Friday, 19 October 2012

Jokowi, Generasi Keempat Politisi Indonesia?


SETELAH dipastikan menang pada Pilkada DKI Jakarta 20 September lalu Joko Widodo punya gelar mentereng: Generasi Baru Politisi Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, gelar itu disematkan New York Times. Dalam ulasan yang dimuat pada Jumat (21/9) lalu, Jokowi dinilai memiliki cukup karakter untuk menjadi ikon politisi Indonesia mutakhir.

Gelar tersebut tidak asal dilekatkan. Perjuangan Jokowi memanangi Pemilihan Gubernur 2012 memang unik dan fenomenal.  Ia menepis fatsun politik yang saat ini berlaku. Partai politik, yang dalam pentas politik nasional kerap digdaya, dibuat tidak berdaya olehnya.

Sejarah mencatat,  republik ini pernah mengalami berbagai fase politik. Karakter politik zaman mempengaruhi perangai politisi zaman tersebut.

Awal kemerdekaan, misalnya, panggung politik nasional dipenuhi tokoh intelektual-idealis. Merekalah generasi pertama penggagas republik. Generasi ini merasakan langsung pahit getir hidup di bawah penjajahan. Pengalaman intelektual-spiritual itulah yang membentuk karakter mereka: intelektual, idealis, radikal.

Generasi pertama politisi Indonesia diwakili tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Muh. Yamin, dan sejumlah tokoh lain. Pada era itu, kerja politik adalah kerja kebangsaan. Kepentingan republik diletakan pada tempat teristimewa, jauh di atas kepentingan diri dan keluarga.

Pergantian kabinet, pemberontakan, bahkan perang saudara membuktikan bahwa politisi pada generasi pertama sangat  idealis. Mereka adalah pengkhayat radikal ideologi masing-masing. Lantaran terlalu radikal, mereka bahkan kerap gagal bernegosiasi dengan kepentingan politik lain. Oleh karena itu, periode 1945 hingga 1965 republik berisik oleh aneka konflik.

Generasi pertama politisi Indonesia berakhir ketika Orde Lama tumbang. Seiring naiknya Soeharto, politisi yang tampil adalah politisi militer. Kepala daerah dan menteri diangkat oleh presiden, sebagian besar berasal dari Angkatan Darat.

Pada masa ini, politisi berkerumun pada pusat kekuasaan karena Soeharto tidak memberi ruang pada oposan. Jalan politik hanya dapat ditempuh melalui Golkar “atas seizin Bapak Presiden”. Kondisi ini melahirkan generasi politik pragmatis yang lahir dari proses nepotis. Politik jadi pelarian mencari aman sekaligus jalan meraih kesejahteraan.

Ketika Soeharto tumbang pada 1998, tumbang pula generasi politisi pragmatis ini. Semangat reformasi menghendaki mereka lesap. Sebagai ganti, tampilah generasi politisi reformis. Mereka adalah generasi politisi intelektual yang enerjik. Cerdas, kuat, namun kadang tampak tidak mapan secara ideologis.

Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur mewakili generasi politisi era ini. Generasi yang lebih muda, antara lain Budiman Sudjatmiko, Eva Sundari, Anas Urbaningrum, Andi Arif, dan kawan-kawan sejawat. Mereka datang kalangan sipil dan terpelajar. Ciri utama generasi ini adalah ide-id pembaruan. Pada bidang-bidang tertentu, ide yang mereka lahirkan bahkan - saya kira - mendahului zaman.

Berakhirnya dwifungsi ABRI adalah hasil kerja politisi generasi reformasi. Perkembangan politik di Amerika Latin  dan Eropa Timur menyuplai gagasan mereka. Mereka hendak mengembalikan ke pangkuan sipil setelah tiga dasawarsa tersandera. Akhirnya, lahirnya otonomi daerah yang menjadi titik awal diaspora politik Indonesia.

Sayangnya, satu dasawarsa reformasi bergulir, politisi reformis justru terjebak korupsi. Distribusi uang negara bocor di mana-mana. Ekskutif dan legislatif melakukan pengkhianatan pada rakyatnya. Akibatnya, tidak sedikit politisi “muda, cerdas, dan enerjik” itu yang mengakhiri karirnya di penjara.

Cerdas dan Bermoral

Apakah era politisi reformasi yang telanjur korup ini akan segera berakhir? Melihat dinamika politik kini, rakyat memang sudah jengah dengan politisi. Berbagai pengkhianatan yang dilakukan politisi membuat hati rakyat tersakiti. Luka batin yang mereka timbulkan tak terobati. Tidak heran jika kini politisi sangat berjarak dengan rakyat.

