Wednesday 26 September 2012

Keren! Di Ambarawa CoP Hanya 0,17



JAJARAN PLN UPJ Ambarawa boleh tersenyum bangga jika bicara capaian Colecting Periode (CoP). Pasalnya, UPJ yang kini dipimpin manajer UPJ Ninik Kun Maryati itu berhasil menekan CoP hingga menjadi yang terendah se-Indonesia, yakni 0,17 pada September 2011. 

Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding standar World Class Services (CWS) versi KEPCO yakni 5, juga di bawah capaian rata-rata APJ Salatiga yang kini berada pada angka 0,36
.

Ninik, yang menjabat MUPJ Ambarawa sejak medio 2009 menuturkan, rahasia pencapaian itu terletak pada sosialisasi yang baik pada pelanggan. Sejak awal pihaknya mendorong jajaran untuk terjun menjalin komunikasi dengan para pelanggan, salah satunya dengan membentuk tim FOCUS (For Costumer Service). Secara terjadwal tim ini mengunjungi pelanggan, menyosialisasikan tenggat pembayaran tagihan, informasi pasang baru, migrasi, dan baru-baru ini penggantian meteran lama.

Hingga September 2011 UPJ Ambarawa melayani tidak kurang dari 35.309 pelanggan yang tersebar di Kecamatan Ambarawa, Bawen, Banyubiru, Sumowono, dan Jambu. Dilihat dari kategori tarifnya, sebagian besar pelanggan adalah rumah tangga. Namun, pelanggan kategori B (bisnis) juga cukup banyak terutama di kawasan wisata Bandungan. Sementara itu, hanya satu pelanggan kategori industri.

“Melayani pelanggan kategori R itu susah-susah gampang. Susah karena karakternya beragam, tapi mudah karena sebagian besar warga dapat diajak komunikasi,” kata wanita kelahiran Pati 21 Agustus 1964 ini. Menurutnya, karena sebagian besar pelanggannya adalah warga desa, pendekatan intensif mutlak diperlukan. Selain memberi pehamaman, juga menjalin kerekatan emosional antara pelanggan dengan perusahaan.

Dalam hal sosialisasi, Ninik sendiri termasuk orang yang tidak mau diam. Ia merintis hubungan dengan warga dan tokoh masyarakat dengan mempersering kunjungan. Selain kepada para kepala desa, ia gemar berkunjung ke masjid-masjid untuk bersosialisasi. Karena di Ambarawa dan Sumowono jumlah gereja juga cukup banyak, ia tak luput mengunjunginya. Berkat itu, ia jadi tahu bahwa keengganan masyarakat membayar tagihan tepat waktu adalah karena jaraknya terlalu jauh.

Sebagai gambaran, Ambarawa, Jambu, dan Sumowono adalalah segitiga yang terbentang di atas perbuktian. Ambarawa berbatasan dengan Salatiga di selatan, Sumowono berbatasan dengan Temanggung di sebelah barat, dan Jambu berbatas degan Temanggung di Selatan.  Jarak Sumowono dengan kantor UPJ Ambawarawa puluhan kilometer dengan medan menanjak dan berliku. Maka wajar kalau pelanggan keberatan membayar tagihan tepat waktu karena biaya transportasinya terlalu tinggi.

Belajar dari temuan itu, ia kemudian mendorong dibentuknya PPOB bekerja sama dengan pemerintah desa. Manfaatnya ganda, UPJ bisa menerima pembayaran tagihan pelanggan tepat waktu dan pemerintah desa bisa memperoleh keuntungan dari marjin tagihan. Kini, 50 persen lebih desa di ketiga wilayah tersebut telah memiliki PPOB.

Selain membangun komunikasi, sikap tegas UPJ Ambarawa untuk memutus pelanggan yang menunggak telah berhasil mengedukasi pelanggan. Pihak UPJ memang tidak memberi toleransi pada pelanggan yang lalai membayar tagihan. Begitu terlambat satu bulan, pemutusan dilakukan. Toh jauh-jauh hari sosialisasi telah diberikan.

Soal sikap tegas ini, Ninik berargumen, harus ditempuh untuk mengedukasi pelanggan. Pasalnya, keterlambatan membayar tagihan lebih banyak disebabkan oleh mindset yang ada pada pelanggan. Dulu, misalnya, ada yang sengaja membayar tagihan dua bulanan. 

Mereka bukan tidak mampu, namun berpikir bahwa tindakannya benar karena diberi sanksi. Maka, sejak pemutusan dilakukan, pelanggan mulai mengubah kebiasaan ini, disiplin membayar tagihan. Karena itu, CoP UPJ Ambarawa kini telah ditekan hingga 0,17. Kalaupun belum nol itu karena di Bandungan banyak  rumah dan vila kosong yang sulit dilacak kepemilikannya.

Sukses di bidang niaga, UPJ Ambarawa tak lantas abai pada pada usaha peningakatan layanan teknik dan pelayanan pelanggan. Susut (losses) misalnya, kini berada pada angka 1,24 persen dari 1,99 persen yang telah ditargetkan. Artinya, telah jauh melampaui standar WCS versi KEPCO yang mensyarakat di bawah 5 persen maupun rata-rata susut di APJ Salatiga yang kini 2,30 persen. Maka tak heran jika UPJ Salatiga selalu memperoleh platinum flag tiap triwulan.

Peta Pohon
Bagaimana angka tersebut bisa diperoleh? Sekali lagi, ternyata kuncinya pada komunikasi dengan masyarakat. Selain prosedur standar teknik dijaga, Ninik dan anggota tim FOCUS lain meminta masyarakat turut menjaga jaringan. Contohnya, masyarakat diminta tidak menanam pohon di dekat jaringan. “Ternyata mereka mau kok dengan himbauan ini,” lanjut Ninik, yang pernah bekerja di bagian perencanaan KD Jateng-DIY sebelum menjadi MUPJ Ambarawa.

Pohon memang menjadi perhatian khusus di UPJ Ambarawa. Maklum saja, jaringan di UPJ ini memang banyak yang membentang melewati perkebunan warga. Karena itu, Ninik dan jajarannya secara khusus membuat peta pohon untuk mengetahui kerawanan jaringan. Peta ini menjelaskan titik-titik rawan, jadwal inspeksi, dan prediksi kapan inspeksi periode berikutnya harus dilakukan. Dengan menghitung rentang waktu pemangkasan dengan kecepatan tumbuh pohon, petugas bisa mengetahui jadwal pemangkasan sebelum terjadi gangguan.

“Sekarang peta ini masih manual. Tapi ke depan akan kemi kembangkan supaya terkomputerisasi. Tim IT kami yang sedang menyiapkan aplikasi peta pohon. Nanti bisa lebih mudah, penghitungan pun jadi lebih akurat,” lanjut Ninik.

Cara ini terbukti ampuh mengurangi frekuensi gangguan akibat kerusakan jaringan. Di luar sebab alam, kini nyaris tidak pernah ada keluhan terkait kerusakan jaringan. Frekuensi padam/pelanggan (SAIFI) rata-rata hanya  1,74 kali dalam setahun dan lama padam/tahun/pelanggan (SAIDI) kini hanya 74,54 menit. Tidak heran jika komplain dari pelanggan selama periode Januari hingga September 2011 bisa dihitung dengan jari.
“Karena jaringan kita sekarang sudah bagus, sekarang yang kita urus tinggal aksesorisnya, seperti isolator. Setiap Jumat, minggu pertama, dan minggu ketiga orang teknik turun semua memeriksa jaringan,” katanya.

Proses Panjang
Kinerja prima yang ditunjukan jajaran UPJ Ambarawa ternyata tak lahir begitu saja. Bisa dibilang, proses menuju ke sana adalah proses panjang yang menantang. Dan sebagaimana terjadi di unit kerja lain, tantangan terbesar adalah memperbaiki mindset dan kultur kerja.

Pegawai di UPJ Salatiga kini berjumlah 16 orang, terdiri dari 7 pegawai teknik dan 9 pegawai nonteknik. Dari jumlah tersebut 5 orang berpendidikan S1, 2 orang berpendidikan D3, 2 orang bependidikan D1, 4 berpendidikan SMA, dan 3 lainnya berpendidikan SLTP. Dilihat dari usianya, 6 pegawai kini telah memasuki usia antara 51-56, 2 pegawai berusia antara 46-50, dan 3 pegawai berusia 41-46. Hanya 5 pegawai yang berada pada usia puncak produktif di bawah 30 tahun.

Kondisi demikian sebenarnya tidak terlalu menggembirakan bagi unit kerja yang memasang target memiliki world class services (WCS). Terlebih, kultur lama yang kurang transparan dan tidak disiplin kerja saat itu masih ada. Maka, di tempuhlah beragam cara membangun kultur baru yang lebih produktif, disiplin, dna transparan. Setidak-tidaknya, cara tersebut ada tiga yakni ting-ting pagi, visualisasi, dan MCM.

Ting-ting pagi adalah kegiatan rutin pegawai di pagi hari. Biasnya diisi dengan evaluasi dan merumsukan target kerja hari itu, di luar agenda saling memberikan semangat. Tidak hanya pegawai tetap PT PLN (Persero) yang terlibat, Ting-ting Pagi juga telah menjadi menu wajib bagi pekerja outsourching di UPJ Ambarawa. Sejak dimulau pertangahn 2010, kegiatan ini telah dirasakan manfaatnya. “Disiplin kehadiran meningkat segnifikan. Sekarang kalau ada yang terlambat malu lah,” tutur Ninik.

Visualisasi menjadi jalan lain membumikan spriti WCS. Capaian kinerja divisualisasikan dalam bentuk garfik dan tabel yang dipasang di dinding-dinding kantor. Secara harfiah, visualisasi bermanfaat untuk memudahkan pegawai mengamati hasil kerjanya, sedangkan secara batin visualisasi diharap mampu memberi suntukan spirit agar setiap pegawai bekerja lebih baik. Tulisan yang paling banyak tersebar dan tercetak dalam ukuran besar berbunyi “komitmen melayani pelanggan, tanpa suap”.

Tak cukup itu. Sebagai pimpinan Ninik menempuh jalan kultural dengan membiasakan coaching, mentoring, dan consulting (CMC) sesama pegawai. Caranya, ia mengunjungi pegawai dan memberi perhatian terhadap pekerjaan yang telah dilakukannya. “Biasanya saya tanya, gimana pekerjaan hari ini, ada kendala apa. Meskipun hal kecil, langkah ini bisa bikin semangat. Sebab, pegawai merasa diuwongke. Tidak hanya pegawai tetap, tapi juga outsourching,” lanjut Ninik.

Lanjut Ninik, pembiasaan kecil semacam itu dilakukan untuk merubah mindset. Ketika mindset berubah dengan sendirinya pegawai akan menemukan kesadaran baru. “Kita bekerja untuk melayani. Sejak WCS dideklarasikan saya bertekad, setiap pelanggan yang datang ke UPJ Ambarawa harus pulang dengan tersenyum,” ujar Ninik menutup perbincangan.


Surahmat
, citizen journalist, kini bermukim di Semarang. 

No comments:

Post a Comment