Friday, 14 December 2012
Menulis Biografi: Sebuah Strategi Kecil
MEMBACA biografi adalah membaca rentang hidup manusia yang dinamis. Pembacaan terhadap biografi adalah pembacaan terhadap hal-hal yang tak pasti. Seseorang mencapai titik tertentu, lebih sering, karena strateginya bernegosiasi dengan keadaan, bukan keteguhannya pada prinsip secara kaku. Menyimak biografi adalah menyimak cara kerja natural organisme bertahan hidup dan mewujudkan visinya.
Jika kisah hidup mengambang pada ketidakpastian, menulis biografi tak boleh seperti itu. Menulis biorgafi adalah upaya dokumentatif atas fakta, atas data, bahkan atas kemungkinan. Penulis biografi (biograf) harus berpegang teguh pada prosedur agar tak terombang-ambing pada pretensi personal, kultus, glorifikasi, atau herinneringen atau berkenang-kenangan.
Saya terus terang terpengaruh dengan buku-buku Kuntowijoyo. Menurut saya biografi yang baik itu adalah biografi yang mampu mendekatkan pembaca dengan tokoh yang dibacanya. Artinya tugas penulis adalah yang membuat keduanya tak berjarak. Bahwa yang ditulis adalah manusia yang punya kekurangan dan kelebihan. Mereka bukan dewa dan malaikat.
Tantangan pertama para penulis biografi adalah menjaga jarak dirinya dengan tokoh yang akan ditulis. Persoalan ini endemik jika biograf memilih tokoh berdasarkan kekaguman sentimental. Kekaguman sentimental memupus jarak biograf dengan tokohnya, melibatkan keduanya pada sengketa perasaan yang problematic. Lebih-lebih, adalah wajar bagi tokoh ex officio narasumber bersemangat mendeskripsikan dirinya.
Ahmad Nashih Luthi, penulis biografi Umar Kayam (Manusia Ulang Alik, 2007)1 merasakan kesulitan itu ketika mulai menulusir penulis Para Priyayi itu. “Bisakan menulis orang besar atau seroang tokoh (tidak harus menulis orang-orang kecil dan kaum marjinal yang sementara ini dipahamiI ditulis dengan cara berbeda, ada sesuatu yang baru pada tingkatan metodis dan metodologis?”
Berangkat pada problem itu, metodologi penulisan biografi sebaiknya dibuat dan disepakati. Bukan sekadar memberi ruang aman bagi biograf atas fakta-fakta, metodologi diperlukan untuk membantu biograf mendeskripsikan data keras yang dimiliknya. Sebab, menyusun biografi tidak seperti menyusun babak yang runtut. Lebih sering, biograf harus mengintepretasikan ruang kosong yang terentang antara peristiwa satu dengan lainnya.
Prosedur Jurnalistik
Saya kira, pakem yang pertama-tama harus digunakan para biograf adalah prosedur jurnalistik. Pakem ini terutama penting digunakan pada tahap pengumpulan data. Prosedur jurnalistik rasanya lebih tepat dibanding langkah-langkah ilmiah pada sebuah penelitian karena jurnalistik membantu biograf berpikir lincah. Biograf kerap harus memungut data yang berserakan, sekalipun dengan risiko tak seluruhnya digunakan.
Strategi ini diklaim telah dapat digunakan tim Tempo saat menyusun Bapak Bangsa – 4 Serangkai Pendiri Republik. “Bahwa tujuan penerbitan buku ini memunculkan pesona sejarah, melalui pendekatan jurnalistik, sehingga ada unsur fakta dan data-data yang dibangun untuk merekonstruksi kepahlawan 4 tokoh pemikir bangsa.”2
Pertama-tama adalah fakta. Para biograf boleh berimajinasi tentang sosok yang akan ditulis kisahnya, tapi hanya fakta yang menentukan alur dan konflik kara biografinya. Dalam jurnalistik. Data terpercaya bukan hanya diperoleh dari narasumber A1 tetapi telah diverivikasi dengan kemungkinan data lain. Menyandingkan beberapa data dari sejumlah narasumber lalu menyerhakan kepada pembaca bukan pilihan yang baik karena akan menunjukan sikap biograf yang lemah.
