Saturday 13 February 2010

Demonstrasi dan Pertanyaan "Untuk Apa Semua Ini?”

Ketika ratusan mahasiswa lain turun ke jalan memprotes kenaikan harga BBM saya memilih tidak turut serta. Ketika mereka mengecam kriminalisasi pimpinan KPK saya juga tidak ikut. Bahkan 28 Januari 2010 kemarin, ketika rekan-rekan berdemonstrasi memperingati 100 hari kegagalan pemerintahan SBY-Boediono saya juga tidak ikut.

Saya memilih tidak ikut bukan karena saya tidak sependapat dengan gagasan mereka. Beberapa poin ide yang mereka usung saya setuju. Sangat setuju bahkan. Misalnya, mereka katakan SBY-Boediono telah gagal memimpin Indonesia, saya sepakat. Mereka bilang politik dan pemerintahan telah dikuasai kartel politik, faktanya memang demikian. Saya memang melihat kekuatan SBY dan yang pro terhadapnya telah menggurita dalam pemerintahan, melalui jabatan-jabatan politik, BUMN, dan bahkan lembaga tinggi negara.

Jalanan bagi saya adalah medan yang berat. Saya pernah merasakan hidup di jalanan setidaknya 40 hari ketika saya menetap di Cikupa, Tangerang. Kehidupan jalanan membuat saya merinding. Tapi alasan utama saya tidak turut demonstrasi adalah karena ketidakmngertian saya tentang apa yang sedang terjadi. Saya selalu merasa tidak mampu memhamai apa dan bagaimana sesuatu terjadi di negeri ini. Karena itulah saya memilih diam sambil coba belajar.

Ketika mahasiswa membicarakan kemiskinan, saya tidak pernah merasa paling tahu, tapi saya bisa merasakan. Ketika mahasiswa bicara tentang nasib buruk para petani saya kurang paham, tapi saya mengalami. Begitupun ketika mahasiswa bicara tentang diksriminasi pendidikan bagi si miskin dan si kaya, pengetahuan saya terbatas tapi dengan mata kepala saya menyaksikan itu.

Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga petani keluh kesah petani seringkali saya dengar. Ayah saya sendiri seorang petani. Jika betemu dengan rekan-rekan sesama petani di dusun tempat saya tinggal mereka mengeluhkan kenaikan harga pupuk. Sambil melawak dan berkelakar menghibur diri mereka sering kebingungan memikirkan komoditas apa yang harus mereka tanam karena selalu dipermainkan fluktuasi harga. Sekali waktu, jika keadaan mereka rasakan sudah demikian sulit, mereka akan mengeluh dan mengatakan ‘Lebih enak hidup pada zamannya Soeharto.”

Saya tinggal di sebuah dusun kecil di bagian utara Banjarnegara. Dusun yang saya tinggali terletak di lereng perbukitan. Jalan baru dibuka awal tahun 2000an, seingat saya. Listrik masuk satu atau dua tahun setelahnya. Di sana saya tidak bisa melihat senyum mengembang dari anak-anak sekolah. Mereka tidak pernah berpikir memiliki masa depan yang gemilang karena tidak pernah berpikir melanjutkan sekolah jika sudah merampungkan MI.

Setelah listrik masuk dusun kami, kami sering menyaksikan televisi. Karena itulah orang-orang di dusun saya sering pula menyaksikan iklan sekolah gratis. Tapi mereka tidak pernah memaknai ‘kata gratis’ sehingga tidak pernah berani menyekolahkan anak-anak mereka ke SMP atau SMA. Mereka takut biaya sekolah akan memberatkan mereka. Mereka takut uang yang mereka hasilkan dari berjualan hasil kebun habis untuk membeli sepatu, seragam, atau buku. Demikian pikiran itu terus memenjarakan orang-orang dusun kami.

Suatu ketika saya libur kuliah, saya pulang kampung. Biasanya saya akan berkunjung ke tempat para tetua desa yang telah jompo. Saya ke sana sekadar salaman. Saya sering tidak tahan mencium bau pesing di rumah mereka karena mereka, katanya, sering buang air kecil dari tempat tidur. Karena kesehatan mereka buruk mereka tidak bisa ke jamban atau kolam yang sebenarnya hanya terlatak belasa meter dari rumah. Saat seperti itulah saya memaknai kemiskinan, tidak hanya secara semantis, tetapi apa adanya. Konkrit.

Mbah Ayat adalah adik kandung kakek saya dari ayah. Dia memiliki tujuh anak yang semuanya sudah berkeluarga. Lima dari tujuh anaknya merantau ke Sumatera dan Kalimantan untuk mengadu nasib pada perkebunan kelapa sawit. Satu orang anknya kini telah menjadi janda karena ditinggal mati suaminya. Seorang anaknya lagi kini sudah berumah tangga dan memiliki dua orang anak. Karena kesibukannya mencari nafkah, si bungsu ini, sayangnya jarang sekali menjenguk Mbah Ayat yang sudah renta itu.

Rumah Mbah Ayat terletak di timur desa, sekitar tiga puluh meter dari masjid melalui gang-gang kecil yang becek. Ia tinggal hanya dengan istrinya yang sudah sama rentanya. Mbah Ayat putri bahkan hampir tidak bisa berjalan sendiri karena penglihatannya nyaris hilang. Untuk keluar rumah saja ia kesulitan dan harus menggunakan tongkat. Karena itulah kata orang ia sering buang air kecil dari tempat tidurnya.

Rumah Mbah Ayat yang dibentuk menyerupai huruf L sebenarnya telah dipondasi, namun dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu. Jika malam datang angin dipastikan bebas hilir mudik keluar masuk. Karena itulah ranjang tempat Mbah Ayat tidur didekatkan pada tungku supaya lebih hangat. Saya sendiri tidak bisa membayangkan mereka bekegiatan sebab rumah mereka tidak teraliri listrik karena mereaka tidak mungkin bisa membayar tagihan bulanan

Penderitaan yang dialami Mbah Ayat adalah akibat kemiskinan sistemik negeri ini. Ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat. Ia tidak memiliki uang untuk memeprbaiki rumah bahkan sekadar unuk membeli selimut supaya malam tidak terasa terlalu dingin. Mbah Ayat juga tidak bisa mencegah anak-anaknya merantau karena kehidupan sulit di sana. Pekerjaan sebagai petani tidak menjanjikan apa-apa karena luas tanah mereka tidak seberapa.

Kemiskinan yang dialami Mbah Ayat saya yakini tidak hanya dialami Mbah Ayat sendiri. Di dusun tempat saya tinggal ada beberapa orang bernasib sama dan akan bernasib sama. Mungkin jika disurvei, di Banjarnegara aka nada ratusan orang tidak beruntung seperti Mbah Ayat. Bagaimana dengan di Jawa tengah atau di seluruh Idnonesia? Berapa jumlahnya? Inilah yang saya katakana sebagai kemiskinan sistemik.

Kemiskinan, menurut saya tidak selamanya terjadi karena kemalasan atau nasib buruk. Jika dinalar secara kronologis kemiskinan lebih sering terjadi karena pemangku kebijakan (pemerintah) tidak menaruh perhatian dengan rakyat kecil. Mereka sama sekali tidak peduli. Mereka lebih senang berpikir makro sehingga abai memikirkan orang-orang seperti Mbah Ayat. Dalam beberapa jam mereka bisa mengeluarkan uang negara 6,7 trilyun banyaknya untuk menyelamtkan sebuah bank kecil, namun memasang birokrasi yang ribet dan berlapis untuk bantuan bagi rakyat kecil.

Dengan sedikit berbesar kepala dan membusungkan dada SBY mungkin akan berkata pemerintahan yang dipimpinnya sudah bisa menekan angka kemiskinan sekian persen. Sekali waktu ia akan katakan telah mengurangi angka pengangguran sekian persen. Tapi nyatanya, kemiskinan tetap menjadi musuh paling nyata dan paling menakutkan yang dihadapi rakyat Indonesia. Jika begitu, artinya SBY adalah pembohong. Ia dan kroni-kroni politiknya merekayasa fakta untuk melegetimasi kekuasaannya.

Mengapa saya katakana SBY pembohong? Karena ia telah menipu rakyat. Ia menjanjikan banyak perbaikan tapi kondisi justru semakin sulit. Ia menyampaikan ceramah berisi data-data yang entah dari mana datangnya.

