Wednesday, 26 September 2012
Menagih Janji Perubahan PLN...
UCAPAN lelaki itu bikin saya penasaran. “Kalau boleh milih, saya pengin tetap jadi Dirut PLN,” kata Dahlan Iskan tak lama setelah ditunjuk SBY jadi Menteri BUMN. Memilih jadi Dirut PLN daripada menteri? Kenapa? Bukankah jabatan menteri jauh lebih bergengsi?
Pengusaha media ini memberi lima alasan kenapa dia begitu jatuh cinta pada perusahan setrum negara itu. Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang otaknya encer. Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep, roadmap sampai aplikasi teknisnya. Kedua, latar belakang pendidikan orang PLN umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa untuk berpikir logis.
Ketiga, gelombang internal yang menghendaki agar PLN menjadi perusahaan yang baik/maju ternyata sangat-sangat besar. Keempat, intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal. Kelima, iklim yang diciptakan oleh Menneg BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.
Meski begitu, alasan Pak Dis sapaan akrabnya, tidak cukup memuaskan. Hingga akhirnya, melalui CEO Note yang rajin ia posting, saya menemukan jawaban. Ia ternyata sedang melakukan investais besar-besaran. PLN tengah melakukan metamorfosis. Ya, semacam perubahn diri yang radikal dan berkelanjutan. Hasilnya, menurut ramalan Pak Dis, akan terlihat pada akhir 2012. Karena itu, ia ingin tetap di PLN supaya bisa menyaksikan "telurnya" menetas.
Strategis
Saya memandang PLN sebagai perusahaan nasional yang vital dari aspek mana pun. Dari segi ekonomi, misalnya, ini perusahaan seperti darah buat manusia. Denyut ekonomi daerah begitu bergantung pada suplai listrik. Listrik juga jadi syarat mutlak supaya investasi mengalir ke sebuah wilayah. Tanpa listrik, riwayat ekonomi sebuah daerah memasuki halaman akhir.
Secara kultural listrik juga jadi bagian sangat penting. Dengan listrik manusia Indonesia mengeja keindonesianya. Listrik membumbungkan imajinasi publik, mengantar anak-anak mengembara melalui internet dan televisi.
Soal betapa pentingnya listrik buat perkembangan peradaban, lebih spesifiknya teknologi, saya ingat sebuah perbincangan imajiner yang ditulis seorang teman di Facebook. Perbincangan ini menceritakan kecongkakan produk-produk teknologi terkini.
Wikipedia : Aku adalah sumber ilmu aku tahu semua
Facebook : Yee gw dong gaul kenal sama semua orang
Google : Aku punya semuanya.
Mozila : Kalo aku ngga ada kalian tidak bisa di akses
Explorer : Jiah Kan gue masih ada.
Mozila : Apaan sih lo, ganggu obrolan orang aja!
Explorer : Lo sih, ngaku ngaku paling hebat
Internet : Udah-udah! Jangan bertengkar kalo saya tidak ada kalin semu tidak ada
Facebook : Huuu, orang kan paling sering mampirn di gue, jadi gue yang terbaik.
Yahoo : Facebook, Inget, tanpa gue lo gak bisa buat Email!
Google : Yahoo, Gue juga bisa buat Email.
Internet : zzz… Udah tau gue yg paling hebat
Komputer : Gua Paling dewa di sini.
PLN : Banyak omong lo semua! Gua matiin nih listriknya!
Tentu saja, perusahaan yang demikian strategis dalam kehidupan rakyat harus kelola secara serius. Kekacauan manajemen PLN dipastikan merembet pada kekacauan di sektor lain di negeri ini. Syarat mutlak manajemen yang baik adalah pimpinan yang baik. Tidak sekadar pinter, tapi juga cerdas dan visioner. Pimpinan kemudian menggerakan stafnya untuk bergerak, berubah, melakukan aneka dobrakan.
Sejak 2010 saya melihat perusahaan melakukan pembenahan serius dan radikal. Perjalanan saya ke sejumlah unit kerja PLN membuktikan itu. Kualitas layanan yang PLN berikan kepada PLN terasa lebih baik. Maka, memasang target menjadi World Class Services (WCS) bukanlah cita-cita yang ngoyoworo. Asal perubahan dilakukan secara konsisten.
Dari aspek sumber daya manusia misalnya, PLN kini giat merekrut tenaga baru. Fresh graduate biasanya lebih enerjik dan cerdas. PLN tampak sangat menghargai tenaga yang cakap dan profesional. Ini dilakukan dengan, misalnya, menyiapkan jenjang karir yang jelas dan kesejahteraan menjanjikan. Ucapan Pak DIs bahwa di PLN ia dikelilingi orang-orang encer mungkin sekadar abang-abang lambe, tapi saya yakin ada benarnya juga.
Problem Integritas
Peningkatan kualitas sumber daya manusia di PLN konon tidak semata-mata menggarap aspek skill, tapi moral. Berulang kali saya membaca kata “pecat” pada catatan Pak Dis di CEO Note. Ia hendak memberi sanksi tegas pada oknum PLN yang menggadaikan ingeritasnya. Ancaman itu tentu membuat petugas PLN kecut, meski tak menjamin seluruhnya.
Pada sebuah pagi, dalam kunjungan ke salah 1 unit PLN, saya mendapati karyawan asyik bersorak ria. Mereka sedang brifing pagi. Saat itulah rencana kegiatan sehari dibahas supaya pekerjaan lekas beres. Sorenya, brifing kembali digelar buat menevaluasi pekerjaan hari itu. Pekikan pun terdengar; “PLN. Yes! Yes! Yes!”
Apa yang saya saksikan pagi itu ternyata menggambarkan usaha besar PLN untuk membenahi manajemen dan sumber daya manusia. Tantangan terbesar perusahaan adalah membangun kultur baru yang lebih efektif, produktif untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Olah karena itu, pola kerja lama, mind set lama diperbaiki melalui rangkaian kegiatan banchmarking.
Integritas karyawan PLN tak kalah penting. Sangat penting malah. Ini karena listrik adalah hak dasar rakyat. PLN memonopoli distribusi listrik dengan asumsi listrik adalah sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti disebut pasal 33 UUD 1945. Kalau listrik dikelola orang-orang picik, rakyat adalah korban pertama.
Saya mengkliping tulisan investigatif Majalah Tempo berjudul “Akal-akalan Biaya Admin Listrik” yang terbit 22 Maret 2009. Ini kasus penting yang harus diingat dalam ingatan kolektif karyawan. Dari penelusuran, tim investigasi Tempo menemukan fakta bahwa biaya ini ternyata dinikmati oleh perusahaan penyedia jasa daring dan sebuah yayasan. Padahal biaya ini tak pernah dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat ketika menentukan tarif listrik (Tempo, 22 Maret 2009).
Berita itu diturunkan 3 tahun lalu. Mestinya PLN telah belajar banyak dari kritik yang pedas nan menohok itu. Karena itu, saya terhenyak ketika tahu praktik akal-akalan masih ada hingga sekarang.
Adalah Ngurah Adnyana, Direktur Operasi Jawa Bali, yang menuturkan itu melalui Bod Note. Suatu hari ia diberi kabar melalui SMS oleh rekannya bahwa ada "petugas" PLN menarik biaya tambahan atas pemasangan saluran rumah dan KWh meter. Padahal, PLN tidak pernah memungut biaya pemasangan saluran rumah.
Kasus itu memang bisa diselesaikan setalah Pak Ad menelusuri siapa petugas nakal itu. Ternyata, dia petugas dari kontraktor. Setelah diketahui identitasnya petugas nakal itu diminta mengembalikan uang yang telanjur dipungut. Tapi, tentu saja urusan tidak selesai di situ. Kejadian itu membuktikan manajemen perlu kerja keras supaya cita-cita melayani masyarakat dengan tulis bisa segera terwujud. Memilih kontraktor yang kredibel (menguasa teknik sekaligus punya integritas) salah satunya.
Salah satu usaha PLN menjaga integritas yang menyita perhatian adalah kegiatan nonton bareng. Kok nontong bareng? Ya, sekitar 100 orang karyawan PLN di Palembang nonotn fil "K Vs K" yang berisi empat film soal praktik rasuah di Indonesia. Tentu saja manajemen berharap, setelah nonton film itu terjadi peningkatan integritas. Biar say no to coruption tidak cuma muncul di pekikan, tapi aksi nyata ketika bertugas.
Energi Alternatif
Pertengahn September lalu PLN jadi perhatian public. Pasalnya, pemerintah berencana menaikan tariff dasar listrik. DPR, melalui Fraksi PDIP, menolak rencana kenaikan itu. PDIP menganggap TDL tidak boleh naik karena PLN belum efisien.
Seperti dilangsir Tempo (17/9) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan PLN memboroskan dana Rp 37,59 triliun pada 2009 dan 2010. Pemborosan ini disebabkan penggunaan bahan bakar minyak untuk pembangkit dual firing yang seharusnya bisa menggunakan gas. Ternyata persoalan lama ini belum terselesaikan.
Akhir tahu lalu PLN membangun transmisi dari Lontar ke Tangerang/Jakarta. Konon, “keberhsilan” itu dapat menghemat dana sampai Rp 3 triliun per tahun. Bagi perusahaan sekelas PLN, penghematan 3 triliun per athun ternyata kecil. Karena itu, perusahaan ini harus putar otak memangkas biaya produksi. saya tidak paham betul teknisnya, namun konversi BBM ke gas sangat penting. Begitu pula dengan mengupayak stok batu bara lokal supaya PLN tak perlu mengangkutnya dari China.
Ya salam, sampai sejauh ini ternyata PLN belum selesai dengan problem teknik seperti itu. Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah disadari sejak lama sebagai strategi yang inefisen. Mestinya perusahaan sudah ancang-ancang beralih menggunakan bahan bakar lain. Kalau masih inefisen, target elektrisitas 100 persen akan semakin lama tercapai (saat ini baru 67 persen).
Belum lagi, sejumlah pembangkit listrik tenaga air terancam disfungi. PLT Jenderal Soedirman yang dikelola PT Indonesia Power misalnya, diperkirakan tinggal 10-15 tahun lagi. Sedimentasi gila-gilaan membuat waduk dangkal, debit air untuk menggerakan turbin berkurang. Kompas (27/9/2012) juga mencatat PLTA Cirata terancam akibat tumpukan 7,3 meter kubik endapan. Secara perlahan produksi interkoneksi Jawa-Bali pun akan terdampak.
Harapan paling klise saya adalah, PLN serius melirik potensi energi alternatif kita. Tiap daerah di Indonesia punya potensi energi yang besar. Jawa Tengah misalnya, menyimpan energi mikro hidro yang besar. Potensi yang sama pasti dapat ditemukan di daerah lain yang memiliki sungai. Wong kulit jeruk dan pisang saja bisa jadi sumber nergi listrik kan? Bagaimana dengan pemanfaatan tenaga matahir? Pembangkit listrik tenaga angin? Pemanfaatan gelombang laut? Produksi listrik dengan biogas?
Saya percaya manajemen dan karyawan PLN akan membuat mereka bisa mengatasi persoalan-persoalan itu. Perusahaan punya semua sumber daya yang dibutuhkan untuk berkinerja prima: SDM, logistik, dan will. Benarkan bisa? Harus bisa!
Surahmat, citizen journalist, kini bermukim di Semarang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment