Friday, 19 October 2012

Harapan Lama Bersemi Kembali


POLITIK Indonesia  jatuh pada titik terendah ketika rakyat kehilangan harapan. Pengkhianatan penyelenggara negara, melalui praktik korupsi, telah membuat rakyat putus asa. Hanya tokoh bersih dan berwibawa yang dapat membangkitkan kembali harapan mereka.

Dalam catatan politik Indonesia, tidak banyak orang yang dapat memberi efek kejut seperti Jokowi. Ia pendobrak pakem politik Indonesia. Dengan gaya dan bahasa orisinil ia menunjukan empatinya kepada masyarakat. Karena itulah, ketika ia memenangkan Pilkada DKI Jakarta harapan publik menyeruak. Ia digadang-gadang mampu menyelesaikan problem klasik ibu kota.

Harapan atau imajinasi tidak pernah menjadi kajian yang diseriusi dalam politik. Padahal, harapan adalah sumber energi yang mengalir tiada henti. Harapan menguatkan si lemah agar bertahan dalam kesulitan. Harapan juga mengingatkan yang fakir agar terus bekerja dan berpikir.

Saya bukan warga Jakarta yang tinggal di bantaran kali, menghadapi banjir rutin sekaligus berjibaku dengan macet. Namun, saya bisa bayangkan betapa hidup demikian tidaklah mudah. Lebih-lebih jika kondisi tersebut harus dihadapi dalam kondisi menganggur (jobless). Sektor-sektor produksi telanjur dikuasai pemilik modal sehingga rakyat hanya menjadi penonton.

Di tengah kondisi demikian, jelas masyarakat memerlukan harapan. Mereka perlu imajinasi bahwa pada saatnya kehidupan akan membaik. Mereka berharap, pada saatnya akan hadir pemimpin yang visioner, yang tak tersandera kepentingan politik apalagi korupsi. Pemimpin yang mendistribusikan kesejahteraan hingga kampung-kampung kecil, membiarkan publik mengakses hak-hak dasar secara layak.

Mengapa Jokowi?

Mengapa Jokowi mampu memantik imajinasi publik yang nyaris padam? Hemat penulis, ia memiliki tiga keunggulan dibanding pemimpin lain di negeri ini.

Pertama, empati, ketulusan merasakan kesusahan orang lain. Dalam berbagai kesempatan Jokowi membahas persoalan bukan sebagai liyan, tapi bagian dari masyarakat. Maka, ketika bicara soal kesehatan ia masuk menjadi publik yang haus pelayanan. Ketika bicara soal banjir ia  meyakinkan bahwa ia bagian dari warga yang disusahkan setiap musim hujan.

Kedua, Jokowi berusaha menjadi pendengar. Setidak-tidaknya selama kampenye lalu ia lebih sering mengajak dialog daripada berorasi di panggung. Dari gang satu ke gang lain ia menyapa warga. Ia menghimpun keluh kesah dan mengemasnya sebagai inspirasi.

Sekalipun terkesan mudah, tidak semua pemimpin mampu menjadi pendengar yang baik. Mereka lebih senang berbicara, curhat, menghujat, dan minta dimengerti.

Dalam kepemimpinan Jawa mendengar jadi salah satu kunci kesuksesan. Mendengar adalah kerja logika dan spiritual. Hanya dengan mendengar pemimpin bisa bersikap hamong terhadap rakyatnya.

Ketiga, Jokowi memiliki rekam jejak yang terlegitimasi. Gelar sebagai salah satu walikota terbaik dunia hanya salah satu pengakuan yang datang kepadanya. Dari berbagai lembaga ia memperoleh penghargaan sebagai kepala daerah antikorupsi. Dan jauh lebih penting, warga Solo mengakui kinerjanya.

Saat memperkenalkan Kartu Jakarta Sehat, misalnya, Jokowi meyakinkan publik dengan menceritakan bahwa program yang sama telah berjalan di Solo. Begitu pula ketika berencana menggeser perkampungan di bantaran sungai, ia meligitimasi rencananya dengan pengalaman nyata. Rekam jejak demikian menghindarkan Jokowi dari tuduhan sebagai tukang gombal.

Mengelola Harapan

Memanggul ekspektasi tinggi dari publik bukanlah berkah, melainkan kutukan. Jokowi harus terima dirinya tidak lagi menjadi miliknya, keluarga, atau partainya, melainkan milik publik. Jutaan pasang mata mengawasi. Sedikit saja ia memantik kekecewaan, ia bakal menuai ledakan kemarahan. Lebih-lebih, di negara demokrasi ini setiap orang bisa bicara, mengespresikan kesedihan dan kemarahannya.

Dalam situasi demikian, tentu Jokowi perlu mengelola harapan publik dengan cerdik. Kerja manajerial ini tidak dilakukan semata-mata untuk menghindari kemarah, tapi jauh lebih penting adalah menghimpun kekuatan bersama. Masyarakat yang dipenuhi harapan adalah masyarakat yang girang. Optimisme melahirkan energi yang tiada habisnya.

Jakarta kini ditinggali oleh sekitar 10 juta orang. Mereka memiliki problem yang spesifik. Masyarakat miskin patut mendapat prioritas tertinggi karena memiliki problem yang sangat mendasar seperti pengangguran, pendidikan, kemiskinan, dan banjir. Kehendak politik Jokowi untuk menuntaskan persoalan tersebut akan menjaga agar arapan tetap menyala.

Kelas menengah memiliki probel berbeda. Kemacetan dan kualitas pelayanan publik akan menjadi perhatian utama mereka. Masyarakat kelas ini dikenal cerewet menyuarakan kritik dan tuntutan. Keluhan tidak hanya riuh di dunia nyata, tapi juga dunia maya.

Hal lain yang jadi sorotan kelas menengaha dalah penggunaan dana public. Mereka menuntut dana public digunakan pada priortas yang benar, efektif, dan transparan. Janji Jokowi akan mengumumkan APBD hingga ke pos kamling harus dipenuhi.

Agar harapan masyarakat kelas menengah terjaga, dobrakan di bidang transportasi harus segera dilakukan. Optimalisasi busway hanya salah satunya. Sebaiknya, 11 koridor yang telah terbangun disusul dengan koridor baru.

Kejutan akan diciptakan Jokowi jika bisa mengegolkan proyek MRT dan monorail. Public Jakarta mulai jengah karena kedua proyek itu telah menjelma menjadi monument. Miliaran uang rakyat dibelanjakan tanpa memberi manfaat yang setimpal. Jika pada 100 hari pertama kepemimpinannya Jokowi dapat menunjukan perkembangan yang berarti, public akan sangat mengapresiasi. Dengan begitu, dukungan public diraih dan partisipasi masyarakat meningkat.

Meski begitu, ikhtiar Jokowi untuk mengaja harapan warga Jakarta agar tetap menyala tidak akan mudah. Ia akan menjelajahi rimba raya dengan berbagai kendala. Bukan hanya kendala teknis, politisi korup, pengusaha tamak, dan mafia hukum juga akan menjegal langkahnya.

Supaya lepas dari kendala tersebut, setidak-tidakknya Jokowi harus melepaskan diri dari jerat partai pengusung. Lantaran merasa andil mengantar Jokowi ke “singgasana”, PDIP dan Gerindra tentu akan minta imbalan jasa. Bentuknya bisa berupa kebijakan, proyek, bahkan dana segar. Agar terlepas dari jerat tersebut, sejak awal Jokowi harus ikrar siap mundur jika kebijakan diintervensi.

Selain itu, Jokowi juga harus cuek dengan berbagai rayuan politik. Melihat perhatian masyarakat kini tertuju padanya, partai politik akan memanfaatkan dia dalam perebutan kekuasaan 2014. Bisa jadi dia akan digandeng salah satu calon presiden menjadi pendampingnya. Ketegaran Jokowi menahan godaan politik mutlak diperlukan.

Secara personal Jokowi memiliki kepribadian yang menarik. Tubuhnya kecil dan kurus. Dalam beberapa kesempatan ia bahkan tampak memakai baju yang kedodoran.

Untuk memelihara optimisme warga ibu kota, tipikal demikian penting untuk tetap dijaga. Sebab, rakyat dapat melihat ketulusan pada tubuh kurusnya. Rakyat dapat melihat kesederhanaan di sana. Kepercayaan publik bahwa pemimpin mereka adalah pemimpin yang sederhana, bersih, dan pekerja keras akan terus memelihara optimisme mereka.

No comments:

Post a Comment