Sunday, 25 April 2010

MULTIKULTURALISME SEMU PERGURUAN TINGGI

Kerusuhan antarmahasiswa kembali terjadi di berbagai daerah. Tidak hanya di Makasar, aksi mahasiswa yang berakhir ricuh belakangan juga terjadi di Jakarta, Surabaya, Bandung, bahkan Yogyakarta. Kerusuhan tidak terjadi akibat benturan pemikiran antara mahasiswa dengan pemilik kewenangan. Banyak kerusuhan justru terjadi karena perbedaan pemikiran atau sikap antarmahasiswa sendiri.

Ekspresi kekerasan nyatanya telah muncul menjadi mengukuhkan eksistensi diri dan kelompok. Di beberapa perguruan tinggi keberagaman sikap, pemikiran, dan latar belakang budaya disikapi dengan pandangan sempit. Multikulturalisme yang terbangun selama ini masih semu karena belum dilandasi kesadaran, melainkan tuntutan-tuntutan formal yang rapuh.

Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik yang besar; korban luka, korban meninggal, atau kerusakan infrastruktur. Perlahan tapi pasti gerakan mahasiswa distigmakan sebagai gerakan tanpa arah. Citra intelektual mahasiswa yang bersih dari berbagai kepentingan terhapus oleh citra brutal dan sakarepe dhewe.

Kondisi ini sangat memperikhatinkan sebab kampus telah gagal membangun iklim berpikir multikultural. Pembauran mahasiswa dari latar belakang budaya di kampus ternyata menyisakan sekat-sekat imajiner antarkelompok. Perlahan muncul sentimen kedaerahan, kekelompokan, dan kepercayaan yang siap pecah menimbulkan konflik. Karena itulah kesadaran multikultural di perguruan tinggi harus dibangun kembali. Kampus harus menjadi miniatur kerukunan yang bisa dijadikan model bagi masyarakat luas.

Tantangan Keragaman

Potensi kampus menjadi model kerukunan sebenarnya sangat besar. Lembaga perguruan tinggi diamanahkan untuk menampung mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya. Idealnya perguruan tinggi juga tidak memiliki kecondongan terhadap kekuatan politik mana pun. Karena itulah dosen dan mahasiswa bebas beraktivitas sesuai latar belakang budaya dan keyakinan yang dianutnya. Di perguruan tinggi simbol-simbol kelompok lesap diganti semangat akademis yang plural.

Tumbuhnya gerakan-gerakan kelompok di kampus bisa jadi merupakan kegagalan universitas dalam membina pluralitas. Kebebasan berkelompok masih diiringi ambisi membesarkan diri dan kelompok dengan mengerdilkan kelompok lain. Tentu saja ini berbeda dengan karakter akademis yang dimiliki perguruan tinggi. Tidak hanya plural, kampus harus menunjukkan netralitasnya terhadap berbagai kepentingan kelompok.

Kesadaran multikultural di kampus adalah kensicayaan bagi bangsa besar yang dihuni oleh masyarakat dengan beragam latar belakang budaya seperti Indonesia. Hal ini terkait dengan fungsi pendidikan sebagai pencerahan (conciusness). Proses belajar di kampus sebagai peristiwa psikologis harus mampu mengendapkan kesadaran multikultral sehingga terepresentasi dalam sikap saling menghargai. Keragaman budaya harus dipandang sebagai fitrah, bukan sekat.

Hilda Hernandez dalam Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Proses, and Content mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik sosial, dan ekonomi yang dialami individu sebagai fitrah. Pendidikan menawarkan cara pandang bahwa perbedaan adalah realitas. Perbedaan antarkelompok dan antarindividu telah ada sejak manusia ada dan akan terus ada.

Tawaran Model
Perguruan tinggi dihadapkan pada dua tantangan besar terkait keberagaman yang dimilikinya. Pertama, menciptakan kebijakan plural yang mampu mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok. Aturan-aturan kampus harus benar-benar bersih dari sentimen kelompok. Kebenaran-kebenaran mayoritas yang sering muncul dari voting atas nama demokrasi perlu didudukan secara objektif.

Kedua, struktur organisasi kampus di tingkat universitas dan mahasiswa tidak didikotomikan sebagai kelompok-kelompok yang saling berseberangan. Organisasi intrakampus dan ekstrakampus misalnya, perlu dicarikan istilah lain yang ‘menyejajarkan’, bukan mendikotomikan. Relasi antarlembaga mahasiswa bukan relasi vertikal melainkan relasi yang setara (horizontal).

Bagi perguruan tinggi kedua tantangan tersebut dapat dijawab dengan melebur struktur organisasi berbasis kelompok, baik kedaerahan, ras, maupun keyakinan. Kelompok-kelompok mahasiswa dibentuk melalui pendekatan objektif akademis. Lembaga kemahasiswaan maupun unit kegiatan mahasiswa juga harus lepas dari pengaruh partai politik atau gerakan politik tertentu. Jalinan politik yang selama ini, diakui atau tidak, telah ada harus segera diputus.

Multikulturalisme adalah capaian demokrasi. Karenanya, meningkatnya hak-hak individual perlu dibarengi dengan kesadaran menghormati hak orang lain. Tentu saja, bagi perguruan tinggi ruang praktik pertama adalah kelas tempat guru dan mahasiswa berinteraksi secara intens. Kelas yang dikelola dengan kesadaran multikultural perlahan tapi pasti akan menumbuhkan pemikiran kritis dan bertanggung jawab. Dosen menempatkan diri sebagai fasilitator belajar, bukan pengajar serba tahu, sedangkan mahasiswa menempati pos sebagai pembelajar, bukan mangkuk kosong.

Di tengah memanasnya sentimen politik kekelompokan di masyarakat perguruan tinggi mestinya bisa menjadi model kerukunan. Keragaman agama, ras, suku, agama dan aliran berpikir perlu dikelola dalam iklim kreatif yang egaliter. Kompetisi yang dibangun bukan berdasarkan sentimen kelompok melainkan semangat akademis yang terbuka dan saling menghargai.

Surahmat
Pemimpin Umum Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes

No comments:

Post a Comment