Sumber lisan memang lebih mudah diperoleh, namun sadar betapa terbatasnya ingatan, data lisan perlu dibandingkan dengan bukti lain yang lebih otentik seperti manuskrip dan rekaman. Sebagai pembanding, data sekunder dari media, juga dapat digunakan sebagai pembanding. Inilah disiplin vervikasi.
Penelusuran terhadap jati diri seseroang, lebih-lebih tokoh-tokoh kontroversial, tidak berakhir pada pernyataan dan manuskrip. Pandangan sumber lain, terutama yang memiliki sikap dan perspektif berbeda, perlu juga diakomodasi. Teknik ini bisa digunakan untuk menghindarkan biograf dari jebakan klaim. Ya, cover both side lah.
Lantas, apakah penulisan biografi juga musti mematuhi etika jurnalistik yang dirangkai Kovach dalam 9 Element of Journalism?
Kovach merentangkan 9 hal yang, setidak-tidaknya menurut saya, utopis. Ia bicara soal jurnalisme publik, yakni jurnalisme dengan “J” bukan “j”. Bagi saya, adalah sulit untuk mematuhi seluruhnya dalam penulisan biografi. Dua prinsip yang tidak boleh ditanggalkan adalah “kebenaran” dan “akal sehat”. Keduanya menjadi nilai dasar penulisan biografi agar tidak menjebak biograf pada manipulasi dan kebohongan yang serampangan.
Kebenaran mana yang harus dipegang biograf? Pertama adalah kebenaran faktual-metodologis yang otentik. Kedua, kebenaran yang berterima akal sehat.
Di Mana Intepretasi?
Nyatanya, menelusuri jejak hidup seseorang tidak seperti memutar deret lagu. Perkamen ingatan tokoh atas dirinya, atau atas orang lain, tidak pernah tertata rapi secara kronologis. Biograf berhak merangkai potongan-potongan kisah menjadi sebuah lakon utuh. Adapun pada ruang-ruang kosong yang terentang antara potongan kisah tersebut biograf dapat memberi intepretasi.
Intepretasi biograf tidak digunakan untuk menafsir ulang data keras, tapi untuk membantunya menjajaki kemungkinan paling memungkinkan atas sebuah episode yang hilang. Itu pun tidak dapat dilakukan serampangan, karena harus tetap didukung data sekunder yang mengarahkan biograf pada intepretasi.
Proses penangkapan SM Kartosuwryo tetaplah jadi objek perdebatan yang menyenangkan. Begitu pula soal letak makam Tan Malaka. Namun Tempo berani mendeskripiskannya dengan mantap. Ketika itu Ara Suhara, prajurit berpangkat sersan pada Batalion Infanteri 328/Kujang Siliwangi, menemukan gubuk di tengah hutan Gunung Rakutak.
Berniat mampir minta air minum ia menemukan seorang lelaki tua. Di depannya tersaji dodol garut, jeruk garut, dan susu, jenis makanan yang tergolong mewah pada masa itu. Kecurigaan muncul. Ara bertanya, “Pak Karto, ya?” Lelaki tua itu mengangguk, “Iya, Nak.”
Detail
Yang agaknya sepele namun sangat penting dalam giografi adalah detail. Keterampilan merekam biograf diuji ketika menuturkan ini. Dengan detail lah para biograf mampu mendekatkan pembaca pada tokoh yang ditulis. Dengan cara itu pula biografi yang dihasilkan menjadi lebih bermakna, tidak seperti resensi kisah hidup.
Teknik ini saya pikir diperagakan dengan baik oleh Wisnu Nugroho ketika menulis Pak BEye dan Istananya (Penerbit Kompas, 2010). Detail ia gunakan untuk menyajikan keganjilan yang menggelitik. Misalnya, saat presiden SBY berpidato soal strategi memperkuat daya saing produk local, pada suatu hari, ia didampingi seorang menteri perempuan. Selesai acara, ajudan sang menteri ternyata menenteng Luis Viton.
Detail memungkinkan pembaca pada perhatian-perhatian yang sangat personal. Detail tentang seseorang, lingkungannya, sikapnya memungkinkan pembaca lebih mengenal tokoh bersangkutan. Detail kadang lebih ampuh dari narasi yang panjang dan menyebalkan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment