Friday, 28 September 2012

Pak Mahyono dan Tanggal-Tanggal yang Keliru

TAK sengaja aku menabrak lelaki tua yang kurus itu. Waktu itu usiaku baru 11 tahun dan duduk di kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah 02 Cokroaminoto. Mahyono, lelaki tua itu, sedang mengunci ruang kelas satu dari luar. Aku meluncur kencang dari ruang kelas lima menuju kamar mandi, gubuk kecil dari papan yang bahkan tak dilengkapi bak air.

Pak Mahyono adalah lelaki yang kharismatik di depan orang-orang dusun Sampang tempatku tinggal. Ia disapa ‘Pak Guru’ oleh seluruh penduduk. Sapaan itu, pada saat itu, adalah sapaan yang sangat nikmat terdengar. Bahkan uluk salam yang takdim seringkali ditunjunjukkan warga dusun kami kepada lelaki ini.

Tahun 1999 MI Cokroaminoto hanya diasuh oleh empat guru; Mahyono, Komar, Tsalimi, dan Sabi. Karena paling senior Pak Mahyono ditunjuk sebagai kepala madrasah. Ia juga ditambahi tugas mengasuh kelas 1 dan 2. Barangkali bukan karena paham dengan teori psikologi perkembangan, tetapi paling sabar dan telaten.

Meski memiliki enam kelas, MIC, demikian kami sering menyebut sekolah kami, hanya memiliki lima kelas. Ruang kelas satu digunakan secara bergiliran dengan kelas dua. Caranya, kelas 1 masuk pagi dari pukul 8 hingga pukul 10. Setelah istirahat setengah jam, kelas dua masuk hingga pukul setengah dua belas.

Karena itulah siswa kelas dua sekolah kami jarang sekali yang berangkat pagi. Beberapa orang di antaranya bahkan memilih ngarit (mencari rumput) dulu di kebun atau hutan pinus dekat dusun kami sebelum berangkat sekolah. Karena kami bertetangga biasanya kami janjian berangkat mencari rumput bersama-sama. Kadang hanya berdua, bertiga, bahkan sering berombongan hingga sepuluh anak.

Suka Nyanyi


Meski dikenal sabar Mahyono termasuk jarang melempar senyum. Sesekali saja ia tersenyum ketika bersenda gurau dengan orang kampung kami. Salah satu gigi depannya ompong dan diganti gigi palsu perak mengkilat.

Meski begitu, dia punya pesona yang tak ada habisnya. Sebab ia punya perbendaharaan lagu anak-anak yang cukup banyak, dari singiran sampai lagu-lagu ciptaan Pak Kasur. Sesekali saya bahkan mendapati ia menulis puisi dua-tiga bait yang kemudian dilagukan di dalam kelas.

Di antara lagu-lagu yang paling sering Mahyono nyanyikan berjudul Kondangan. Lagu itu ia nyanyikan untuk menasehati kami, siswa-siswinya, supaya tidak membolos hanya karena ikut kondangan Bapak atau Ibu.

Bagi anak-anak dusun seperti kami, ikut orang tua kondangan adalah aktivitas yang sangat menyenangkan. Sebab, saat kondangan kami bisa mencicipi banyak makanan. Di tempat orang hajatan biasanya tersedia jenang, ketan, wajik, dan pipis (oleh orang Semarang disebut Nagasari). Di sana juga dipastikan ada daging kambing yang dimasak beraneka cara; goreng kering, sup, atau opor. Karena itulah kami sering bolos sekolah kalau orang tua kami kondangan. Baris terakhir lagu itu berbunyi; ojo ngisin-isini cah sekolah kok ngono kuwe.

Mendidik anak-anak dusun seperti kami bukanlah pekerjaan ringan. Itu pasti. Sebab, waktu itu kami hanya sekolah karena melakoni rutinitas. Kami berangkat sekolah karena rekan-rekan sebaya lain juga melakukannya. Hingga tahun ketiga aku menghabiskan waktu di madrasah tidak sedikit pun muncul niatan menuntut ilmu. Bahkan kami tidak tahu ilmu itu apa, bagaimana mendapatkannya, apalagi bagaimana memanfaatkannya. Di sekolah kami masuk, mendengar ceramah dan beberapa lelagon, menjiplak tulisna dipapan tulis, atau menulis teori yang didiktekan guru. Begitu setiap hari.

Tidak hanya itu. Saat itu kami tidak pernah membaca buku. Sekolah tidak mengijinkan kami membawa buku modul sedangkan di rumah tidak tersedia bahan bacaan apapun. Bahkan Satim, kakak kelasku, tidak bisa membaca hingga ia menempuh EBTANAS dan mendapat ijazah lulus MI. Padahal ia lancar membaca Al-Quran. Ia kini bekerja sebagai buruh tani sambil memelihara beberapa ekor kambing strali di kandang yang tidak jauh dari rumahnya yang masih beralas tanah.

Rumah Pak Mahyono di dusun Sokayu berjarak tidak kurang dari empat kilomater dengan sekolah kami di dusun Sampang. Padahal kedua dusun itu secara adminsitratif masih dalam satu desa; Petuguran. Angkutan umum yang tersedia hanya sampai Kalisat, dusun lain di desa Petuguran, sekitar dua kilometer dari Sokayu. Mahyono dan ketiga guru lain harus berjalan dua kilometer dari Kalisat ke Sampang setiap hari. Mereka melewati jalanan setapak yang dibuat berundak. Jika jembatan kayu sedang rusak bahkan mereka harus menyebrangi sungai dengan mencopot sepatu dan menyingsingkan celana terlebih dahulu.

Terlambat

Kondisi seperti itulah yang membuat kami tidak bisa menuntut banyak dari Pak Mahyono dan ketiga guru lain. Kami tidak berani protes ketika mereka terlambat. Kadang mereka datang pukul 9 pagi setelah kami menunggu dua jam di kelas.

Kalau belum satu pun guru yang masuk dan tidak ada yang bisa membuka pintu kelas kami bermain ke kebun, memetik salak tetangga, dawegan, atau apapun yang bisa kami makan. Bahkan kami sering mencuri opak (semacam kerupuk gender) yang dijemur di pelataran rumah penduduk di sekitar sekolah. Permainan yang paling sering kami mainkan adalah jongjang, semacam petak umpet yang dimodofikasi.

Di antara kami, siswa kelas tiga lah yang paling sering terlantar. Pak guru Tsalimi yang bertubuh kecil sudah lama menderita asma. Ketika menempuh jalan menanjak ia harus sering-sering istirahat karena napasnya sesak. Ketika telah sampai di sekolahan ia juga perlu istirahat hingga setengah jam. Ia duduk di kursi rambang menanggalkan pakain dinasnya. Tubuhnya yang kecil tersandar di kursi hanya terbalut kaos singlet, dikipasi dengan buku Fiqih yang kebetulan tergeletk di meja kantor guru.

Orang tua kami juga tidak pernah memprotes keterlambatan guru. Sebab bagi mereka, ada guru yang mau mengajar di MIC saja sudah beruntung. Setidaknya itu memberi harapan bagi anak-anak mereka; kami. Sebab mereka sendiri, yang melewatkan masa kecil sebelum MIC berdiri, tidak pernah mencicipi sekolah. Sebagian ada yang sekolah di dusun lain tapi hanya sampai di kelas dua. Ketika sudah kelas tiga, sekitar umur sembilan tahun, mereka diminta orang tua mereka (kakek-nenek kami) kerja di kebun.

Justru seringkali keterlambatan guru-guru kami datang ke sekolah disebabkan orang tua kami. Ketika orang tua kami mulai bekerja di ladang yang kebetulan dilewati Pak Guru saat berangkat, orang tua kami akan sangat cepat menyapa. Mereka meletakan pancong atau cangkul mereka dan bergegas mencegat bapak-bapak guru itu. “Gasik pak guru?’ sapa mereka sambil berjingkat mengajak salaman.

Setelah bersalaman biasanya mereka memetik daun singkong untuk dijadikan alas duduk. Orang tua kami mengelurakan kasang berisi tembakau, kemenyan, dan papir sinden sambil melempar pembicaraan. Di bawah pohon jengkol yang rindang mereka asyik berbincang dan akan segera menyita perhatian orang lain yang kebetulan melintasi jalan itu. Mereka ngobrol, bergelegak, dan rempugan sambil membahas fluktuasi harga singkong, kopi, atau kapulaga yang sedang tidak menentu. Juga harga cabai cengis yang merosot gila-gilaan.

Kebiasan itulah yang sering dilakoni Mahyono selama mengajar di MIC hingga ia pensiun. Ia sering mampir ke rumah penduduk ketika istriahat. Tanpa diminta tuan rumah akan menyuguhkan kopi hitam yang biasanya disajikan dengan gelas besar. Usai mengajar Mahyono juga sering menyempatkan diri mempir ke rumah penduduk. Ia meletakan koper hitam berisi daftar absen siswa dan meletakan kopyah beludru hitamnya di atas meja. Pembicaraan mengalir tanpa arah.

Ngajar Ngaji

Dulu, ketika di Sampang masih ada pengajian rutin bagi bapak-bapak, Pak Mahyono diminta pengurus pengajian itu menjadi pengasuh. Pengajian dimulai pukul delapan malam ba’da Isya di tempat Ki Sarjuni yang ruang tamunya sangat luas. Karena sekolah ‘bubar’ pukul 12 siang, Mahyono memilih pulang ke Sokayu terlebih dulu.

Ba’da Maghrib ia baru akan mebali ke Sampang melewati rute yang sama untuk memberi pengajian pada bapak-bapak. Ia mengajar aqidah, fiqih, bahkan tasawuf. Ia mengajari orang tua dan kekek-kakek kami cara berfitrah, menuntun mereka menghafal doa niat fitrah, bahkan mendiskusikan masalah-masalah rumah tangga dari sudut pandang agama. Pak Mahyono berceramah dengan mengutip beberapa hadis di Riyadus Shalihin.

Mahyono sering memanfaatkan forum pengajian sebagai temu wali murid. Sebelum membahas materi pengajian ia kerap membicarakan masalah siswa di sekolah. Ia membahas Misro, rekan sekal kami yang sudah tidak masuk dua minggu, dengan Uwa Mahwardi, orang tua Misro. Ia akan menanyakan Darsim, seorang anak yatim di dusun kami kepada Uwa Maryuti, wali asuhnya. Pada saat tertentu ia juga membicarakan kenakalanku membakar rambut siswa perempuan di kelas dengan korek api hingga hangus separuhnya dengan ayahku.

Di forum itu Pak Mahyono bahkan sering berkeluh karena iuran Tes Hasil Belajar (THB) catur waulanan sering tidak dibayar sehingga dia harus nomboki ke yayasan.

Kenangan itulah yang membuat saya yakin betul bahwa Pak Mahyono adalah orang baik. Satu-satunya hal "tidak baik" yang pernah ia lakukan kepada say adalah mencatat tanggal lahir saya dengan serampangan.

Saat membuat rapor (dan kemudian ijazah),  beliau tidak menanyai kedua orang tua saya. Ia tulis saja: 6 April 1988. Karena sudah tertulis di ijazah, di dokumen kependudukan lain akhirnya saya sesuaikan dengan tanggal versi Pak Mahyono ini.

Akibatnya, secara legal saya tercatat lahir pada 6 April 1988. Padahal... tanggal kelahiran saya adalah ....






23 Agustus 1992.
Percaya?.

No comments:

Post a Comment