Wednesday 19 December 2012

Pendidikan Pemanfaatan Energi, Solusi Kelangkaan BBM

Meski belakangan harga bahan bakar dunia cenderung turun, kelangkaan energi yang melanda negeri ini harus menjadi perhatian yang serius. Tiba-tiba saja energi langka dan membuat masyarakat seperti kalang kabut. BBM langka karena otoritas perminyakan mencabut subsidi minyak tanah, harga gas naik, dan baru-baru ini, pasokan lsitrik berkurang drastis hingga harus dilakukan pemadaman bergilir. Episode berseri ini disebabkan oleh salah kelola potensi energi di negeri ini.


Meski bukan yang pertama, krisis listrik di Indonesia medio tahun ini bisa jadi yang terburuk sepanjang sejarah kelistrikan nasional (Kompas, 13 Juli 2008). Mengenai kelangkaan listrik, dalam berbagai kesempatan, pemerintah beralasan sejumlah pembangkit sedang dalam perawatan rutin. Dalam kesempatan lain, pemerintah berkilah pasokan gas dan BBM ke pembangkit terhenti. Kedua alasan itu mungkin bisa ditolerir, tapi tidak jika tersu diulangi. Rasanya harus ada dobrakan mendasar agar krisis energi teratasi. Salah satu caranya dengan mengangkat isu energi dalam kurikulum pendidikan nasional.

Tak Tergarap

Secara objekif, Indonesia memiliki banyak sumber energi yang belum dimanfaatkan. Sayangnya, berdasarkan data PLN, dari seluruh pembangkit listrik yang ada, 30 persen diantaranya masih menggunakan BBM, dan 23 persen lainnya mengandalkan batu bara (Kompas, 29 Juli 2008). Banyaknya pembangkit listrik yang masih menggunakan BBM, membuat konsumsi minyak nasional boros. Akibatnya, jika BBM langka pasokan listrik juga berkurang. Karena terlalu sering terjadi pemadaman, sektor usaha merugi. Mereka bahkan mengancam akan mem-PHK sejumlah karyawannya. Parahnya, jika pemadaman berlanjut sejumlah investor berencana memindahkan investasinya ke negara lain. Inilah episode berseri dari kurang tergarapnya potensi energi nasional.

Dalam waktu dekat sebenarnya PLN berencana membangun 40 pembangkit listrik bertenaga uap (PLTU) baru. 40 PLTU itu ditaksir akan menyokong produksi listrik nasional hingga 10.000 Megawatt (MW). Namun 75 persen dari jumlah pembangkit itu masih menggunakan batu bara yang rentan menimbulkan masalah lingkungan. Otoritas kebijakan energi selalu menafikkan penggarapan sumber energi alternatif dengan berbagai alasan. Pemerintah malah ngotot membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara. Padahal proyek tersebut masih kontroversial dan rawan konflik sosial.

Kita lihat betapa banyak sumber energi yang sejauh ini belum tergarap. Cadangan panas bumi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan mencapai 27.000 MW, sedangkan yang dapat dimanfaatkan baru 900 MW. Artinya, kita hanya memanfaatkan 3, 34 persen atau sepertiga puluh dari cadangan panas bumi yang tersedia.

Selain potensi tambang, Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan dalam produksi energi biodiesel. Iklom tropis, luas lahan, kesuburan tanah, dan curah hujan sangat memungkinkan pertumbuhan bahan baku biodiesel seperti kelapa sawit, singkong, nipah, jarak, sagu, enceng gondok dan sorghum. Bahan baku tersebut dapat diperoleh di seluruh Indonesia, utamanya bagian timur. Gorontalo berpeluang besar menjadi sentra penghasil etanol (C2H5OH) dengan jagung dan tebunya (Tempo, 6-12 Oktober 2008). Sayang berjuta sayang, sumber energi alternatif di atas belum optimal dimanfaatkan.

Pengolahan bijih buah jarak, contohnya, sebenarnya dapat diolah sebagai pengganti minyak. Namun, meski ide ini muncul sejak lama, belum ada produksi missal hingga saat ini. Selain jarak, kita juga memiliki sumber energi berupa kotoran ruminansia. Dengan jumlah hewan ternak di Indonesia, pengembangan biodiesel dari kotoran hewan memamah biak itu sangat mungkin dilakukan.. Jika diproduksi massal, gas ini dapat menggantikan fungsi elpiji, baik untuk rumah tangga maupun industri.

Dalam pemberitaan di sebuah televisi nasional (Seputar Indonesia, RCTI, Maret 2008) pernah pula ditayangkan seorang warga yang mengolah enceng gondok menjadi gas. Fermentasi tanaman yang banyak tumbuh di danau dan rawa ini menghasilkan amoniak (NH3). Melalui proses sederhana ini 100 kilogram enceng gondok basah dapat menghasilkan 1,7 kilogram amoniak.

Namun demikian, kelangkaan energi bukan monopoli Indonesia. Isu ini telah menjadi internasional yang melibatkan negara-negara di dunia. Dan hal itu yang mesti diperhatikan. Berkurangnya pasokan minyak akan membuat negara manapun lebih gencar berebut ladang minyak. Sedangkan sejumlah sumber energi makro seperti tenaga matahari dan angin belum banyak dimanfaatkan. Padahal jika pemanfaatannya optimal, kita tidak harus berpangku tangan pada sumber energi fosil.

Mata pelajaran pamanfaatan energi

Untuk menggali potensi energi yang tersedia, diperlukan tangan terampil dan kreatif. Diperlukan banyak ide brilian untuk mengubah sumber-sumber energi yang masih‘tidur’ menjadi lebih berdaya guna. Karena itulah, isu kelangkaan energi perlu diperkenalkan kepada anak-anak, termasuk dengan memasukannya dalam kurikulum pendidikan nasional.

Meski materi pemanfaatan energi sudah mulai diperkenalkan di sekolah,  intensitasnya masih kurang. Contohnya, pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam ( IPA) di Sekolah Dasar, siswa mulai dikenalkan dengan energi seperti angin dan matahari. Namun materi yang diberikan masih menonjolkan aspek kognitif.

Pada silabus mata pelajaran IPA tingkat IV, ditemukan konsep energi alam seperti angin. Namun pemahaman yang diberikan baru berkisar pada aspek teori, seperti tentang proses terjadinya angin atau jenis-jenis angin. Orientasi pembelajaran yang hanya menggarap aspek kognitif seperti ini perlahan mesti dirubah. Masih dalam pembahasan angin misalnya, siswa diajak berpikir bagaimana memanfaatkan angin, merubahnya menjadi energi listrik.

Hal serupa nampaknya terjadi di sekolah menengah. Pendalaman materi pemanfaatan energi masih kurang. Pada mata pelajaran Kimia misalnya. Siswa memang telah dikenalkan dengan konsep dasar kimia, sepertu unsur, senyawa dan kemungkinan reaksinya, namun kurang aplikatif. Saatnya paradigma lama belajar seperti ini dirubah. Saatnya pemerintah memasukkan mata pelajar pemanfaatan energi dalam kurikulum pendidikan nasional.

Dengan menambahkan pelajaran pemanfaatan energi, siswa diharapkan mampu mempraktekkan pemahaman kimia dasar untuk menghasilkan sumber energi baru. Demikian pula dalam mata pelajaran Biologi. Pengenalan tentang kekayaan sumber daya hayati mestinya disertai konsep praktis. Siswa diharap tidak hanya mengetahui dan memahami, melainkan bisa memanfaatkan konsep yang dikuasainya. Inilah standar komptensi lulusan yang sebenarnya di harapkan Undang-Undang no. 23 Tahun 2005 melalui kata keterampilan yang terdapat dalam keempat poin pasal 26.

Muatan Lokal

Dalam menyusun komposisi sialbus, konsep ini sebenarnya dapat diterapkan mulai di sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sekarang berlaku mengakomodasi tiap satuan pendidikan menambah materi ajar melalui muatan lokal. Materi yang diberikan disesuaikan dengan studi kasus yang terjadi di daerah masing-masing. Undang-undang sistim pendidikan nasional memacu guru memberdayakan potensi lokal melalui muatan lokal. Tentu saja ini menjadi peluang yang menggiurkan bagi guru sebagai inovator pendidikan.

Jika saja guru cermat, ada puluhan potensi lokal yang dapat digarap menjadi pokok bahasan dalam muatan lokal pemanfaatan energi. Setiap daerah memiliki keunggulan kondisi alam, vegetasi, dan varietas produk pertanian. Inilah yang harus dirubah menjadi energi alternatif.

Di Jawa Tengah saja ada berbagai jenis potensi energi. Panas bumi misalnya, terdapat di Dieng (Wonosobo dan Banjarnagara), Guci (Tegal), Baturaden (Banyumas) dan Gedongsongo (Semarang). Sedangkan bahan baku biodisel antara lain enceng gondok (Wonogiri, Banjarnegara), singkong (Purbalingga, Brebes), tebu (Brebes, Kendal, Banyumas), sorghum, nipah dan jarak dapat dikembangkan di seluruh Jawa Tengah.

Kotoran ruminansia juga melimpah di Jawa Tengah. Setidaknya dapat diperoleh di tiga daerah sentra peternakan, yakni Sragen, Blora dan Banyumas.

Aliran sungai besar di Jawa Tengah, dengan debit air 1,57-552 m2 /detik, juga terkesan kurang pemanfaatan. Gerak air dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik mokrohidro. Ini sangat mungkin dilakukan mengingat beberapa sungai di Jawa Tengah memiliki debit air yang cukup. Sungai–sungai potensial ini antara lain tersebar di Banyumas, Jepara, Kendal, Banjarnegara, Kebumen, Cilacap, dan Blora.

PLN Jateng dan DIY mencatat, terjadi peningkatan rumah tangga pengguna listrik hingga 2,12 persen. Hingga 2007 saja tingkat elektrifikasi mencapai 66,23 dari keselurah jumlah penduduk. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat mengingat pertambahan penduduk dan perluasan jaringan. Bahkan PLN Jateng dan DIY menargetkan pertambahan pelanggan hingga 200.000 per tahun.

Jika tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah pembangkit, atau jika pembangkit masih menggunakan BBM, pasokan listrik tidak akan mencukupi. Saatnya produksi listrik berpaling ke energi alternatif. Tentu sangat menyenangkan menjadi bangsa yang berkecukupan energi. Sangat tepat jika impian tersebut dimulai dari anak-anak kita. Mendidik anak-anak agar terampil menjadi pencipta dan pengguna sumber energi adalah investasi jangka panjang. Kita lihat, siapa yang berani memulainya.

Rahmat Petuguran

No comments:

Post a Comment