Kecenderungan kemarahan rakyat dapat dibaca dalam Pemilu dan Pilkada di berbagai. Warga negara emoh dilibatkan dalam proses politik yang ternyata hanya transaski. Mereka memilih menjauh, berhenti berharap pada negara, dan melakukan pemberontakan secara “senyap”. “Lakukan apa yang kita bisa, jangan berharap pada negara” jadi jargon mereka.

Dengan jargon itu rakyat sebenarnya ingin melakukan perlawanan. Mereka (kami?) ingin mengakhiri rezim politik yang korup dan memulai era baru. Sayangnya, jalan untuk mengakhiri rezim ini belum terbentang. Jalan konstitusi tertutup karena dikuasai politisi, sedangkan revolusi memerlukan modal yang besar. Akhirnya, sementara ini, rakyat memilih diam dalam keputusasaan.

Di tengah keputusaasan itu, Jokowi hadir. Ia tampil bak superhero. Ia menggelitik imajinasi publik. Kehadirannya menghidupkan kembali harapan yang telah terkubur dalam-dalam. Stigma politisi yang licik, tamak, dan khianat ia mentahkan dengan citra diri yang sederhana, cerdas, dan bermoral. Ia tampil beda dengan politisi lain di Indonesia.

Citra Jokowi yang cerdas dan bermoal inilah yang membuat publik mengidolakannya. Cerdas adalah kensicayaan, sebab pemimpin mengemban tugas yang berat. Adapun bermoral adalah barang langka dalam panggung politik Indonesia. Maka, ketika walikota Solo ini menawarkannya, rakyat menyambut gembira.

Politisi cerdas, memiliki rentetan gelar akademik, bahkan berlatar belakang pendidikan agama kuat sudah banyak. Mereka bak cendawan di musim penhujan. Namun, politisi yang cerdas sekaligus bermoral ternyata langka.

Citra cerdas dan bermoral yang melekat pada Jokowi relatif dapat diterima publik. Sebab, citra tersebut lahir berkat rekam jejak, bukan klaim semata. Pengakuan dari pemerintah dan berbagai lembaga internasional kemudian melegitimasinya. Dan jauh lebih penting, pengakuan juga datang dari masyarakat Solo.

Tiga Tantangan

Meski begitu, Jokowi tak serta merta layak disebut sebagai pelopor generasi baru politisi Indonesia. Ia harus membuktikan diri selama 5 tahun memimpin Jakarta. Jika ia berhasil memecahkan problem Jakarta sekaligus memelihara integritasnya, baru ia layak menyandangnya. Bukan New York Times, jika masa itu benar-benar tiba, masyarakat yang akan menyematkan gelar tersebut.

Sayangnya, perjalanan menuju ke sana dipastikan tidak akan mudah. Jokowi akan menjelajahi rimba raya. Usahanya mengurai kemacetan, mengatasi banjir, dan meningkatkan kesejahteraan warga ibukota akan menemui banyak kendala. Bukan hanya kendala teknis, politisi korup, pengusaha tamak, dan penegak hukum khianat juga akan menjegal langkahnya.

Supaya lepas dari kendala tersebut, setidak-tidakknya Jokowi harus melakukan tiga hal di awal masa jabatannya. Pertama, melepaskan diri dari jerat partai pengusung. Lantaran merasa andil mengantar Jokowi ke “singgasana”, PDIP dan Gerindra tentu akan minta imbalan jasa. Bentuknya bisa berupa kebijakan, proyek, bahkan dana segar. Agar terlepas dari jerat tersebut, sejak awal Jokowi harus ikrar siap mundur jika kebijakan diintervensi.

Kedua, Jokowi juga harus cuek dengan berbagai rayuan politik. Melihat perhatian masyarakat kini tertuju padanya, partai politik akan memanfaatkan dia dalam perebutan kekuasaan 2014. Bisa jadi dia akan digandeng salah satu calon presiden menjadi pendampingnya. Ketegaran Jokowi menahan godaan mutlak harus dijaga.

Ketiga, secara personal ia harus tetap tampil sederhana dan merakyat. Tidak bisa disangkal, simpati publik yang mengalir padanya juga karena tampilan fisiknya yang sederhana. Rakyat dapat melihat ada diri mereka pada tubuh Jokowi yang kurus, hitam, dan kerap kedodoran itu. Jika kemudian hari Jokowi berubah gendut, parlente, dan bahkan “berkumis”, simpati itu akan rontok.

Surahmat, Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment