Pers mahasiswa yang tidak bebas, sama saja tidak pernah ada.
Wartinah (bukan nama sebenarnya) terlihat lebih kurus dibanding ketika kami bertemu tiga tahun silam. Wajahnya pias tanpa keriangan. Meski wajahnya putih bersih karena make up, bola matanya terbenam dalam. Ia tampak terpaksa jika sesekali melempar senyum.
Sore itu kami bertemu di sebuah pusat perbelanjaan di Semarang. Dia, yang sudah bertahun-tahun kerja di Jakarta, tiba-tiba mengirim pesan singkat ketika saya sedang tidur di kos. “Mat, saya di Semarang sekarang.” Dia minta saya ketemu di mall. Saya bergegas mandi untuk segera bertemu dengan wanita yang pada masa kanak-kanak menjadi teman sepermainan saya itu.
Masa kecil kami dihabiskan di sebuah dusun kecil di Banjarnegara. Saat itu dusun kami tidak terakses kendaraan bermotor bahkan listrik. Kami dan anak-anak lain lebih sering bermain di halaman rumah, kebun, atau hutan pinus yang hanya berjarak 500 meter dari dusun kami. Rumah saya dan Wartinah hanya berjarak seratus meter dan terpisah oleh satu rumah dan masjid.
Saya, Wartinah, dan rekan-rekan sepermainan sedang duduk di halaman samping rumah Wartinah. Kami biasanya bermain karet gelang, seperti unthit atau ganefo. Kadang-kadang, di halaman yang tidak terlalu luas itu kami bermain benthik, jengklek, atau tebak-tebakan. Kalau sekali waktu bermain kasti atau hong-hongan kami memilih tempat lain yang lebih luas.
Suatu sore, saya bermain di halaman samping rumah Wartinah. saya ingat, saat itu saya masih suka telanjang dada, sedangkan sore itu Wartinah menggunakan celana training yang sebenarnya hampir setiap hari ia kenakan. Hujan turun agak lebat sehingga saya tidak bisa pulang.
Menunggu hujan reda, saya, Wartinah dan adiknya duduk di atas tumpukan kayu di samping rumah. Orang-orang di dusun kami memang selalu menyimpang kayu bahan bangunan di emperan rumah supaya tidak kehujanan. Saat itulah kami menyanyikan lagu dolanan apapun yang kami bisa. Tapi di antara lagu-lagu yang tahu, umahe gutheng paling sering kami nyanyikan.
Sapa sing weruh umahe gutheng, ayo theng
Thengklik njaran, ayo ran
Rante sepur, ayo pur…
Ketika kami sudah bertemu di sebuah mall, Wartinah mengajakku makan di sebuah restoran cepat saji. Sebenarnya saya ingin menolak karena saya tahu tempat makan itu franchise perusahaan Amerika. Dan sudah sejak lama saya menghindari tempat makan yang dibuka perusahaan asing. Lebih baik saya makan lontong, pecel, atau soto di pinggir jalan. Selain produksi orang-orang lokal, karena lebih terjangkau tentu saja.
Setelah berbicara agak lama Wartinah bercerita kalau dia ke Semarang untuk menemani pacarnya yang sedang melakukan kunjungan bisnis ke. Dia diminta menunggu di mall karena pacarnya tidak mengajak Wartinah ke tempat yang ia kunjungi. “Ke klab katanya,” begitu Wartinah bercerita.
Sepengathuan saya pacar Wartinah adalah desainer interior. Di lulusan perguruan tinggi negeri terkemuka di Semarang. Tapi Wartinah justru bercerita kalau pekerjaan sebagai desain interior hanya sampingan. “Sekarang dia buka banyak tempat karaoke. Ya, dengan sistem patungan lah.”
Menyimak cerita Wartinah saya agak miris. Dia sudah lama ingin putus hubungan dengan pacarnya, namun tidak pernah kesampaian. Pacarnya, yang ia ketahui sudah punya anak dan istri tidak pernah mau putus. Bahkan, Wartinah takut jika ia minta putus pacarnya akan melakukan hal-hal nekat. Pacarnya tidak mungkin menceraikan istrinya karena dalam tradisi Kristen yang dianutnya memang tidak diijinkan.
Relasi Wartinah dengan pacarnya, meski ia menyebutnya sebagai pacar, bukanlah relasi yang sehat. Saya bahkan berpikir Wartinah hanya dijadikan simpanan oleh pacarnya. Maklum, pacar Wartinah memang pengusaha kaya, sedangkan Wartinah hanya bekerja sebagai peƱata rambut pada Johny Andrean Salon. Wartinah, sepengathuanku hanya lulus SD sedangkan pacarnya sarjana.
Karena menunggu terlalu lama saya mengajak Wartinah ke toko buku yang terletak beberapa ratus meter dari mall itu. Maksudku, ini supaya kami tidak jenuh hanya duduk di tempat makan tadi. Setelah kami di toko buku agak lama, Wartinah tiba-tiba minta diantar ke tempat semula. Katanya, pacarnya menunggu.
Saat itu saya melihat kcemasan pada wajahnya. Apalagi setelah ia beberapa kali mengangkat telfon genggam dengan cashing biru itu. Sepertinya, pacar Wartinah yang menunggu di tempat mereka janjian sudah marah-marah. Dia bahkan sempat menelfon ke ponselku dan Tanya dengan anda tinggi, "sebanarnya kalian di mana si?”
Ketika kami sampai di mobil tempat pacar Wartinah menunggu, ia langsung membentak. “Dari mana saja si, disuruh nunggu kok keluyuran.” Wartinah coba menjelaskan, tapi segera diputus oleh bentakan pacarnya. “Sudah jangan cerewet, cepetan masuk,” ungkapnya. Saya memang sempat menyalami pacar Wartinah, tapi dia tampak tidak terlalu memperhatikan saya. Dia langsung tancap gas.
Di sinilah saya menemukan satu lagi makna kebebasan. Memiliki otoritas atas diri sendiri adalah makna paling esensial dari kebebasan. Selama ini saya menikmati itu tapi kurang menyadari. Saya bisa pergi ke manapun yang saya suka selama da uang, menginap di manapun, pergi selama apapun, bahkan dengan siapapun.
Kebebasan adalah kewenangan untuk memilih. Kebebasan adalah kewenangan untuk mengatakan apapun yang saya yakini benar. Dan karena kebabasan adalah hak setiap orang hidup, kebebasan adalah harga mati!
Rumah Persma, 22 Januari 2010
Friday, 22 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment