Thursday 14 January 2010

Sastra Bahasa Banyumas; Semblothongan yang Indah


Novel berbahasa Banyumasan Geger Wong Ndekep Macan karya Hari Soemoyo

Hingga saat ini stigma terhadap bahasa Banyumas sebagai bahasa yang kasar masih melekat. Bahasa yang digunakan warga di sekitar karisidenan Banyumas ini bahkan kerap dijadikan guyonan karena dianggap kasar komedial. Stigma ini dikuatkan oleh para pelawak dan komedian tanah air yang kerap menggunakan bahasa Banyumasan sebagai sajian guyonan dalm pentasnya.

Pada dasarnya tidak ada bahasa yang lebih tinggi atau rendah. Semua bahasa sama kompleksnya, karena memiliki keunikan sendiri-sendiri. Namun bahasa Banyumas seperti mendapat perlakuan berbeda dari para penuturnya. Bahasa yang berkembang di Jawa Tengah bagian barat ini masih dianggap sebagai bahasa kelas bawah hingga penutur bahasa ini justru minder menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari.

Perasaan minder terjadi karena penutur bahasa Banyumasan kerap mendapat cemoohan. Hal ini diperparah dengan sikap asor yang berlebih. Mereka merasa menjadi subordinat komunitas budaya lain. Bahkan mereka kerap merasa menjadi anak turun kawula alit, mancanagari kilen, wong tani, pidak pedarakan.

Sebaliknya, orang Banyumas justru bangga jika bisa berbahasa jawa gagrag watan. Mereka merasa seperti naik kelas jika mampu mampu bicara dengan halus. Kenyataan ini tentu ironis mengingat penutur bahasa Banyumasan terhitung besar, sekitar 10 juta orang.

Perasaan rendah diri berlebihan sebenarnya mesti mulai dihilangkan. Masyarakat Banyumas harus percaya bahwa kesan cablaka pada bahasa mereka tidaklah kasar. BW Aginsky dalam artikel The Importance of Language Universals mengatakan setiap bahasa memiliki derajat keunikan dan kerumitan tersendiri. Begitupun bahasa Banyumas, yang unik dank has pada kengapakannya.

Untuk melakukan perlawanan terhadap mindset minder, penutur bahasa Banyumas harus mulai membuktikan diri. Setidaknya mereka berusaha membuktikan bahwa bahasa yang mereka gunakan tidak hanya bisa menjadi guyonan, tapi bisa menjadi alat berkreativitas, termasuk untuk menciptakan karya sastra.

Ronggeng Dukuh Paruk
Salah satu karya sastra berbahasa Banyumas adalah novel Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan. Novel ini ditulis ulang oleh Ahmad Tohari dari novel berbahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1982. Sebelum diterbitkan dalam bahasa Banyumasan, novel ini pernah diterjemahkan ke dalam 5 bahasa asing, antara lain Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, dan Spanyol. Namun katika diramu kembali dalam bahasa Banyumasan, Ronggeng Dukuh Paruk seperti mendapat ruh baru. Cerita yang memang berlatar Banyumas ini seperti menemukan jodohnya. Ceritanya lancar, mengalir selaras dengan tema.

Terdapat perbedaan yang segnifikan ketika novel ini gubah ulang dalam Bahasa Banyumasan. Ahmad Tohari mengaku kesulitan saat berusaha menerjemahkannya kata per kata. Ada beberapa istilah yang tidak ditemukan bahasa Indonesia justru ada pada bahasa Banyumasan. Hal itu juga karena bahasa Banyumas belum pernah dibukukan. Sudah sekian ratus tahun bahasa Banyumas hanya menjadi bahasa lisan. Karena itu ketika ditulis oleh orang Banyumas terasa ada jarak. Apalagi memang kaidah bahasa tulis dan bahasa lisan memang berbeda. Hal itulah menimbulkan kesulitan untuk mencari patokan berbahasa banyumasan yang baku.

Sebelum Ronggeng Dhukuh Paruk sebenarnya ada beberapa karya sastra yang digubah dengan bahasa Banyumasan, seperti Sejarah Wirasaba, Babad Wirasaba Kejawar, Serat Soedjarah Banjoemas, dan Lampahan Kramane Palasara. Namun karya klasik ini kurang dikenal masyarakat.

Dalam kajian sastra, estetika memang hanya menjadi salah satu bagiannya. Namun karena sastra berbahan dasar bahasa, maka terdapat hubungan yang amat erat antara bahasa dan keindahan. Jika dicipta dengan bahasa Indonesia, karya sastra akan menjadi bersahaja. Lain halnya jika dicipta dengan bahasa Jawa, hasilnya juga akan kompleks dan mbulet-mbulet. Demikian pula pada karya sastra berbahasa Banyumas, akan tampak cablak dan semblotongan.

Keindahan Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan pun tak lepas dari keunikan bahasa Banyumasan. Karakter bahasa Banyumas menyumbang banyak keunikan hingga terbangun karya yang integratif.

Ketika diramu menjadi sebuah karya sastra, karakter bahasa Banyumas tak bisa lepas. Karena itulah novel atau cerpen bahasa Banyumas memiliki muatan rasa yang berbeda. Pertama, variasi kosa kata bertambah banyak. Bahkan beberapa istilah dan ungkapan yang terasa kering pada bahasa Indonesia, justru terasa sedap ketika ditututurkan dalam bahasa Banyumasan. Kata ‘mecucu’ misalnya, digunakan untuk menggambarkan kondisi mulut ketika bibir dimajukan sebagai ekspresi marah, jengkel, atau sedih yang berlarut-larut. Untuk menggambarkam kondisi yang sama dalam bahasa Indonesia, pengarang memerlukan beberapa kata.

Kedua, intonasi bahasa Banyumasan yang memberi tekanan pada vokal terakhir mampu memberi konotasi yang berbeda. Kesan kasar atau lembut yang diucapkan pada sebuah kata dapat diidentifikasi melalui tekanannya. Jika digunakan untuk mengungkapkan karakter tokoh dalam sebuah cerita, bahasa Banyumasan ini sangat ekspresif. Hal ini pula yang membuat Ronggeng Dhukuh Paruk kaya eskpresi, baik jenaka maupun serius.

Ketiga, ada penjenjangan bahasa pada bahasa Jawa, termasuk Banyumas. Setidaknya terdapat tiga tingkat, mulai kasar (ngoko), halus (krama), dan amat halus (krama inggil). Tingkatan itu dapat dimanfaatkan pengarang untuk memperkuat muatan rasa yang ingin diungkapkannya.

Keempat, bahasa Banyumas sangat asertif. Hal ini terkait erat dengan sifatnya yang semblothongan, artinya sesukanya sendiri. Untuk mengekspresikan perasaan tertentu, bahasa Banyumasan amat lantang.

Kenyataan seperti itu mestinya cukup untuk mengembalikan kebanggan komunitas Banyumasan pada bahasa ibunya. Kang Tohari telah membuktikan sastra berbahasa Banyumasan tak kalah indah. Saatnya sastrawan Banyumas mulai ‘menambang sastra’ dari bahasa ibunya.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara

2 comments:

  1. Saya cari buku atau copy dari Ronggeng Dukuh Paruk mBanyumasan, sampai sekarang belum ketemu.
    Bisa bantu, Kang?

    ReplyDelete
  2. Saya cari buku atau copy dari Ronggeng Dukuh Paruk mBanyumasan, sampai sekarang belum ketemu.
    Bisa bantu, Kang?

    ReplyDelete