikatakan berhasil menempuh proses pendidikan.
Ujian komprehseif dilakukan oleh masing-masing guru di sekolah. Setiap guru melakukan pengamatan terhadap siswanya sejak siswa terdaftar secara resmi. Hasil pengamatan terkait berbagai aspek tersebut dilaporkan kepada BSNP dalam database yang dikelola secara online. Pada akhir masa belajar hasil pengamatan dan penilaian yang dilakukan selama tiga tahun kemudian diakumulasikan untuk mengukur kesuksesan belajar.
Penilaian komprehensip online sangat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang dimiliki Kementerian Pendidikan Nasional. Sebab saat ini setiap sekolah, setidaknya SMA, telah terkoneksi dengan internet sehingga dapat melaporkan aktivitas siswa pada web. Kemampuan guru melakukan berbagai aktivitas berkaitan dengan teknologi informasi juga telah dirasa memadai. Jika database siswa yang dilaporkan dalam web BSNP dapat ditampilkan dan diakses publik, orang tua dapat melakukan kontrol terhadap aktivitas akademik putra-putrinya.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Dari Halaman Opini Mahasiswa Wawasan, 20 April 2010
Thursday, 22 April 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment