Saturday 22 January 2011

TAFSIR MANUSIA BERKUALITAS

Mendadak saya cemas menyadari bahwa barang-barang yang selama ini saya gunakan hampir seluruhnya hanya barang murah. Rata-rata baju yang saya kenakan seharga 20-40 ribu. Ada bahkan, jaket rompi yang saya beli 15 ribu per tiga potong dari pasar pagi di Simpang Lima.

Sepatu yang kerap saya kenakan saya peroleh dengan harga Rp 35 ribu setelah berdebat agak lama dengan penjualnys. Jeans yang saya anggap paling bagus, dan menjadi celana kesukaan, pun seharga Rp 55 ribu. Bahkan laptop yang saya gunakan untuk mengetik tulisan ini hanya Rp, 3,6 juta, jauh di bawah rata-rata harga laptop yang rekan-rekan saya gunakan, 4-7 juta, atau wakil saya di Senayan yang Rp 21 juta. Saya cemas, apakah dengan begitu saya telah mendzalimi diri dengan menjadi manusia murah (murahan?) juga?

Kecemasan ini perlu saya urai karena berkaitan dengan sesuatu yang sangat substansial. Kualitas manusia. Saya tergelitik untuk tanya sebab kerap mendapati kelompok masyarakat yang menilai kualitas seseorang dari barang yang digunakan dan manusia lain yang mengelilinginya. Barangkalai anda akan membantah pernyataan itu, tapi persepsi khalayak yang saya rasakan memang demikian.

Persepsi adalah perbincangan tanpa muara. Bukannya menemukan jawaban tunggal, perdebatan tentang persepsi justru kerap berujung pada kebuntuan. Persepsi berkaitan dengan hal-hal subjektif yang sulit dijelaskan. Ada terlalu banyak komponen yang mempengaruhi persepsi sehingga akan merepotkan jika harus diurai satu per satu.

Sebagaimana selera, persepsi dibentuk oleh pengalaman dan imajinasi tentang kondisi ideal sesuatu. Persepsi adalah otoritas individu yang muncul menanggapi sebuah kondisi. Namun jika persepsi dalam satu kelompok sama, persepsi bisa menjadi konsensus.

Bagaimana persepsi masyarakat kita terhadap kondisi ideal manusia berkualitas? Jawabnan pertanyaan itu tidak akan pernah bisa akurat, namun dapat dipetakan dengan menelusuri jarak yang terhampar antara kondisi dan imajinasi manusia. Sebab, ada imajinasi kolektif yang telah disepakati sehingga menjadi nilai bersama.

Sejauh yang saya dapati di berbagai komunitas, indikator manusia berkualitas berkaitan dengan fisik, kemapanan ekonomi, derajat keilmuan, dan relasi sosial. Keempat faktor itu tentu hanya sebagian, namun saya nilai sebagai faktor dominan.

Pertama, dari perspektif fisik, hampir setiap manusia mengidamkan bentuk fisiologis yang menawan; tinggi, besar, dan tegap bagi laki-laki atau tinggi, “padat”, dan “berisi” bagi perempuan. Jika diurai lebih dalam; kulit bersih, hidung mancung, mata bersinar, rambut berkilau, dan lain-lain. Ada bahkan, perempuan yang mengidamkan mata Spears, payudara Kardashian, atau rambut Monreo. Maka tidak heran jika sebagian orang menginginkan kondisi demikian ada pada dirinya atau pasangannya.

Kemapanan ekonomi juga hal yang menonjol untuk menilai kualitas manusia saat ini. Bukan hanya karena hampir seluruh aktivitas manusa modern digerakan dengan uang, tetapi juga karena ingatan kolektif bahwa uang bisa menjadi jalan beroleh kesenangan. Makan enak perlu uang, pakaian nyaman perlu uang, ajojing juga perlu uang. Tidak aneh jika setiap orang bermimpi menjadi kaya. Manusia terus berinovasi, mendorong dirinya pada kecepatan otpimal supaya bisa menghasilkan sebanyak mungkin barang dan jasa yang bisa ditukarkan dengan uang. Supir ngebut untuk kejar setoran, karyawan lembur supaya dapat uang tambahan, guru wiyata bakti demo juga karena uang. Kaya menjadi mimpi bersama.

Pengalaman bahwa kemapaan ekonomi umumnya diperoleh manusia cerdik, kemudian membuat manusia juga menginginkan dirinya cerdas. Cerdas, dalam arti memiliki derajat keilmuan tinggi, dapat didefinsikan sebagai kondisi banyak tahu, banyak mengerti, banyak memahami, dan karenanya bisa melakukan banyak hal. Dalam piramida kasta masyarakat kita, manusia yang memiliki derajat keilmuan tinggi hampir selalu menduduki peringkat atas. Kyai, ulama, sarjana, doktor, profesor dan gelar keilmuan lain menjadi tangga yang efektif untuk mencapai puncak kasta. Pada kasus Tan Malaka dan Soe Hok Gie barangkali pengecualian.

Relasi sosial, yang sering orang sebut sebagai jaringan, juga faktor yang lazim untuk menilai kualitas seseorang. Jaringan yang luas, terlebih dengan kalangan elit, hanya bisa dibangun oleh manusia berkualitas. Lihat saja, orang yang kaya biasanya punya jaringan lintas kasta. Pengusaha contohnya, selain berteman dengan sesama pengusaha biasanya berteman pula dengan pejabat. Pengacara kondang macam OC Kaligis bepertner dengan Ariel. Adnan Buyung Nasution bahkan menjadi “rekan” Gayus HP Tambunan. Mereka dipertemukan oleh kepentingan.

Meski demikian, tentu banyak pula orang “biasa” yang juga punya jaringan luas. Seniman dikenal seatnero negeri meski tidak pernah bepergian. Penyair menghegemoni pemikiran ribuan pembaca karyanya. Itu sedikit contoh.

Migunani
Persepsi kolektif tentang ciri-ciri manusia berkualitas seperti di atas adalah bangunan yang dibentuk oleh kesepakatan. Kebenaran yang diyakini tidak bersifat universal. Bahkan, karena nilai-nilai ini dibentuk oleh sebuah konsensus, seseorang bisa menolaknya. Itu artinya ia menjadi oposan dengan membuat standar penilain sendiri. Kerja reflektif atas perilakunya dilakukan dengan membenturkan kondisi yang dialami dengan kondisi ideal yang diimajinasikan sendiri olehnya. Manasuka.

Karena itu, saya memilih sikap untuk tidak menerima konsensus di atas. Ada beberapa yang saya setujui, namun lainnya musti ditentang. Pertama, soal fisik, saya sependapat bahwa yang tinggi, besar, dan tegap itu baik. Namun karena saya tidak tumbuh dalam kondisi demikian saya memilih untuk tidak menyesali apalagi meratapi keadaan. Toh, dengan kondisi yang ada saat ini saya merasa tidak terlalu buruk. Jadi, saya tidak akan menggerutu. Saya bersyukur meski hingga usia 22 tahun baru tumbuh 165 centimeter.

Ada sebuah nilai yang saya pikir lebih substansial untuk mengukur kualitas (manusia) Indonesia. Migunani tumraping liyan. Ya, pribadi paling berkualitas adalah pribadi yang memberi manfaat bagi orang lain. Konsep ini, selain diakui oleh mayoritas manusia Indonesia, juga ditegaskan oleh agama. Karena itu, mendaratkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari menurut saya adalah juga laku spiritual. Sangat mungkin bernilai ibadah.

Soal barang-barang murahan yang saya gunakan, sesungguhnya itu penilaian yang kondisional. Barang-barang ini mungkin murahan jika dibandingkan rekan-rekan saya yang berasal dari keluarga mampu. Tapi, jika dibandingkan dengan rekan-rekan saya sesama tukang ngarit, tentu penilaiannya lain. Barang yang saya miliki bahkan bisa dicap mewah. Sebab, rekan-rekan saya itu banyak yang mengenakan pakaian bolong dalam keseharian. Mereka toh tetap nyaman dan percaya diri.

Justru, hemat saya, saya akan menjadi sangat hina jika memaksakan diri membeli barng-barang yang tidak dapat saya jangkau. Ya, hina karena telah menyediakan diri menjadi hamba industri. Hina karena takluk oleh iklan. Hina karena tidak mampu membangun identitas personal. Juga, hina karena menzalimi diri dengan mengikuti tren.

Sungguh, seandainya bisa saya lebih senang berperilaku apa adanya, tidak menyerupai siapapun. Kalaupun saya ingin meniru, saya ingin meniru siapapun yang mampu mendedikasikan diri untuk khalayak. seperti dokter yang mengobati pasiennya, guru yang menginspirasi siswanya, atau penulis yang menginspirasi pembaca. Amin.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

1 comment: