Wednesday 26 September 2012

Membumikan Spirit WCS Hingga Lapis Terbawah



KERTAS itu seukuran A3. Tampak rapi terpasang dalam pigura kayu berwarna hitam. Siapa pun yang melintasi lorong samping ruang MAPJ di lantai tiga kantor APJ Salatiga pasti akan melihatnya. Meski terapit pigura lain, kertas ini tampak mencolok. Pasalnya, kertas itu berisi dokumen penting 11 nilai excellent costumer service yang dirumuskan karyawan APJ Salatiga Januari 2010 silam.


Sebelas excellent costumer service itulah yang membikin manajemen APJ Salatiga tak kaget ketika  PT PLN (Persero) mendeklarasikan menjadi World Class Services (WCS) 2012 pada Juni 2010. Semangat yang diusung 11 point itu selaras dengan nilai-nilai excellent service WCS. Ya, peningkatan kualitas layanan.

Sebelas nilai excellent service bermulai ketika Januari 2010 karyawan APJ Salatiga ingin membangun kultur baru. Awalnya, pembicaraan terjadi di kalangan karyawan. Tak hanya di kantor saat jam-jam kerja, juga di kantin ketika jam istirahat. Ketika “kasak kusuk” itu akhirnya sampai juga di telinga jajaran manajemen, 11 point excellen service remsi diadaptasi perusahaan.

Tak lama berselang, manajemen bersama karyawan membidani motto perusahaan. Jernihkan Hati, Terangi Negeri. Jernihkan Hati berarti bekerja dengan ikhlas, tanpa pamrih, juga memberikan pelayanan berorientasi kepuasan pelanggan. Terangi negeri berarti menjaga keandalan pasokan listrik ke pelanggan sekaligus menjaga kecepatan respon dan pemulihan gangguan listrik.

Secara tersurat, motto menerangi negeri itu relavn dengan bidang kerja PLN yang bergerak di bidang kelistrikan. Namun, secara tersirat dengan menerangi negeri menggambarkan itikad menjernihkan hati, bekerja dengan ikhlas. “Menerangi Negeri” juga menggabarkan keinginan pegawai APJ supaya Indonesia terang benderang, bebas dari korupsi.

Memiliki motto yang lahir dari bawah membuat pimpinan tak kesulitan menyosialisasikannya. Dengan sendirinya karyawan menguasia konsep sekaligus meresapi nilainya. Tidak hanya bagi karyawan PLN, tetapi juga karyawan berstatus outsourching yang bekerja dengan PT PLN. Pegawai dari atas sampai bawah bisa menjelaskan konsep-konsep ini. Artinya mereka paham nilai yang diusung.

Berubah, Maju, Terdepan

Tak cukup dengan motto, jika Anda berkunjung ke APJ Salatiga, ada tiga kata yang tampaknya telah menjadi semacam mantra yang menggambarkan keinginan manajemen dan karyawan menjadi lebih baik. Berubah, Maju, Terdepan. Pendek memang, namun cukup menggambarkan kemauan keras pimpinan dan karyawan mewujudkan metamorfosis diri menjadi lebih baik.

Berubah, bagi jajaran manajemen, adalah tuntutan hidup di tengah masyarakat yang dinamis-terus bergerak. Tantangan PLN dari waktu ke waktu juga berubah. Sekadar contoh, dulu PLN adalah satu-satunya penyedia kebutuhan listrik negara. Kini tidak lagi. Tidak sedikit perusahaan yang membangun pembangkit sendiri. Begitu pula pemerintah daerah. Dengan dukungan capital dan teknologi, mereka bisa membangun pembangkit sesuai potensi daerahnya. Karena itu, supaya tetap menjadi pilihan pertama pelanggan PLN harus terus berinovasi. Berubah.

Perubahan lain yang tak terhindarkan adalah teknologi, yang tidak kini bukan berjalan, tapi lari cepat. Supaya sukses berkompromi dengan zaman perusahaan harus menguasai teknologi teranyar. Tidak boleh berkembang anggapan teknologi akan menggusur personel dalam perusahaan. Sebab, selama personel capak beradaptasi dengan teknologi, peran personel tetap yang utama.

Dua hal itulah yang disadari manajemen APJ Salatiga terus berubah untuk mewujdukan workd class services (WCS) 2012. Perubahan harus sistematis dan terencana. Hanya dengan perubahan sistematis terencana itulah APJ Salatiga bisa maju. Sesuai visi dan misinya, kemajuan diukur berdasarkan tiga variabel. Pertama, mampu mengelola distribusi tenaga listrik yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dan anggota perusahaan.

Kedua, mampu mendistribusikan tenaga listrik sebagai sarana untuk kemajuan masyarakat dan menjadi pendorong kegiatan ekonomi. Ketiga, menjalankan proses bisnis yang efisien, handal dan berkualitas dengan berbasis teknologi informasi di semua unit setara layanan kelas dunia.

Dari ketiganya, kepuasaan pelanggan bisa dikatakan menjadi variabel terpenting. Tantangan APJ Salatiga cukup berat karena pada tahun 2009 realisasi SAIFI dan SAIDI dengan standar WCS (Kepco) ternyata cukup jauh. SAIFI APJ Salatiga masih 8,11 kali/tahun, SAIDI 297, 96 menit. Padahal standar WCS untuk SAIFI misalnya harus 1,5 kali/tahun dan SAIDI 70 menit per tahun. Hanya tenggat pasang baru yang saat itu telah melewati standar WCS, yaitu 2 hari.

Namun, berkat komitmen terus maju itu APJ Salatiga memperoleh prestasi berkelanjutan. Pelayanan pasang  baru, meskipun telah melewati target WCS, kini terus ditingkatkan secara kualitatif. Misalnya, kini calon pelanggan tak harus mendaftar secara manual ke UPJ, tapi hanya menghubungi call center yang beroperai 24 jam dan 7 hari seminggu. Begitu pula layanan tambah daya dan penerangan pesta.

Di bidang gangguan, APJ Salatiga menggunakan mini skada yang memungkinkan gangguan kecil sekalipun dapat dimonitor. Untuk mempercepat pemulihan bisa juga digunakan remote. Perang padam yang digalakan sejak 2010 silam dengan rumus 3459 juga dijaga konsisten. Artinya APJ Salatiga harus menjaga supaya gangguan yang dialami pelanggan paling lama 3 jam. Jika terjadi gangguan, respon time paling lama adalah 45 menit. Dan, dalam satu tahun, gangguan yang dialami pelanggan paling banyak 9 kali.

“Dulu pelanggan susah kalau ada gangguan. Sudah telepon ke contact center sulit masuk, perbaikan juga terlambat datang. Nah, sekarang hal-hal semacam itu tidak boleh terjadi lagi. Kami punya testimoni, lewat contact center, lewat survei kepuasan pelanggan, dan call back, pelanggan merasakan perubahan,” kata Zubaidah.

Sukses menekan susut, SAIFI, dan SAIDI, APJ Salatiga mengakui perlu bekerja lebih keras menekan CoP. Pasalnya, angka CoP hingga September 2011 berada pada 0,39  dari 0,33 yang ditargetkan. Dari 278.707 pelanggan, CoP disumbang dari kelas rumah tangga dan instansi. Penyebabnya, menurut analisis manajemen ada dua, yakni kondisi ekonomi warga dan mindset pelanggan. Selain karena ada warga yang memang kurang mampu, masih saja ada pelanggan yang sengaja membayar terlambat.

Menyiasati kondisi ini APJ Salatiga menempuh tiga jalan. Pertama, bagi pelanggan yang belum mengetahui berbagai cara pembayaran, tim PLN memberikan sosialiasi. Mereka diperkenalkan pada berbagai cara membayar tagihan listrik, baik bank maupun loket yang kini telah tersebar luas. Kedua, sanksi pemutusan hingga pencabutan diberikan  untuk mengedukasi pelanggan yang sengaja telat membayar tagihan. Ketiga, bagi pelanggan yang ingin mengontrol penggunaan listriknya secara ketat, diperkenalkan pada rekening prabayar (prepaid). Khusus yang terakhir, APJ Salatiga telah menyelesaikan target 4.100 pasang baru pelanggan prabayar September lalu.

Mindset dan Kultur

APJ Salatiga membawahi tiga UPJ, yakni UPJ Kota Salatiga, UPJ Ambarawa, dan UPJ Ungaran. Hingga September 2011 pelanggan yang dilayani tidak kurang dari 278.707 pelanggan. Secara demografis, ketiga daerah tersebut memiliki keunikan. Di Ungaran misalnya, tantangan terbesar adalah menekan SAIFI dan SAIDI karena banyak pelenggan industri. Ambarawa dan Salatiga memerlukan perhatian besar pada perawatan jaringan karena jarak daerah satu dan lainnya berjauhan dan jaringan melintasi medan yang sulit.

Komitmen manajemen tak berakhir ketika motto dihafal dan slogan dipekikan. Jajaran manajemen APJ Salatiga sadar, merancang konsep adalah mudah, tetapi mengaplikasikannya perlu kerja keras. Ketika kondisi ideal telah diimajinasikan melalui konsep, tantangan berikutnya adalah mengkomunikasikan pada tiap personel. Ini penting karena keberhasilan organisasi hanya dapat diraih melalui keberhasilan individu-individu eksponennya.  Dalam hal ini, kinerja pegawai tak bisa dipandang sebelah mata.

Saat ini APJ Salatiga memiliki 99 personel. Dari segi usia, prosentase terbesar personel APJ Salatiga berada pada rentang 51-56 tahun, yaitu 36 persen. 20 persen berusia 46-50 tahun, 13 persen bersuia 41-45 tahun, 4 persen pada usia 36-40 tahun, 1 persen berusia 31 – 35 tahun. Yang berusia di bawah 25 tahun hanya 19 persen.

Dari segi pendidikan, personel APJ Salatiga didominasi karyawan berlatar belakang pendidikan SLTA, yakni 30,39 persen. Tak selisih terlalu jauh, karyawan berpendidikan S1 sekitar 24,51 persen. D3 sekitar 8,82 persen, D1 sekitar 26,47, dan SMP sekitar 8,82 persen.

Menyadari kondisi tersebut, manajemen ditantang mengembangkan pola komunikasi untuk membumikan kultur kerja perusahaan yang diidamkan. Pemahaman terhadap World Class Services (WCS) pun dilakukan pada semua karyawan, dari level teratas hingga level terbawah. Pasalnya, setiap karyawan memiliki andil membangun citra pada perusahaan. Termasuk karyawan outsourching. Meski secara struktur bukan merupakan bagian dari PLN tapi karena mereka bekerja untuk PLN, wajib memahami nilai perusahaan untuk mewujudkan WCS.

Khusus program perubahan mindset APJ Salatiga memilih Code of Conduct (CoC) sebagai jalan kultural. Tiap Jumat pagi misalnya, digelar acara Taman Sari, berupa senam dan jalan kaki. Kegiatan yang namanya diambil dari nama taman di pusat Kota Salatiga ini melibatkan seluruh karyawan sebagai sarana capacity building yang menyenangkan. Setidaknya sekali dalam sebulan Taman Sari diisi dengan jalan kaki menyusuri jalanan Kota Salatiga yang sejuk. Manfaat yang bisa diperoleh ternyata banyak. Tidak sekadar bikin tubuh semakin bugar, acara itu digunakan untuk membangun komunikasi dengan masyarakat sekaligus hingga monitoring terhadap kondisi jaringan.

Ting-ting Pagi beda lagi. Kegiatan ini diselengarakan tiap pagi di masing-masing unit. Biasanya, selain diisi evaluasi, dalam acara ini karyawan saling menyemangati. Metamorfosis Cofemorning dilakukan di masing-maisng unit. Rapat MAPJ dan para asman setidaknya dilakukan sepakan sekali. Sementara rapat yang lebih besar, MAPJ, Asman, dan MUPJ dilakukan sebulan sekali dalam kegiatan bertajuk Plumpungan.

Media visual seperti baner dan poster juga dianggap penting untuk menyebarkan spirit perubahan. Sejumlah pakar percaya, visualisasi dapat membantu individu mengkonkretkan visi hidupnya supaya lebih mudah menyiapkan strategi pencapaiannya. Visualisasi dapat menjadi pepeling (pengingat) sekaligus pemantik motivasi.

Di APJ Salatiga visualisasi tak melulu berisi target dan capaian kerja. Sejumlah kalimat bijak terpajang di sudut-sudut kantor. Salah satu poster mengutip peribahasa Jawa berbunyi “tunggak jarak mrajah, tunggak jati mati”. Artinya, orang yang dibesarkan dalam kondisi sulit akan kuat menghadapi tantangan, tapi orang yang dibesarkan dalam kemudahan akan mudah menyerah menghadapi masalah.

Baik CoC maupun visualisasi adalah upaya perubahan mindset yang dijalankan Tim Salatiga WCS, sebuah tim khusus yang dibentuk menyiapkan APJ Salatiga menuju WCS. Tim ini terdiri dari tim inti, tim penggerak, dan local coach. Tim inti terdiri dari tim perubahan mindset, tim perencanaan program bisnis, dan tim pengembangan IT. Tim penggerak terdiri dari tim penggerak UPJ dan asisten penggerak UPJ. Sementara local coach, yang diakui Zubaidah masih dibangun, akan bertugas menyiapkan technical system, managament infrastrcture, juga membangun mindset, capacity building, dan leadership.

Lantas, apa hasil proses panjang “berubah, maju, terdepan” yang dilakukan APJ Salatiga? Tidak sedikit penghargaan yang telah diterima APJ Salatiga. Sejak 2004 misalnya, APJ Salatigai tak pernah melewatkan platinum flag kategori susut. Tahun 2010 APJ Salatiga adalah juara II penghargaan Perang Padam 2010 untuk kategori effort. Bahkan dari presiden APJ Salatiga adalah salah satu dari 10 APJ yang memperoleh penghargaan kategori layanan prima.

Namun, sekali lagi, manajemen tak mau berpuas diri. Penghargaan dinilai hanya penanda.  Penghargaan sebenarnya akan datang dari pelanggan. Ya, hanya jika pelanggan merasa terlayani dengan baik dan merasa puas.

Surahmat
, citizen journalist, kini bermukim di Semarang.

No comments:

Post a Comment