Pemerintah SBY juga terbukti gagal menyejahterakan rakyat. Keijakan yang diambilnya tidak pernah menyentuh akar masalah rakyat. Ia bisa membagikan Bantuan Langsung Tunai karena bingung menggagas mekanisme bantuan yang memberdayakan. Ia tidak bisa merancang program yang mencerdaskan sehingga membagi-bagikan uang kepada rakyat. Itulah SBY. Ia selalu minta dikasihani tapi ia tidak menunjukkan sikap kasihan kepada rakyat yang dipimpinnya.

Jika sekilas saya cermati, SBY adalah tipe pemimpin asal jalan. Ia menjalankan pemeritahan sekadar jalan sebagaimana mestinya. Ia menjalankan pemerintahannya hanya dengan memegangi stir, menginjak rem dan kopling. Ia presiden yang hanya menginjak gas pada satu waktu dan menginjak rem pada waktu yang lain. Ia tidak pernah berpikir mencari jalan alternatif supaya rakyat yang dipimpinnya lekas mencapai tujuan; kesejahteraan.

Sebagai pemimpin yang normatif SBY memimpin negara ini seperti masinis yang membawa kereta menyusuri real. Ia membiarkan rel membimbingnya, bukan ia yang memilih jalan. Ia masinis yang merasa bisa mengendalikan kereta sambil tidur ketika kereta api menuju arah yang benar. Karena kepemimpinan model seperti inilah Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti. Indonesia terus dilibas kemajuan tanpa bisa mengejarnya.

Karena keadaan seperti itulah saya merasa tidak perlu turun ke jalan. SBY bukan tipe orang yang segera begegas setelah menerima kritik dan saran. Ia tidak akan mendengar seruan apapun kecuali itu berhubungan dengan keududukannya sebagai presiden. Seandainya ia mau menerima saran dari mahasiswa ia juga tidak melakukan banyak hal. Ia akan menanggapi kritik mahasiswa dengan ucapan normatif ‘itu saran yang baik, kami akan membahasnya dengan sebaik mungkin.” Dasar! Mundur sajalah kau.

Semarang, 14 Fabruari 2010

8 comments:

  1. wah bagus ki,,ki bisa di sebar luaskan ra?

    ReplyDelete
  2. ini curahahn hati rakyat.
    silakan disebarkan untuk saling ngudarasa. Semoga keadaan lebih baik esok.

    ReplyDelete
  3. amieen........teruslh mngluarkn ide2 yg cmrlng utk rkyat...

    ReplyDelete
  4. putri narita pangestuti13 February 2010 at 21:47

    kau kasar sekali...hehe...:)

    tulisan yang baik. realita yang keras.
    kabar yang membingungkan. cerita yang tak sebenarnya. memang telah dari dulu mencekoki kita. mungkin, aku belum terlalu jelas mengerti ttg itu semua. maka aku nggak akan banyak bicara. walau sedikit banyak aku juga merasakan seperti apa yang kau tuliskan.
    aku memilih jalan sunyi. untuk meressapi dan membaca situasi. aku memilih jalan sunyi, bukannya tak mau peduli. tapi untuk lebih mempelajari dan berstrategi. seperti ayat tuhan yang memerintahkan kita bergoa dalam peperangan. falsafahnya, ketika kita di goa kita dapat melihat kondisi luar, tetapi luar tak bisa melihat apa yang ada di dalam goa. mungkin aku masih harus banyak merenungi dan mempelajari hingga aku benar-benar mengerti sebelum aku tampil di muka bumi.

    selamat berkarya. sukses selalu.
    salam

    ReplyDelete
  5. akhirnya tumpah juga...

    ReplyDelete
  6. Putri, saya merasa beruntung pernah hidup sebelum dilahirkan jadi tahu benar dunia seperti apa yang akan saya hadapi. Tapi terus terang saya tidak siap tahu lebih banyak lagi, entah karena terlalu mengerikan atau sebaliknya.
    Apa yang saya ceritakan hanya cover. Mari membuka isi buku itu satu persatu.

    ReplyDelete
  7. maju terus indonesiaku dg pemimpin yg adil dan bijaksana smoga.amiiiiiiin

    ReplyDelete
  8. Amin. Tuhan, kapan aminku Kau amini?

    ReplyDelete