Thursday 14 January 2010

Membaca Esensi Etis Novel Islami

Ketika sebuah karya sastra lahir dari rahim pengarangnya, ada dua kemasan yang digunakan untuk menyajikannya. Pertama, visi sosial, dan kedua keindahan. Dalam perkembangannya, keindahan (muatan estetik) kerap menjadi sajian utama. Pembaca disuguhi berbagi unsur keindahan, baik yang realis maupun irealis. Namun tidak demikian pada novel-novel Islami yang marak belakangan ini. penulis novel Islami justru kerap lebih fokus pada muatan etisnya.

Estetika, secara sederhana dapat diartikan sebagai representasi berbagai keindahan. S. Suharianto (1997), membedakan estetis dengan etis. Meski keduanya berkaitan menjadikan keindahan sebagai objek, terdapat perbedaan perspektif.

Keindahan estetis dalam karya sastra terurai dalam struktur yang tampak. Jika pada puisi, maka keindahan estetik tersirat dari ragam bahasa, pilihan kata, enjembemen, atau persajakan. Nilai-nilai ini tampak jelas karena hanya bersifat luaran. Sedangkan pada novel, esensi estetis jamak diungkapkan melalui gubahan konstruksi kalimat yang memikat. Sebagian penulis menganggap kalimat pendek, bahkan minor, lebih menarik. Sebagian lainnya gemar menggunakan konstruksi yang kompleks, majemuk, dan ribet sebagai ekspresi keindahan.

Estetika karya sastra dalam berbagai ekspresi merupakan cara pengarang memikat pembaca. Kadang bahkan menjadi jawaban tunggal atas pertanyaan; mengapa sebuah karya sastra patut dibaca? Padahal selain eseteika luaran, terdapat keindahan yang lebih substansial, yakni keindahan etis. Sebuah keindahan alamiah yang tak lepas dari sifat dulce at utile karya sastra. Pada novel Islami esensi etis amat kentara, bahkan amat subur.

Esensi etis adalah muatan keindahan karya sastra yang tersirat melalu ajaran kemuliaan. Umumnya, keindahan etis tidak dituangkan melalui akrobat kata-kata, melainkan menyajikan perenungan yang lebih mendalam. Rupanya beragam, mulai dari ceramah, nasihat, ajaran, hingga etisisme yang tersaji vulgar dalam bentuk yang dogmatis.

Siratan etis karya sastra hanya bisa dinikmati setelah pembaca mampu mengejawantahkan keindahan estetik. Ibarat sebuah susu kemasan, keindahan etis hanya dapat disantap jika kalengnya telah terbuka. Tentu saja dalam proses pencapaiannya, pembaca harus terlebih dahulu tahu, mengerti, juga paham. Etisisme sendiri dilahirkan sebagai suara bijak penulis atas permasalahan yang dikemukakan dalam cerita.

Novel Islam, sebagai representasi proses berpikir yang Islami, kerap menyajikan keindahan etis dengan porsi lebih. Ragamnya beraneka, mulai dari kisah, nasihat, hingga khotbah.

Salah satu novel yang subur muatan etisnya adalah Ayat-ayat Cinta yang ditulis Habiburahman El Shirazy. Selain menyiratkan ambisi besar penulis untuk menguatkan karakter novel secara keseluruhan, potongan-potongan etisisme tersebar pada tiap halaman. Kadang, tebaran keindahan itu tidak disadari ada oleh pembaca, namun dirasakan. Hal ini terungkap jelas pada narasi berikut.

Ia (Maria) seorang Kristen Koptik yang dalam bahasa asli Mesirnya qibthi, namun ia suka pada Al-Quran. Ia bahkan hafal beberap surat Al Quran. Salah satu diantaranya surat Maryam. Surat yang membuat dirinya merasa bangga. (halaman 8)

Kajian teoritis pada penggalan narasi di atas akan menyimpulkannya biasa. Konstruksi sintaksis yang dibangun amat wajar, lumrah digunakan masyarakat. Demikian pula pada diksinya. Selain kata qibthi yang menunjukkan keluasan wawasan penulis terhadap objek yang digambarkannya, tidak ada kata lain yang baru, apalagi menghentak.

Namun secara etis, penggalan di atas amat kaya. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan nilai dapat disimpulkan dari empat kalimat di atas. Kalimat pertama saja telah mampu mengejawantahkan nilai toleransi secara amat mendalam. Kalimat pendek ini menjelaskan multikulturalisme masyarakat yang harus disikapi dengan bijak. Penulis berusaha mengatakan bahwa keyakinan adalah bentuk pengabdian pada Tuhan, bukan kekuatan yang kemudian digunakan untuk saling menyerang. Jika pembaca mampu mengeksplorasi narasi pendek di atas, kesadarannya akan kerukunan antarumat beragama yang didapatkannya bahkan bisa lebih berbobot dari seminar atau kuliah perbandingan agama.

Kesimpulan berbeda tentu akan ditemukan pada novel non Islami, Sang Pemimpi muisalnya, yang sama-sama best seller. Tanpa bermaksud membandingkan kualitas keduanya, karena keduanya telah terbukti hebat, esensi etis di dalamnya berrkurang. Namun di sisi lain, estetis pada novel karya Andrea Hirata ini melimpah. Penulis bahkan mendistribusikan keindahan estetisnya merata, sejak kalimat awal hingga akhir. Seperti yang tersurat dalam penggalan berikut ini.

Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakan tenaga dahzyat kataklismik.

Penggalan di atas adalah kalimat pembuka Sang Pemimpi. Sekali hentak, penulis bahkan menggunakan perumpamaan yang tak lazim, istilah asing, dan peristiwa yang abstrak. Tanpa catatan kaki, sebagian pembaca perlu menyanding kamus untuk sekedar masuk melalui ‘pintu’ kalimat ini. Kataklismik, sebuah istilah yang amat jarang digunakan. Pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) bahkan terdapat tiga makna, yakni banjir besar, huru-hara hebat, dan peristiwa sosiopolitik yang hebat. Kalaupun telah membuka kamus, tak ada jaminan pembaca tahu maksud penulis.

Kajian di atas, mengisayaratkan Sang Pemimpi menyajikan debar keindahan estetik yang memukau. Seperti ombak, suaranya bergemuruh, memecah sunyi, mengernyitkan kening pembaca, kemudian meledak menjadi buih-buih yang indah. Namun, secara etis, tak ada muatan apapun yang bisa ditangkap pembaca.

Daratan yang mencuat, adalah peristiwa alam yang wajar. Sebagaimana geyser atau petir, persitiwa tersebut bagian dari sunatullah. Kalaupun kemudian diumpamakan dengan tanah yang dilantakkan tenaga katalismik, tidak menjadikan peristiwa tersebut menyentuh kedalaman filosofi. Keduanya, baik ungkapan awal maupun perumpamaan yang menyertainya, hanya mempertontonkan akrobat kata yang estetik. Bagi penggemar kajian metanomia, kalimat di atas jelas memukau. Tapi tidak bagi pembaca yang berharap pelajaran hidup dari novel yang dibacanya.

Kesan yang sama didapat pada kalimat kedua; menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya.

Bukankah menggelegak juga bukan istilah yang tak massal? Karena itulah kesan estetisnya menyemburat. Berbeda jika penulis menggunakan kata sepadannya, mendidih atau menggelora. Pilihan kata yang demikian selektif tadi memperkuat karakter novel Sang Pemimpi sebagai novel science. Seorang awan, yang kesal harus membolak balik halaman kamus saat coba menikmatinya, bahkan bisa saja menyebutnya novel leksikal.
Lantas apa novel Islami teramat miskin estetika? Tentu saja tidak. Hanya saja terdapat fokus etis-estetis yang berbeda pada kedua novel tersebut. Dari keduanya terdapat bahan baku kata yang sama. Hanya, karena yang satu dimasak di Kairo, sedang lainnya di Sorbone, cita rasanya berbeda. Meski salah satunya ladziz sedangkan lainnya delicieu, keduanya sama-sama lezat.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

1 comment:

  1. ngopi artikelnya ya Mat....terimakasih

    ReplyDelete