Sunday, 25 April 2010

Menyajikan Narasi Kedua, Merebut Hati Pembaca

Tikar rami berukuran 2 x 2,5 meter yang digelar di kantor BP2M terpakai penuh pada Rabu (22/4) dini hari. Muqsith Ary, Khusni, Zaki, Syarif, Triyas, Ato, dan saya tidur berebut alas tak tentu arah. Syarif menggunakan punggung Khusni yang terlelap terlebih dahulu sebagai bantal membentuk sudut 90 derajat. Ia menjulurkan kaki jenjangnya searah televisi. Zaki meringkuk kedinginan menjepitkan kedua tangannya pada pangkal paha.

Aktivitas seperti itu seperti kebiasaan yang tidak terelakan ketika kami diharuskan bermalam di kantor BP2M setiap Selasa malam. Deadline terbit Kamis pagi sering memaksa kami terjaga semalaman. Syarif AHA yang biasa kami sapa Korea duduk berjam-jam di depan komputer. Matanya kadang terlihat semakin sipit karena lama menahan kantuk. Semntara Rizki yang sering tidak kuasa menahan kantuknya, tidur menyandarkan kepalanya di meja kompter. Kedua lengannya ditumpuk menjadi bantal.

Sesekali, ketika bangun dan merasakan sekujur tubuh pegal-pegal, saya bertanya; untuk apa saya dan teman-teman perlu melakukan ini? Selasa malam mestinya kami bisa tidur di kasur yang empuk di kamar kos. Kami bisa menghabiskan malam sambil menyaksikan Bioskop TransTV atau menamatkan Si Anak Kampoeng karya Damien Demitra yang tiga hari lalu saya beli di Gramedia. Tapi mengapa kami memilih tidur di UKM berebut alas dan sesekali melepas gorden untuk selimut jika kedinginan?

Ah, Express
Pekerjaan menerbitkan Express memang terlihat sepele. Namun menyadari bahwa Express adalah sebuah ‘media’, redaksi dipaksa bertanggungjawab penuh. Tugas redaksi tidak sekadar mengumpulkan informas-informasi yang berserak tetapi juga merancang desain besar agar informasi yang tersaji mampu mencerahkan pembaca. Sebagai media yang lahir dari kegelisahan, Express sedikit demi sedikit harus menjawab kegelisahan.

Buletin express lahir dari kejumudan para pendirinya. Kegelisahan terhadap informasi sepihak, yang terejawantah dalm klaim-klaim subjektif. Narasi tunggal perlu ditndingi dengan narasi kedua sebagai penyeimbang atau (setidaknya) alterantif. Sebab, klaim pada saatnya bisa diterima, pada saat yang lain harus dibantah habis-habisan. Informasi sepihak harus ditandingi dengan narasi alternatif yang digubah dengan semangat mencerahkan, bukan jargon-jargon kosong.

Sebagai media kampus yang lahir dari rahim mahasiswa, Express sebenarnya memiliki satu modal yang sangat penting. Ia memiliki semangat intelektual mahasiswa. Meski media ini tidak dimaksudkan untuk mengukuhkan siapapun, Express memiliki kedekatan psikologis yang tidak terbantah dengan mahasiswa. Trust mahasiswa akan lebih mudah diperoleh Express.

Bagaimana dengan persoalan subjektivitas media ini terhadap mahasiswa? Barangkali akan sangat sulit ditampik. Namun, subjektrivitas hatrus didudukan pada nilai bukan person (orang per orang). Pembelaan Express terhadap mahasiswa adalah pembelaan terhadap kaum, bukan pembelaan terhadap orang per orang. Mahasiswa harus dimengerti seabagi integrasi raga, pemikiran, dan peran sosial. Pembelaan yang Express lakukan harus didasarkan pada nilai-nilai, bukan lembaga.

Melihat kondisi ini, tantangan terbesar bagi Express adalah mengidentifikasi nilai-nilai kemahasiswaan saat ini. Mahasiswa adalah representasi dari semangat intelektual muda. Mahasiswa adalah sinonim dari kekuatan pendobrak yang tidak ada matinya. Mahasiswa adalah petanda bagi kekuatan massal yang gerakannya senantaisa dilandasi hati nurani, bukan motof politik apalagi ekonomi. Nilai-nilai inilah yang sesegera mungkin perlu diadopsi Express melalui tulsian dan rubrikasinya.

Dua Prasyarat
Nilai-nilai di atas sepertinya sangat absurd dan sulit diterapkan dalam kerja redaksi. Karenanya, ada dua prasarat yang harus dipenuhi redaksi supaya tugas-tugas redaksi tidak hanya dilalui sebagai ‘pekerjaan mingguan’ melaikan kerja mulia mencerahkan pembaca.

Pertama, sebagai pekerja intelektual awak Express (harus) memiliki bekal pengetahuan yang memadai. Tidak sekadar pengetahuan-pengetahuan di kampus tetapi juga pengetahuan-pengetahuan umum yang mendasar. Ia harus mampu mempertimbangkan mengapa sesuatu harus dilakukan dan mengapa sesuatu perlu dilakukan. Karenanya, landasan ideologis menajdi hal yang mutlak dimiliki.

Pengetahuan tidak hanya diperlukan ketika redaksi mengalamai kendala-kendala teknis, tetapi sebagai pertanggungjawaban kepada pembaca. Sungguh, saya tidak bisa bayangkan bagaimana seorang reporter, redaktur, atau pemimpin redaksi Express menghadapi komplain pembaca jika ia tidak memiliki penjelasan logis atas berita yang diturunkannya. Saya yakin trust pembaca akan segera hilang jika mereka tahu bahwa media yang mereka baca ditulis oleh orang-orang ‘lemah’.

Prasyarat kedua, awak Express harus mampu membebaskan diri dari berbagai kepentingan selain kepentingan untuk membawa kebaikan bagi pembaca. Motif-motif pribadi dan kelompok adalah sesuatu yang haram, bahkan untuk dipikirkan.

Menyenangkan

Tuntutan di atas agaklnya akan sulit dipenuhi. Apalagi masih saja ada anggapan ‘pers mahasiswa kan hanya ajang latihan’ yang berpotensi meruntuhkan legitimasi dan trust Express. Supaya tuntutan itu tidak menajdi tumpukan tugas yang menyikas saya memilih menajdikan Express sebagai media bersenang-senang. Express seperti kolam renang yang luas dan berisi air segar. Di sana saya bisa melompat, melayang-layang, atau menjajal berbagai gerakan. Karena Express adalah kolam berisi air saya tidak perlu khawatir patah tulang ketika mendarat dengan berbagi gaya.

Aktivitas sebagai pegiat persma menurut saya tidak harus sealu digerakan oleh ilusi masa depan. Adakalanya pegiat persma berpikir praktis bahwa media yang ia kelola adalh wadah yang luar biasa untuk mengekspresikan ide, gagasa, dan pikiran-pikaran kreatifnya. Melalui Express ‘mari’ kita mengada.

No comments:

Post a Comment